8. From summer to autumn (1)

Bandara John F. Kennedy terlihat sangat sibuk di musim panas. Begitu ramai dan penuh sesak. Ratusan orang hilir mudik di terminal kedatangan, sebagian tampak melenggang santai, lainnya terkesan seperti tengah tergesa-gesa. Berbagai bahasa asing terdengar dari segala penjuru, membaur di udara dalam bentuk hiruk pikuk yang tidak bisa ditangkap jelas apa maknanya.

Membuat Rafisqi semakin sadar kalau dia sudah benar-benar jauh dari rumah.

Di tengah keramaian itu, dia terdiam. Dia sudah meninggalkan tempat ini tiga tahun yang lalu, dengan harapan bisa memulai kehidupan yang lebih baik di Indonesia dan melupakan semua kejadian buruk yang dialaminya di sini. Namun, pada akhirnya dia tetap kembali. Kali ini tanpa Dharma dan Syila yang akan menyambutnya di rumah mereka di New York. Sekarang dia benar-benar sendirian, di tempat yang seharusnya cukup familiar, tapi entah kenapa terasa begitu asing. Dihelanya napas berat. Belum apa-apa, dia sudah merindukan rumah, Dharma, Syila, danㅡ

Rafisqi buru-buru menggeleng, mengusir pemikiran apa pun yang hanya akan membuatnya semakin terpuruk. Penerbangan barusan sudah cukup untuk membuatnya jet lag, sebaiknya dia tidak memperburuk keadaan. Dia menarik koper dan bergerak menuju pintu keluar terminal. Seorang petugas bandara berambut pirang menganggukkan kepala begitu dia melewati pintu. Matahari masih bersinar begitu terik dan hawa gerah khas musim panas langsung menerpanya tanpa ampun.

Keadaan di luar ternyata tidak kalah semrawut. Rafisqi mempercepat langkahnya melewati sebuah keluarga yang sedang berpelukan heboh dan serombongan turis Italia yang bergerombol di selasar bandara. Dia melipir ke tempat yang lumayan sepi. Tangan kanannya mengeluarkan ponsel dari saku, berniat mengabarkan yang lain kalau dia sudah sampai. Namun belum sempat dia menyentuh tombol 'send' untuk mengirimkan pesan, seseorang menepuk bahunya cukup keras.

Rafisqi berbalik, mendapati seorang gadis berkemeja biru sedang tersenyum ke arahnya.

"FIQI!" Senyumannya semakin lebar, membuat sepasang matanya menyipit membentuk bulan sabit. "Welcome back!"

Melihat sosok itu muncul di depannya, tentu saja Rafisqi kaget. Terus terang, dia sama sekali tidak berharap akan bertemu wajah yang dikenalinya dalam waktu sesingkat ini.

"Meisy?"

Gadis itu mengangguk semangat. "Lama tidak ketemu!" Dia meraih lengan kanan Rafisqi dan mengguncang-guncangnya, terlihat begitu antusias. "Kau sehat? Sudah menunggu lama? Aku buru-buru ke sini dari kantor, tapi malah kena macet!"

"Eh? Kenapa?" Sekarang Rafisqi malah bingung mendengar racauan bertubi-tubi milik gadis berambut cokelat kepirangan di hadapannya.

"Kenapa?" Meisy ikut terlihat bingung. "David memintaku menjemputmu."

Meisy mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, mengotak-atiknya sesaat dan menunjukkan layarnya pada Rafisqi. Di sana terpampang pesan dari seseorang dengan nama kontak "Baobei". Isinya mengenai jadwal penerbangan Rafisqi dan posisi terminal kedatangan. Rafisqi segera melihat ponsel miliknya. Benar saja, ternyata ada pesan dari David yang belum dia dibaca. Sepertinya dikirim ketika dia masih berada di pesawat.

.

Davidio Mahardika

Dijemput Mei, ya (19.04)

Dia sudah kukasih tahu (19.04)

Sementara menginap di tempatnya saja (19.05)

Nggak usah ke hotel (19.05)

Nanti minta supaya ditemani ke tempat dokter Mikaela (19.05)

Sekalian kalau mau cari apartemen (19.05)

Aku so sweet, kan? ;) (19.05)

Take care (19.05)

.

Rafisqi terkekeh pelan. Dia merasa seperti anak kecil yang dititipkan orang tuanya ketika sedang bepergian jauh seorang diri. Namun, bohong kalau bilang dia tidak terharu membaca pesan tersebut. Seorang David bahkan sampai mengutus langsung pacarnya untuk menjemput Rafisqi di bandara.

Setidaknya sekarang dia tidak benar-benar sendirian.

"Dan kenapa kau tidak memberi tahuku kalau mau ke sini?" Di depannya, Meisy melipat kedua lengan di depan dada dan memasang tampang merajuk. "Masa' aku tahunya dari David? Dadakan pula!"

Rafisqi tertawa kecil. "Sorry, Mei. Aku berangkatnya juga agak mendadak."

Ekspresi Meisy berubah muram. Sesaat, dia hanya memandangi Rafisqi tanpa mengatakan apa-apa.

"Aku masih ingat kalau Fiqi enggak suka dipeluk, tapi," Meisy berjinjit dan mengalungkan kedua lengan di leher Rafisqi, memberinya pelukan. "please have strength."

Pelukan itu berlangsung sangat singkat. Meisy melepaskannya, bahkan sebelum Rafisqi sempat bereaksi apa-apa. Setelahnya, gadis itu hanya menyengir lebar dan mengambil alih koper Rafisqi.

"Ayo pergi!" serunya riang. "Ibuku sudah nggak sabar buat ketemu."

***

Ruangan beraroma lavender itu seolah terjebak dalam kungkungan waktu, tidak berubah sedikit pun sejak terakhir kalinya Rafisqi datang berkunjung. Cat dindingnya yang berwarna cokelat muda tetap memberikan kesan yang lembut dan menenangkan. Di dekat jendela, berjejer rapi pot-pot mungil yang ditanami beraneka jenis kaktus. Rak mahogani di sudut ruangan bahkan posisinya tidak bergeser sedikit pun, masih berisikan puluhan buku yang tertata apik dan dikelompokkan berdasarkan warna serta ukuran. Sofa krem yang tengah dia duduki saat ini pun juga terasa sama. Mau tidak mau, Rafisqi jadi teringat kembali masa-masa yang pernah dia habiskan di sana.

Perhatian Rafisqi tertuju pada akuarium yang ada di sampingnya, diam-diam tersenyum tipis. Ternyata ada juga sedikit hal yang berubah dari ruangan tersebut.

"Sekarang ikannya ada dua belas," komentar Rafisqi tanpa sadar.

Wanita kurus berambut platinum blonde di depannya tertawa. "Oh my, jadi dari tadi kau memikirkan itu?" Tawa itu berubah jadi senyuman lembut, tatapannya ikut tertuju ke akuarium. "Baru-baru ini keponakanku datang berkunjung dan membawakan ikan-ikan itu."

"Dulu ikannya cuma lima." Rafisqi menyentuh pinggiran kaca akuarium. Seekor ikan berwarna merah langsung berenang mendekati jarinya. "Setidaknya sekarang akuarium dokter jadi nggak terlalu sepi."

"Sedikit perubahan ternyata bagus juga, bukan?" Wanita berusia 50 tahunan itu meraih cangkir teh di atas meja dan menyesap isinya perlahan. Sepasang matanya yang berwarna biru pucat tetap tidak lepas dari Rafisqi. "Well, perubahan yang besar pun sebenarnya juga nggak buruk, sih."

Wanita itu kembali tersenyum, semakin mempertegas kesan keibuan yang dimilikinya. Bukan hanya ruangan ini yang nyaris tidak berubah, tapi juga wanita di hadapan Rafisqi. Dokter Mikaela masih tetap sama seperti dulu.

"You've changed a lot, my child."

"For the worst?"

Rafisqi tertawa kecil. Sejak tadi dia berusaha menemukan perubahan sekecil apa pun dari ruangan tersebut. Di luar dugaan, wanita paruh baya itu justru berkomentar terang-terangan kalau dia-lah yang sudah banyak berubah. Tapi, sepertinya memang benar. Sudah terlalu banyak yang berubah pada dirinya.

"Maaf, Dok, akhirnya aku tetap kembali ke ruangan ini."

Dokter Mikaela merupakan psikiater yang membantu Rafisqi selama lima tahun masa-masa tergelapnya. Dia merangkap dosennya Syila ketika kuliah dan melalui kakaknya itu juga-lah Rafisqi berkenalan dengannya. Kembali lagi ke tempat ini setelah dinyatakan sembuh tiga tahun yang lalu ... Rafisqi merasa seperti sudah menyia-nyiakan jerih payah dokter Mikaela untuk menyembuhkannya.

"It's not like that." Dokter Mikaela menggeleng. "Tahu apa bedanya kau yang sekarang dengan kau delapan tahun yang lalu?"

Rafisqi tidak menjawab, membiarkan dokter itu menjelaskannya sendiri.

"Kau yang dulu selalu bersikeras bahwa kau tidak salah. Memukuli pemuda itu sampai kritis, nyaris menikam mantan pacarmu dengan pisau, mendorong calon kakak iparmu dari atas tangga ... kau sama sekali tidak terlihat menyesal sudah melakukannya. Syila dan Dharma mesti mati-matian menyeretmu untuk terapi."

Ah ya, Rafisqi sadar kalau dulu dia memang se-tidak stabil itu.

"Dan sekarang kau datang menemuiku atas keinginan sendiri." Dokter Mikaela menatapnya tepat di manik mata. Kedua sudut bibirnya kembali terangkat. "Kau merasa menyesal dan sadar sudah melakukan kesalahan? Itu bagus, Fiqi."

"Tidak, Dokter." Rafisqi tertunduk memandangi cangkir teh yang ada di depannya. "Sampai sebulan yang lalu aku masih lepas kontrol dan melakukan hal-hal yang," Dia menelan ludah berat. "mengerikan." Dan sejujurnya, dia sama sekali tidak merasa menyesal sudah mengirim Gilang jauh-jauh, membakar cafe Ditya, dan membalas perbuatan teman-teman SMP-nya. Dia masih merasa kalau mereka pantas mendapatkannya.

Namun, dia merasa sangat bersalah sudah menempatkan Naura dalam posisi yang buruk. Dia berbahaya, bahkan untuk seseorang yang katanya akan dia lindungi dengan sebaik-baiknya.

"Ini permintaannya." Rafisqi melanjutkan. "Dia ingin aku kembali terapi. Aku sebenarnya sudah lama sadar kalau gejala-gejala itu mulai kembali, tapi aku menolak mengakuinya. Kupikir lebih baik tetap begini, asalkan bisa membuatnya tetap tinggal, tapi yang kulakukan cuma menyakitinya."

"Intinya kau sadar sudah berbuat kesalahan?" Dokter Mikaela berbicara lambat-lambat, sama sekali tidak bertanya mengenai siapa 'nya' yang dimaksud oleh Rafisqi.

"... Ya."

"Siapa pun itu, dia sudah membukakan pikiranmu."

Wanita itu terkekeh pelan. Dia meraih kacamata yang ada di atas meja, mengenakannya dan mulai menuliskan sesuatu pada kertas di hadapannya. Awalnya Rafisqi mengira ini masih mengobrol biasa, tapi ternyata mereka sudah masuk ke tahap terapi. Dokter Mikaela memang ahli membuat sesi psikoterapi tidak terasa seperti "terapi". Alih-alih mirip sesi wawancara yang menegangkan, berurusan dengan dokter yang satu itu lebih terasa seperti sedang mengobrol dengan teman lama.

"Oh, Syila bilang kau memberi keponakanmu kucing di hari ulang tahunnya!" Dokter Mikaela tiba-tiba terlihat bersemangat. "Kalau tidak salah, kucingnya kau beri nama 'Raisa'?"

"Dan Rosy malah memberinya nama 'Emon'." Rafisqi masih ingat betapa kagetnya dia waktu diberitahu kalau gadis kecil itu memberi nama 'Emon' pada Raisa. Terinspirasi dari Doraemon, katanya. "Kadang aku iseng memanggil 'Raisa'. Rasanya lucu melihat Rosy mengambek cuma karena nama kucing."

"Wah, pasti cute!"

Saat itulah Rafisqi tersadar. "Dokter cuma mau memastikan kondisi fobiaku, kan?"

"Gimana, yaa?" Dokter Mikaela malah tertawa menggodanya. "Lalu bagaimana dengan rumah sakit dan laut? Masih semenakutkan dulu?"

Butuh waktu agak lama bagi Rafisqi untuk menjawab pertanyaan barusan. "Masih, tapi untuk alasan yang berbeda." Karena dua tempat itu mulai memberikan kesan yang lain sejak dia mengenal Naura. "Menurut dokter, bagaimana kondisiku yang sekarang? Berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk terapi? Apa aku perlu mengonsumsi obat tertentu?"

"Kau tahu, Fiqi?" Dokter Mikaela menaruh catatannya di atas meja dan agak mencondongkan tubuhnya ke arah Rafisqi. "Sebenarnya kau tidak perlu jauh-jauh menemuiku ke New York. Your symptoms aren't that complicated like before. Yang paling kau butuhkan sekarang adalah berdamai dengan diri sendiri.

"Yes, you're still overly possesive, but in the end you decided to let her go. Masih lumayan impulsif dan susah mengontrol emosi, tapi ternyata semua bersumber dan disebabkan oleh orang yang sama. We can fix that. Lalu apa sekarang kau sedang berusaha menghukum diri sendiri?"

Dokter Mikaela bicara sambil terus menatapnya lekat-lekat, seolah tengah berusaha menerawang isi pikiran Rafisqi dan mengobrak-abriknya demi menemukan informasi yang dia butuhkan. Rafisqi refleks melepaskan pandangan di pertanyaan terakhir, tanpa sadar malah memberi wanita itu jawaban secara tidak langsung.

"Oh, Fiqi." Dokter Mikaela mengulurkan tangan dan menggenggam tangan kiri Rafisqi, yang tanpa disadarinya, sudah terkepal erat sejak tadi. "Bagaimana dengan mimpi buruk?"

"Belakangan ini aku kembali sering memimpikan Tata, lalu dia, lalu ... mobil dan truk." Rafisqi sudah terlalu terbiasa menceritakan semua apa adanya pada dokter Mikaela. Wanita itu tidak pernah mengintimidasi dan menghakiminya, semengerikan apa pun hal yang dia ceritakan. "Semuanya buruk."

"We'll get through this," tukas dokter Mikaela, terdengar begitu yakin dan optimis. "Tapi sekarang aku mau minta pendapatmu. Apa kau siap memperbaiki semuanya, dimulai dari akarnya?"

"Aku harus menemui Naura?" Sejujurnya Rafisqi sudah tidak punya muka untuk muncul lagi di hadapan gadis itu.

"Jadi namanya Naura?" Dokter Mikaela malah tersenyum menggodanya. "But nope. Not her. Yang aku maksud, sumber dari semuanya. Kau harus mundur ke delapan tahun yang lalu."

Sepasang mata Rafisqi melebar. Dia mulai memahami arah pembicaraan ini. Disaat yang bersamaan, dia tahu siapa yang dokter Mikaela maksud dengan "sumber dari semuanya".

"Seharusnya kita menuntaskan ini sejak lama, Fiqi. Aku punya dugaan, kenapa semua symptoms itu kembali muncul walaupun kau sudah pernah dinyatakan sembuh. Jauh di lubuk hatimu, kau masih menolak untuk berdamai dengan masa lalu, bukan?"

***

Bersambung ke part 2 >>>

Part 2-nya menyusul ntar malam, ya. Chapter 8 ini puanjaang. Kalau baca sekaligus, takutnya ntar malah kliyengan :3

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top