Special Chapter: All The Way to You
Note 👉 isinya flashback dari POV Naura
Time stamp 👉 setelah Rafisqi ke NY
.
.
.
Rafisqi
21 JULI
(13.26) Oke
(13.26) Then I'll run to you instead
.
Satu kalimat itu menyimpan tekad yang digenggam Naura sekuat tenaga. Dikirimkan dengan harapan si penerima mengetahui isi hati dan perasaannya yang sesungguhnya. Bahwa dia tidak mungkin mundur sampai urusan di antara mereka benar-benar selesai. Bahwa dia tidak akan berhenti meski diminta melakukan yang sebaliknya. Bahwa dia masih belum akan menyerah untuk memperjuangkan "mereka".
Namun, meski ditunggu dan ditunggu, pesan tersebut tidak pernah terkirim. Nomor yang bersangkutan tidak lagi bisa dihubungi dan tidak peduli sebanyak apa pun waktu yang berlalu, Rafisqi tetap berada di luar jangkauan.
Dia tidak akan kembali.
Berhenti menunggunya.
Dia tidak layak.
Lupakan dia.
Jangan buang waktumu.
Naura sudah mendengarnya berkali-kali. Terus berulang layaknya kaset rusak yang sama sekali tidak ingin dia dengar. Terkadang dia ingin berteriak dan membantah. Di lain waktu, dia berusaha membuktikan bahwa semua itu salah. Namun, lebih seringnya dia memilih diam agar tidak memperpanjang masalah.
Percuma. Tidak akan ada yang mengerti.
"Kau harus tahu kapan sebaiknya berhenti."
"Naura, mungkin ini saatnya untuk mundur."
Bahkan Lesty yang dari dulu senantiasa mendukung apa pun keputusan yang dia buatㅡtidak peduli seaneh dan setidak masuk akal apa pun ituㅡmulai ikut berubah pikiran.
"Sudah kubilang." Lagi-lagi yang bisa dilakukan Naura hanyalah memberikan satu jawaban pamungkas yang sudah disepakati oleh hati dan juga pikirannya. "Aku akan berhenti kalau dia muncul di depanku dan memintaku langsung."
Kalau Lesty memandang sikapnya sebagai bentuk kekeraskepalaan, Naufal justru menganggapnya sebagai sebuah kegilaan.
"This is toxic already."
Naura pikir dia sudah kebal dihujani kalimat-kalimat pematah semangat itu seiring berlalunya waktu. Namun, mendengarnya langsung dari Naufal tetap saja terasa menyakitkan. Sang kakak satu-satunya itu selalu berada di pihaknya, berdiri di sisi yang sama dengannya, dan bersedia melakukan apa pun untuknya.
Selalu, kecuali untuk yang satu ini.
Empat bulan berlalu sejak terakhir kalinya Naura melihat Rafisqi dan tahu-tahu saja Naufal mengambil langkah tak terduga dengan mengenalkannya pada seorang pria. Adik tingkat waktu kuliah, katanya. Aman, sopan, mapan dan bisa diandalkan, Naufal menambahkan. Naura sudah tahu untuk apa dan ke mana semuanya akan mengarah. Saat itu dia hanya bisa mendengkus diam-diam. Mak comblang macam apa yang mengidentifikasikan sifat seseorang dengan kata "aman" pada saat sesi perkenalan?
Sebuah sindiran, tidak salah lagi.
Tiap kali Naura menolak satu orang, Naufal dengan sigap akan menyodorkan laki-laki potensial lainnya. Baru kali ini Naura kewalahanㅡdan juga merasa dirugikanㅡdengan luasnya jaringan sosial yang dimiliki udanya.
Percobaan pertama dan kedua. Di pertemuan pertama mereka, Naura langsung dengan sopan menolak calon yang direkomendasikan dan memastikan tidak akan ada lagi "kencan" lanjutan.
Percobaan ketiga dan keempat. Naura bahkan tidak ingin repot-repot datang ke tempat janjian dan menampik mereka secara halus melalui pesan.
Percobaan kelima tidak pernah terjadi karena Naufal akhirnya habis kesabaran.
"Setelah semua yang orang itu lakukan dan kau masih sajaㅡ" Perkataannya menggantung. Naufal mengembuskan napas kasar, lalu memberi Naura tatapan marah bercampur putus asa. "Apa lagi yang harus Uda lakukan, Naura? Ini gila!"
Dan Naura hanya bisa terdiam saat pria itu melontarkan berbagai spekulasi acak. Sepertinya selama ini Naufal berusaha keras menahannya dalam hati, tapi pada akhirnya meledak juga karena Naura benar-benar sukses memojokkannya sampai ambang batas toleransi.
Obsesi. Ketergantungan yang tidak sehat. Toxic relationship. Stockholm Syndrome.
Naufal benar-benar mencoba mencari penjelasan logis dari kegilaan Naura.
"Uda, kenapa nggak sekalian bilang kalau aku kena jampi-jampi?"
"Naura!"
Dibentak begitu, Naura buru-buru meraih tangan Naufal dan menggenggamnya erat-erat.
"Aku merasa baik dan sehat-sehat saja," jelasnya lambat-lambat. "Uda boleh membawaku ke psikolog sekarang dan akan kubuktikan kalau tidak ada yang salah dengan otakku."
Tentu saja Naufal tidak akan sanggup melakukannya. Udanya itu hanya memejamkan mata dan sekali lagi mengembuskan napas berat.
"Maaf. I went too far." Ketika kembali bicara, suaranya melunak. Sebelah tangannya terangkat untuk mengusap-usap puncak kepala Naura. "Uda cuma ... khawatir."
"Aku tahu." Mereka sudah melakukan pembicaraan ini berulang kali. Naufal mencemaskan keadaannya. Tidak mungkin Naura tidak tahu.
"Uda mau yang terbaik untukmu."
"Aku tahu." Kali ini Naura memeluk pria jangkung di depannya. Tentu saja dia juga mengetahui yang satu itu. Naufal tidak akan pernah dengan sengaja mengarahkannya ke jalan yang berbahaya. Kebetulan saja kali ini mereka memiliki pandangan yang berbeda terhadap sesuatu yang didefinisikan 'berbahaya'.
"Dan menurutmu dia yang terbaik?"
Untuk pertama kalinya setelah melakukan perdebatan yang sama selama berbulan-bulan, Naura menangkap ada secercah pengharapan yang tersirat dalam kata-kata barusan.
Mungkin kali ini dia bisa sedikit meyakinkan Naufal.
"He's not perfect," Naura menjawab lirih. "tapi aku mempercayainya."
Lama Naufal terdiam, membuat Naura berpikir kalau udanya tengah memikirkan cara lain untuk menariknya dari jurang ketidakwarasan.
"Dia ada di New York."
Naura tertegun dan buru-buru melepaskan pelukan. Ditatapnya wajah Naufal tidak percaya, sementara yang dipandangi langsung mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Cuma itu yang bisa Uda kasih tahu."
"Makasih, Uda!" Naura kembali menghambur ke pelukan Naufal dan tangan besar yang hangat itu kembali mengusap puncak kepalanya.
"Beritahu kalau kau sudah menyerah."
Tidak akan.
"Oke." Naura tersenyum tipis. Udanya bersedia membagikan sepotong informasi mengenai Rafisqi. Untuk sekarang, begitu sudah lebih dari cukup. Naufal tidak sekaku dan sekeras itu. Naura yakin, cepat atau lambat dia bisa meluluhkan pria itu dan membuatnya berubah pikiran mengenai Rafisqi.
Namun, Naufal tidak perlu tahu kalau Naura sudah mengetahui hal yang sama sejak beberapa minggu sebelumnya.
***
Di tengah situasi di mana semua orang menolak untuk memberinya penjelasan, Naura berusaha menggunakan cara lain. Siapa bilang cuma Rafisqi yang bisa pakai jasa informan untuk mencari tahu tentang sesuatu?
Tanpa sepengetahuan siapa pun, Naura meminta bantuan asisten pribadi orang tuanya, yang sudah mengabdi pada keluarga Anhar selama puluhan tahun. Awalnya pria ituㅡNaura memanggilnya pak Bowoㅡkeheranan dengan permintaan mendadak yang dia ajukan. Reaksi yang wajar, sebenarnya. Naura bisa menebak isi pikiran pria paruh baya itu. Nona Anhar yang selama ini menolak memanfaatkan kekuasaan keluarga tiba-tiba saja meminta tolong untuk menyelidiki keberadaan seseorang. Dan bukan sembarang orang, yang dia cari adalah seorang mantan tunangan pula. Saat itu pak Bowo tampak terkesimaㅡmungkin juga diam-diam ingin tertawaㅡmendengar permintaan khas bucin yang terkesan kekanak-kanakan tersebut.
"This is really surprising indeed, tapi saya akan melakukan yang terbaik. Tenang saja. Ini akan saya rahasiakan dari pak Nathan dan nak Naufal. Biar bagaimana pun, ini pertama kalinya Nak Naura meminta sesuatu yang ... unik."
Setidaknya kenekatan berujung rasa malu itu membuahkan hasil yang bagus. Naura tidak tahu dari mana pak Bowo memperoleh informasiㅡmungkin dari kenalan atau rekan sejawatnya yang ada di perusahaan keluarga Rafisqi, entahlahㅡtetapi yang terpenting, darinya Naura mengetahui kalau Rafisqi ada di New York. Dia mengajukan cuti jangka panjang ke perusahaan dan pergi pada tanggal 21 Juli. Naura masih ingat, di hari yang sama dia menerima pesan terakhir dari pria itu. Tujuannya ke sana adalah untuk kuliah. Tepatnya di Stern School of Business NYU, jurusan Entertainment, Media & Technology.
Hal pertama yang muncul di pikiran Naura ketika mengetahui informasi itu adalah kenapa tiba-tiba Rafisqi ingin lanjut S2?
Hasil penyelidikan pak Bowo tidak mencakup hal tersebut. Namun, Naura berhasil mengantongi alamat sebuah apartemen di daerah Manhattan. Dia tidak tahu bagaimana caranya memanfaatkan informasi penting yang satu itu. Tidak mungkin dia langsung terbang ke New York tanpa berpikir panjang.
***
Di bulan Desember pada tahun yang sama, takdir mempertemukannya dengan satu orang yang selama ini selalu menghindar tiap kali dicari dan selalu mengelak dengan ribuan alasan tiap kali ditanyai.
David.
Mereka bertemu tanpa sengaja di kantin rumah sakit tempat kerja Naura. Sahabatnya Rafisqi itu tampak duduk sendirian dengan semangkuk soto di atas meja dan Naura duduk di sampingnya tanpa pikir panjang. Menyadari keberadaannya, David langsung memasang ekspresi seolah baru saja melihat hantu.
"Apa yang dilakukan Rafisqi di New York?"
Pria malang itu tersedak kuah soto saat mendengar pertanyaan yang dilontarkan Naura tanpa basa-basi.
"How ...? Tahu dari mana?" tanya David setelah menghabiskan air putih segelas penuh.
Sebagai jawaban, Naura hanya mengangkat bahu.
"Kupikir kau sudah menyerah." Pria itu memandangi Naura lekat-lekat dari balik lensa kacamatanya. "But well, entah kenapa aku nggak kaget."
Naura tidak tahan untuk tidak tertawa. "Jadi, dia ada urusan apa ke New York?"
Butuh waktu cukup lama bagi David untuk menjawab. "Dia baik-baik saja. Jangan khawatir."
"Syukurlah kalau begitu," jawab Naura bersungguh-sungguh. "Tapi kau belum menjawab pertanyaanku yang sebelumnya."
"Apa itu penting?" David sedikit memutar tubuh menghadapnya. Sebelah sudut bibirnya terangkat ke atas. "Dia tidak sendirian. Tidak mungkin kelaparan dan terlantar di belantara beton, kalau itu yang kau takutkan. Lagi pula di New York juga ada Meisy dan ibunya. Jadiㅡ"
"Siapa?"
David buru-buru menutup mulutnya dengan sebelah tangan.
"Meisy siapa?" Naura berusaha mendesaknya. Barusan adalah potongan informasi yang belum pernah dia ketahui dan kali ini dia tidak akan melepaskan David begitu saja sebelum mengetahui jawabannya. "Dav, jawab aku."
Pria berkacamata itu ternyata menyerah lebih cepat dari dugaan. "Setelah ini janji jangan tanya-tanya lagi, oke?" Dia mengembuskan napas pelan. "Meisy itu pacarku."
"Kau punya pacar?" Pertanyaan itu refleks terlontar dari mulut Naura.
David terkesiap. "Excuse me? Kenapa kau harus kaget?" Dia tampak tersinggung dan mengarahkan telunjuk ke wajahnya sendiri. "Coba lihat wajah ini baik-baik. Perhatikan dengan seksama. Yang begini nggak mungkin jomlo, kan? Iya, kan?"
Rasanya menggelikan melihat David salah paham hanya karena itu. Padahal pertanyaan Naura tadi sama sekali tidak menyimpan maksud apa-apa. Dia kaget, itu saja. Soalnya David hampir selalu terlihat bersama dengan Rafisqi dibanding bersama seorang perempuan. Dan saat Rafisqi tidak ada, dia lebih sering sendirian layaknya jomlo yang berdedikasi.
Mendadak sebuah ide terlintas di pikiran Naura.
"Oke, David." Dia memaksakan sebuah senyuman. "Iya, aku percaya kok."
"Ekspresimu bilang sebaliknya." David memutar bola mata malas dan mengeluarkan ponsel dari dalam satu. Setelah mengotak-atiknya sesaat, dia beringsut mendekat dan menunjukkan layarnya. "Ini Meisy."
Naura memperhatikan foto selfie di depannya dengan seksama. David dengan seorang gadis berambut cokelat kepirangan. Fokusnya tertuju pada "Meisy". Wajahnya khas Asia. Cantik. Matanya agak menyipit dan membentuk bulan sabit ketika tertawa. Kulit putih, wajah oval, hidung mancung, lalu ....
Belum sempat Naura memperhatikan lebih jauh, David sudah menarik ponselnya kembali.
"See?" Dia tersenyum puas. Betapa kekanak-kanakannya.
Naura mengangkat kedua jempolnya. "Your girlfriend's really cute."
"Oh, tentu saja!" David kembali menekuni sotonya yang sejak tadi terabaikan. "Sudah, ya. Jangan tanya-tanya lagi. Fiqi ada di tangan yang tepat."
Naura tidak lagi menjawab dan mulai berkutat dengan ponsel miliknya. Jarinya menyentuh tombol aplikasi Instagram. Aplikasi yang satu itu tergolong jarang dia digunakan, tapi beruntung Naura belum mencopot pemasangannya dari ponsel. Dia buru-buru mengetikkan nama pacarnya David di kolom pencarian.
Naura tidak tahu bagaimana ejaannya yang seharusnya. Dia bahkan tidak tahu nama lengkap gadis itu. Yang dia tahu hanyalah wajah dan itu pun samar-samar karena David menarik ponselnya terlalu cepat. Namun, tidak ada salahnya mencoba, bukan?
Pertama dia mencoba memasukkan kata "Meisi". Ada puluhan akun dengan nama yang dia cari. Naura memindai foto profil pemilik akun-akun tersebut dengan cepatㅡbeberapa akun juga dia periksa postingannyaㅡdan tidak berhasil menemukan sosok yang mirip. Pencarian atas nama "Meysi" juga berakhir sama.
Bagaimana kalau akunnya digembok?
Bagaimana kalau ternyata nama akunnya tidak sesuai nama asli?
Bagaimana kalau dia tidak pakai Instagram?
Seraya mengabaikan pemikiran negatif barusan, Naura mengetikkan kata pencarian baru. "Meisy". Dia kembali menggulir akun-akun yang muncul, sementara matanya memperhatikan foto kecil di bagian kiri layar satu per satu. Setelah beberapa saat, jarinya berhenti di sebuah akun bernama "meisy_tanuwijaya". Foto profilnya mirip dengan sosok yang ada di ingatan Naura. Untuk memastikan, Naura membuka profilnya dan langsung menahan napas.
Di bagian bio-nya tercantum:
[ Call me Mei! From NYC. Accounting Staff. Fashion Enthusiast. In love with @.davidiomhrdk ]
Dan ingin rasanya Naura melompat sambil bersorak.
Dia berhasil menemukan akun yang tepat. Untuk lebih yakinnya, dia mengecek akun @.davidiomhrdk dan menemukan foto-foto David di sana. Dengan tangan agak bergetar saking semangatnya, Naura membuka fitur DM.
.
meisy_tanuwijaya
10:26 AM
Halo, Meisy ^^
Salam kenal
Aku Naura temannya Rafisqi
Maaf tiba-tiba mengirim pesan begini
Tapi boleh aku tanya sesuatu?
.
Balasannya datang dalam waktu singkat. Di New York pasti masih tengah malam. Sepertinya Naura beruntung karena Meisy masih belum tidur dan online di waktu yang berdekatan.
.
meisy_tanuwijaya
Eh?
Naura??
Naura yang itu? 😱
.
Tampaknya di belahan bumi sana Meisy sedang bingung bagaimana menanggapi pertanyaan dadakan yang dilontarkan padanya. Sempat terlintas di pikiran Naura kalau Meisy juga akan bersikap seperti David yang menyembunyikan segala hal tentang Rafisqi, tapi pesan lanjutannya muncul tidak lama kemudian.
.
meisy_tanuwijaya
Salam kenal juga, Naura 💗
Sure~
Mau tanya apa?
Ask me anything
.
Bibir Naura mulai mengulum senyum.
"Naura! Seram banget tahu, mendadak diam begitu. Marah, ya?" Suara David tiba-tiba terdengar lebih dekat. "Lihat apㅡholy shit!"
Menyadari pria itu ternyata ikut mencuri lihat ke arah ponselnya, Naura buru-buru mematikan layar dan menjauhkan benda pipih tersebut dari David.
"Awas ya, Dav! Jangan coba-coba menghasut pacarmu untuk tutup mulut!" Enak saja kalau itu sampai terjadi. Padahal Naura baru saja menemukan sekutu yang tampaknya bisa diandalkan.
"What the hell! Kok bisa?" David terlihat sangat panik. "Padahal aku cuma keceplosan nama panggilan."
"Ya bisalah," balas Naura cuek.
"Serius, Ra. Sepertinya kau sudah memenuhi syarat buat jadi rekannya Aris!"
***
Meisy Tanuwijaya benar-benar perwujudan angin segar yang dikirimkan Tuhan untuk meredakan kegundahan hati Naura. Dia menyenangkan untuk diajak mengobrol dan bukan tipe yang pelit berbagi informasi. Gadis itu adalah jarak terdekatnya dengan Rafisqi sejak setengah tahun terakhir. Mereka cukup sering bertukar pesan dan dari Meisy jugalah Naura mengetahui tujuan utama Rafisqi pergi ke New York. Kuliah ternyata hanya kamuflase agar alasan yang sebenarnya tidak sampai ke telinga om Evan.
Rafisqi sedang berusaha untuk sembuh.
Naura merasakan perasaannya bercampur aduk ketika pertama kali mendengar tentang itu. Tentu saja dia ikut lega mengetahui inisiatif Rafisqi. Namun, sebuah pertanyaan lain ikut menyertai di saat yang bersamaan.
Apa Rafisqi baik-baik saja?
Kesaksian dari Meisy sedikit banyak berhasil meringankan kekhawatirannya. Gadis itu memberitahunya tentang dokter Mikaela, Leah dan anaknya, serta beberapa perkembangan mengenai kondisi Rafisqi. Naura sudah pernah menanyakan kenapa Meisy bisa membeberkan informasi dengan begitu gampang, tidak seperti David dan keluarga Mavendra lain, dan coba tebak apa jawabannya.
"Simple. I do what I wanna do."
Tidak lupa dia menyertakan emoji kuku yang sedang dipoles pada bagian akhir pesan.
So sassy. Naura jadi semakin menyukai gadis yang satu itu.
Memasuki masa nyaris setahun sejak Rafisqi pergi, Naura memutuskan untuk meminta bantuan Meisy sekali lagi.
.
Meisy Tanuwijaya
Btw btw kayaknya akhir tahun ini aku bakalan pulang kampung! (09.01)
(09.05) Oh ya?
(09.05) Liburan?
Sepupuku nikah (09.05)
Tanggalnya belum pasti, sih (09.05)
Tapi kayaknya pertengahan Desember (09.06)
Sooo (09.06)
Let's meet up, Nauraaa (09.06)
(09.06) Ayo!
(09.06) Ciee yang akhirnya bisa ketemu David
Yaash finally! (09.07)
This damn LDR really kills me slowly 😞 (09.07)
(09.11) I'm happy for youu
(09.11) Btw Mei
(09.11) aku boleh titip hadiah?
Hadiah? (09.15)
Oh, buat ultahnya Fiqi?? (09.16)
Awww Naura so sweet 😚 (09.16)
(09.16) Tapi jangan bilang kalau hadiahnya dariku
Hmm gimana ya (09.16)
Fiqi bakalan langsung curiga (09.17)
Bohong pun percuma. Susah banget main rahasia-rahasiaan sama yang satu itu (09.17)
Aku takut kelepasan 😢 (09.17)
(09.17) Benar juga ya
Atau nanti kutitip ke dokter Mikaela saja? (09.20)
Si Fiqi nggak mungkin kurang ajar maksa-maksa dokter buat membocorkan informasi (09.20)
Kalau orangnya aku sih .... (09.21)
Bisa-bisa langsung dianiaya biar buka mulut 😭😭😭 (09.21)
(09.26) Astagaaa
(09.26) Oke deh. Hadiahnya segera kukirim ke alamatmu
(09.27) Maaf merepotkan
(09.27) Dan makasih banyak, Mei ^^
.
Naura menaruh ponselnya di atas meja dan beralih mengambil sebuah kotak kecil yang dibungkus kertas kado berwarna merah. Isinya sebuah jam tangan. Dia memilihkannya dengan hati-hati dan berharap bisa Rafisqi menyukainya, meskipun hadiah ini akan berstatus tanpa nama pengirim nantinya.
Untuk sekarang, hanya hal kecil seperti ini yang bisa Naura lakukan. Dia sudah memiliki semua informasi yang dibutuhkan dan dia bisa saja langsung menemui Rafisqi kalau mau. Namun, Naura tidak yakin itu keputusan yang bijak. Dia bahkan sampai meminta Meisy untuk merahasiakan pembicaraan mereka.
Di sana Rafisqi sedang berjuang. Naura memutuskan untuk tidak campur dan ikut berjuang dengan caranya sendiri, yaitu dengan bersabar dan memberi pria itu waktu, sebanyak apa pun yang dia butuhkan.
Jika suatu saat Rafisqi siap untuk kembali dan mereka dipertemukan lagi dalam situasi dan kondisi yang jauh lebih baik, maka Naura berjanji. Saat itu dialah yang akan lebih dulu mengulurkan tangan ke arah pria itu dan berjanji tidak akan melepasnya lagi apa pun yang terjadi.
***
.
.
.
Awalnya ini mau kumasukin ke epilog, tapi karena kepanjangan, akhirnya dipisah jadi satu bagian khusus.
FYI, bisa dibilang ini lanjutan langsung dari "Epilogue"-nya Impossible Possibility. Singkatnya, part ini tentang beberapa hal yang terjadi sama Naura selama 2 tahun Rafisqi merantau :')
Epilog akan dipublish besok, yaa!
Udah selesai diketik kok👌 tapi mau kubaca-baca lagi.
Salam,
Tia
/12 Oktober 2020/
Multimedia: "Back to You" by Selena Gomez
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top