8. From summer to autumn (2)

/Part 2/

.
.
.

Memasuki bulan September, kota New York mulai dihampiri rona musim gugur.

Rafisqi menutup pintu di belakangnya seraya menghela napas lega. Dalam perjalanan ke luar gedung, dia refleks melonggarkan simpul dasi yang dikenakannya dan melepaskan kancing kemeja paling atas. Cuaca seharusnya sudah mulai sejuk, tapi dia malah merasa kegerahan. Sesi wawancara barusan benar-benar menguras energi. Di kantor, biasanya dialah yang bertugas mewawancarai orang. Kali ini posisinya tiba-tiba dibalik. Dipikir lagi, sepertinya sudah lama juga dia tidak berhadapan dengan situasi yang membuat gugup seperti ini.

Tetap berpegang teguh pada rencananya semula, Rafisqi mendaftarkan diri untuk mengikuti program MBA di Stern School of Business NYU, kampusnya dulu. Dia bahkan tetap melanjutkan di jurusan yang sama. Tujuan awalnya kuliah memang untuk mengalihkan pikiran, sekaligus agar orang tuanya tidak curiga dengan tujuan aslinya pergi ke New York. Namun, dengan lebih mendalami bidang EMT*, setidaknya ilmunya masih tetap bisa terpakai begitu dia kembali ke perusahaan nanti.

Setelah ini, dia hanya harus menunggu pengumuman penerimaan mahasiswa baru. Kalau semuanya lancar, dia akan mulai kuliah bulan Februari tahun depan. Artinya akan ada sekitar 5 bulan waktu kosong. Mungkin nanti dia akan meminta Dharma mengoper sebagian pekerjaan ke sini. Berdiam diri tanpa melakukan apa-apa adalah ide yang buruk. Nanti pikirannya malah berkeliaran ke mana-mana.

"Fiqi, selamat sudah menyelesaikan wawancara!"

Setibanya di luar gedung Stern, seorang gadis berkardigan merah muda dengan rambut dikuncir satu langsung menyambutnya heboh. Meisy tersenyum lebar, menampakkan eye-smile yang sudah menjadi ciri khasnya. Gadis yang tiga tahun lebih muda itu bersikeras mengambil cuti hanya demi mengantarnya wawancara. Hal yang sebenarnya teramat sangat tidak diperlukan. Biar bagaimana pun, Rafisqi masih ingat jalan. Dia bahkan masih hapal rute bus dan subway di New York. Tidak mungkin dia tersesat dan tidak tahu arah jalan pulang.

"Ibu juga mengucapkan selamat." Meisy menunjukkan pesan dari ibunya.

"Padahal belum pasti diterima."

"Pasti diterima!" Entah dari mana datangnya keyakinan itu. "Malam ini menginap di tempatku? Ibu sudah masak banyak."

"Kalau enggak merepotkan." Rafisqi tersenyum simpul.

Dia sudah menyewa sebuah kamar apartemen yang dekat dengan kampus dan rumah sakit tempat praktik dokter Mikaela. Namun sesekali dia masih tetap berkunjung ke rumahnya Meisy. Gadis itu cuma tinggal berdua dengan ibunya, karena ayahnya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Mereka merantau ke Amerika sudah lama dan memutuskan untuk menetap sejak saat itu.

"Mumpung cuacanya bagus, ayo jalan-jalan sebentar," seru Meisy ketika mereka mulai menyusuri trotoar. "Mau ke mana? Fifth Avenue? Times Square? Central Park?"

Rafisqi refleks berhenti melangkah begitu mendengar nama tempat yang terakhir. Di depannya, Meisy ikut-ikutan berhenti. Gadis itu berbalik, mengamati Rafisqi sebentar dan kembali memasang senyum.

"Oh, how about brunch?" Meisy bertepuk tangan sekali dan meraih lengan Rafisqi. "Wawancara tadi pasti menguras tenaga. Ayo makan dulu!"

Rafisqi membiarkan dirinya ditarik Meisy ke sebuah cafe yang ada di dekat sana.

Dokter Mikaela benar. Rafisqi memang belum bisa berdamai dengan masa lalu. Dia tidak bisa melihat dan memperlakukan Naura dengan sewajarnya tanpa dihantui pengkhianatan waktu itu. Dia juga masih belum mampu mendengar kata "Central Park" tanpa terbayang semua yang pernah terjadi di sana.

Dan dokter Mikaela malah menyarankan untuk memperbaiki semua, dimulai dari akarnya.

Rafisqi benci membayangkan dirinya harus bertemu Leah lagi.

"... Fiqi!"

Panggilan tiba-tiba itu membuat Ragisqi tersentak. Didapatinya Meisy tengah melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya. Mereka sudah ada di dalam cafe dengan berbagai pesanan terhidang di atas meja. Bisa-bisanya dia melamun terlalu lama.

"Kenapa, Mei?"

Rafisqi tidak mengerti kenapa gadis itu mendadak terlihat murung.

"Maaf. Aku nggak sengaja menyebut tempat itu."

"No, it's okay!" jawab Rafisqi cepat-cepat. "Cepat atau lambat aku memang mesti ke sana."

Kedua sudut bibir Meisy terangkat ke atas, tapi kali ini senyumannya tidak lagi sampai ke mata. Rafisqi mulai merasa tidak enak pada gadis itu.

"Kau harus tahu, kau tidak benar-benar sendirian di sini. Masih ada aku, ibu dan dokter Mikaela. David juga. He's literally just one call away." Meisy mengulurkan tangan dan menepuk-nepuk lengan kiri Rafisqi yang terlipat di atas meja. "Nanti seandainya kau sudah siap, aku mau kok, menemanimu ke sana."

"Thanks," jawab Rafisqi tulus, diam-diam merasa lega melihat Meisy tidak lagi semuram sebelumnya. "Dan kau tidak perlu menenggang perasaanku sampai seperti itu. I'm not that weak, you know?"

"Hoo, jadi sekarang aku sudah boleh blak-blakan?" Sekarang Meisy malah tersenyum penuh arti. "Oke."

Rafisqi mulai kebingungan ketika gadis itu mendadak mengeluarkan ponsel dari saku dan menunjukkan sebuah profil akun media sosial padanya.

"Ini teman kantorku. Cantik, nggak?"

Di layar ponsel terpampang sebuah akun dengan nama "Melissa Clark". Di bawahnya ada foto seorang gadis berambut pirang.

"Ngg ... cantik."

Rafisqi menjawab tidak yakin, tapi beberapa detik kemudian dia malah dihadapkan dengan akun yang kedua. Kali ini milik seorang gadis berwajah Asia.

"Bagaimana kalau yang ini?" tanya Meisy antusias.

Akhirnya tawa kecil lolos dari bibir Rafisqi.

Rasanya seperti deja vu.

"Sudah. Aku tidak perlu dijodoh-jodohkan dengan temanmu."

"Ih, Fiqi nggak asik!" protes Meisy, tangannya mengguncang-guncang ponsel yang masih diulurkannya ke hadapan Rafisqi. "Obat terbaik patah hati adalah mencari cinta yang baru, tahu!"

"Tapi aku nggak bisa," balas Rafisqi apa adanya.

Setelah semua yang dilakukannya pada Naura, dia merasa tidak akan bisa jatuh cinta lagi pada perempuan lain. Rasa bersalahnya terlalu besar untuk itu.

"Fiqiㅡ"

Ponsel Meisy berdering di saat yang tepat. Berhubung layarnya masih ada di depan wajah Rafisqi, dia jadi tahu itu panggilan video dari siapa.

"Baobei**-mu tuh."

Meisy buru-buru melihat layar ponselnya. Gadis itu tiba-tiba beranjak dari kursinya dan pindah duduk ke samping Rafisqi. Dia menyentuh tombol 'jawab' dan mengangkat ponsel agak tinggi, supaya kamera depannya bisa menyorot mereka berdua sekaligus.

Di layarnya, tampak David sedang melambaikan tangan heboh. Pria itu sepertinya sedang duduk di teras rumah. Pencahayaannya agak remang-remang, biar bagaimana pun di sana hari sudah malam.

"Halo, sayang-sayangku!"

Rafisqi memasang tampang jijik dan beringsut menjauh dari jangkauan kamera.

"Eh, Fiqi ke mana? Noo, don't go! Aku kan kangen!"

Meisy kembali menarik Rafisqi mendekat. "Nih, buruan kangen-kangenan!"

"Fiq, mending pulang sekarang deh. Jadi tumbal itu capek! Aku lebih suka jadi kacung."

"Aku saja belum mulai kuliah." Rafisqi berusaha memasang tampang menyesal terbaiknya. "Kerja yang benar ya, Pak Manajer." Sejak dia ke New York, David memang langsung naik jabatan untuk menggantikan posisinya.

"Baru kali ini ada orang yang senang jadi kacung." Meisy menimpali sambil tertawa.

"Jadi kacung lebih bebas tahu, Hon!" David mulai curhat. "Less stressed!"

Mengenai hubungan Meisy dan David, bisa dibilang kalau mereka sudah berteman sejak kecil. Beranjak remaja, David malah lebih sering main dengan Rafisqi dan teman-temannya yang sebaya. Tipikal anak cowok yang malu kalau ketahuan punya teman masa kecil cewek yang lebih muda darinya. Begitu memasuki perguruan tinggi, David akhirnya menyadari kebodohannya dan memperbaiki hubungan dengan Meisy. Singkat cerita, mereka akhirnya saling suka. Nahasnya, David baru punya keberanian untuk menyatakan perasaan beberapa minggu sebelum dia pindah ke Indonesia.

Alhasil, mereka berdua pun jadi pejuang LDR.

Bagi Rafisqi, mereka adalah dua orang yang luar biasa. Kebanyakan pasangan lain akan kandas di tengah jalan kalau diharuskan menjalani hubungan jarak super jauh seperti itu. Namun, David-Meisy malah tetap langgeng dan sebentar lagi akan merayakan hari jadi yang ke-4 tahun.

Di Indonesia, David bersikap layaknya seorang pria lajang. Sebagian besar orang di kantor bahkan tidak tahu kalau dia sudah punya pacar. Begitu pula dengan Meisy. Gadis itu tetap menjalani kehidupannya di Amerika dengan santai tanpa kekangan yang berarti.

Jujur saja, Rafisqi iri.

Sebagai pria yang tidak bisa melewati sehari pun tanpa mengetahui kabar orang yang dia cintai, LDR adalah suatu hal yang mustahil untuknya. Dia sampai mengutus Aris untuk memata-matai Naura, ingat? Seandainya dia kecipratan sedikit saja rasa percaya yang dimiliki David dan Meisy pada satu sama lain, semua mungkin akan berjalan dengan lebih baik.

Namun dari awal kondisinya memang tidak akan memungkinkan, bukan?

Lagi-lagi Rafisqi benci dirinya yang seperti ini.

"Oh iya, Fiq." David kembali berbicara padanya. Kali ini ekspresinya terlihat lebih serius. "Sebenarnya tadi pagi aku ketemu ...."

Rafisqi dibuat kebingungan dengan sikap David yang tiba-tiba menggantung pembicaraan dan tidak kunjung melanjutkannya.

"Ketemu siapa?"

"Ketemu pak Hartono dari departemen sebelah." David akhirnya lanjut berbicara. "Gila ya, itu orang makin ngeyel tiap rapat!"

"Sabar ya, Dav." Tidak ada hal lain yang bisa Rafisqi ucapkan selain itu. "Kalian akan sering ketemu setelah ini."

"Nggak apa-apa, nanti tinggal di-prank." Meisy malah memberikan saran yang tidak berfaedah. "Kunciin di toilet, misalnya?"

"Antagonis banget sih, Hon, tapi ide bagus." David tertawa seraya mengangkat jempolnya. "Ngomong-ngomong, Mei, itu temanku tolong dicarikan cewek dong. Kasihan, malah nimbrung orang lagi video call bareng pacar."

Rafisqi langsung mendengkus sebal dan memberi tatapan tajam. Seandainya saat ini mereka tidak sedang terpisah ribuan mil, dia pasti sudah memberi David pelajaran.

"Susah, Dav." Meisy menghela napas berat. "Dia sudah nggak suka perempuan."

"HEH!"

***
.
.
.

*EMT = Entertainment, Media and Technology. Salah satu jurusan di sekolah bisnis New York University.

**Baobei = panggilan sayang (bahasa Cina),artinya mirip dengan "Baby" dalam bahasa Inggris.

***

Sebelumnya, aku mau nanya.

Teman-teman lebih suka tulisan yang dominan dialog atau dominan narasi/deskripsi?

.

Btw, Part 2 terkesan lebih santai dari Part 1
/capek tegang mulu :')/

Ada yg bertanya-tanya kenapa aku menjelaskan Meisy dengan agak-sedikit-lumayan detail?

Huehehehe

... nggak kok. Perannya ga seperti yang kalian pikirkan.

Chapter ini memang panjang bgt. Aku cuma pengen cepat-cepat nyelesaiin urusan Rafisqi di NY, lalu pindah ke tahap selanjutnya.

.

Lalu kayaknya ini update-an terakhirku di tahun 2019. Aku lagi berusaha ngejar acc, terus sidang. Makanya belakangan ini jadwal update jadi makin nggak nentu.

Mohon do'anya ya, semoga semuanya dilancarkan ㅠ.ㅠ

/Udah capek, muak dan stress berat. Bawaannya pen ngurung diri di kamar terus nangis ajaaa/

.

Lastly, selamat liburan semuanyaa. Happy new year in advance! Sampai jumpa tahun depan! ヽ(^0^)ノ

Salam,
Tia

/20 Desember 2019/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top