19. Perfectly Imperfect (2)

/Part 2/

.
.
.

Seorang wanita tuaㅡdia mengaku sebagai keluarganya si ibu hamilㅡyang datang tidak lama setelah kejadian itu terus-terusan berterima kasih pada Naura. Dan tidak hanya dibebaskan dari keharusan membayar empat kelapa muda yang tadi diminumnya, gadis itu juga mendapatkan lima kelapa muda lagi secara cuma-cuma. Karena sudah jadi pahlawan, kata si ibu penjual ketika Naura berniat menyerahkan uangnya. Ibu itu jugalah yang menyimpankan tas Naura ketika dia sedang melaksanakan misi heroik sebelumnya.

Berhubung Naura benar-benar akan jatuh sakit kalau dibiarkan dalam kondisi begitu lebih lama, Rafisqi langsung berinisiatif mengajaknya pulang. Gadis itu harus mandi dan ganti baju secepatnya. Seorang penduduk menawarkan diri untuk mengantar mereka ke mobil Rafisqi yang ternyata terparkir lumayan jauh.

"Jadi kau jalan kaki ke tempat tadi?" Naura menatapnya takjub, terlihat berusaha menahan senyum. "Wow."

Rafisqi memilih untuk tidak berkomentar. Dia sendiri tidak sadar sudah berjalan sejauh itu.

Naura kembali menggigil hebat ketika mereka berpindah ke mobilnya. Niat awal Rafisqi untuk mengantarnya ke apartemen, berubah seketika. Dia membelokkan mobil menuju pondok tepi pantai milik keluarganya yang posisinya tidak terlalu jauh dari sana. Nasib baik pula kunci cadangannya selalu dipegang salah seorang warga sana yang dipekerjakan untuk bersih-bersih secara berkala.

"Ini." Rafisqi menyerahkan handuk dan pakaian milik Balqis yang ditemukannya setelah memeriksa seluruh kamar dan lemari yang ada di pondokan. "Sana mandi dulu. Aku mau keluar sebentar."

Naura mematuhinya tanpa banyak bicara. Setelah memastikan gadis itu masuk ke kamar mandi, Rafisqi keluar dari pondok, mengunci pintu, dan menghampiri mobilnya yang terparkir di garasi. Situasi di luar sana tidak menunjukkan tanda-tanda akan membaik, malah semakin parah. Rafisqi harus menyetir lambat-lambat dikarenakan jarak pandangnya menjadi sangat terbatas akibat hujan deras.

Hari ini entah kenapa terasa jauh lebih panjang dibanding biasanya. Jam bahkan masih belum menunjukkan pukul 6 sore. Terbukti kalau sejak awal dia memang salah menentukan waktu untuk mengajak Naura keluar.

Setelah membeli makanan dan minuman hangat, lalu singgah sebentar di apotek untuk membeli plester dan obat luka, Rafisqi berusaha untuk kembali secepat yang dia bisa. Sesampainya di pondok, dia menemukan Naura di ruang tengah, sudah berganti baju dengan handuk masih bertengger di rambutnya yang masih basah. Gadis itu tampak melamun dengan satu tangan menopang dagu dan tatapan terpaku pada pemandangan badai di luar jendela.

"Kau masih kedinginan?"

Pertanyaannya itu membuat Naura tersentak dan memutar kepala menghadapnya.

"Astaga!" Naura bangkit dari sofa dan memperhatikannya dari ujung kepala ke ujung kaki. "Kau dari mana?"

Paham maksud gadis itu, Rafisqi refleks menyibak rambut basahnya yang jatuh menutupi kening. Kondisinya saat ini tidak ada bedanya dengan Naura ketika baru keluar dari laut tadi. Padahal jarak yang dia tempuh tanpa payung hanyalah dari mobil ke tempat penjual makanan dan juga apotek.

"Beli makanan," jawabnya seraya mengulurkan kantong-kantong plastik di tangan. "Sama obat luka."

Naura mengamatinya sesaat sebelum akhirnya menerima kantong tersebut. "Memang nggak ada payung?"

"Bisa-bisa aku terbang." Rafisqi tertawa. Mengingat betapa mengerikannya kondisi angin di luar sana, itu bukan hal yang mustahil.

"Iya juga." Naura meringis. "Ya sudah, sekarang kau yang mandi."

Rafisqi mengangguk dan melangkah menuju kamar mandi sambil berhati-hati agar tidak terpeleset butiran air yang terus menetes dari pakaiannya.

"Ngomong-ngomong ... Rafisqi?"

"Ya?" Rafisqi berbalik dan mendapati Naura masih belum beranjak dari tempatnya semula.

"Makasih."

Ucapan disertai senyuman yang terlihat begitu tulus itu sukses membuat Rafisqi tertegun. Setelah semua yang terjadi sepanjang satu hari ini, perkataan barusan entah kenapa terasa seperti hembusan angin segar.

"Sama-sama," balasnya, mencoba mengabaikan rasa getir yang mendadak kembali bercokol di hati.

Bagaimanapun, hari ini masih belum akan berakhir.

***

Mereka duduk bersebelahan, tapi tidak ada obrolan yang menghiasi acara makan malam ala kadarnya itu. Keduanya seolah sepakat untuk membiarkan suara petir yang berkali-kali menyambar, tempias hujan yang menghantam jendela, dan debur ombak di kejauhan, untuk mengisi kekosongan yang mulai terasa mencekam.

Rafisqi mencoba menghilangkan kegugupan dengan berkutat pada ponsel. Dia teringat untuk mengirimi David pesan mengenai keberadaan Naura, sekaligus minta untuk menyampaikan hal yang sama ke Aris. Terbayang olehnya mereka masih berkeliaran di luar sana mencari Naura dalam keadaan hujan badai seperti ini. Tidak lupa pula dia memberitahu Lesty. Dengan informasi yang disampaikan seminimal mungkin, tentunya. Kalaupun gadis yang satu itu memang harus tahu tentang "Naura yang nyaris hilang di laut", lebih baik dia tahu dari Naura sendiri. Rafisqi masih sayang nyawa.

"Ada charger?"

Rafisqi tersentak saat Naura mengajaknya bicara tiba-tiba. Dia bahkan sampai hampir menjatuhkan ponsel.

"Sampai kaget begitu. Memikirkan apa, sih?" Naura tersenyum heran. "Jadi, ada atau tidak? Ponselku mati total." Dia menggoyang-goyangkan ponsel ungu miliknya.

Sekarang Rafisqi tahu kenapa tadi ponsel Naura sempat tidak bisa dihubungi. "Sebentar." Dia beranjak menuju lemari di samping televisi dan mengambil charger cadangan yang selalu tersimpan di sana. "Ini."

Sementara Naura menyambungkan ponselnya dengan kabel charger dan mencolokkan ujung satunya ke terminal listrik yang ada di samping sofa, Rafisqi mencoba memutar otak. Dia masih belum menemukan cara untuk membuka pembicaraan. Padahal tadi dia sendiri yang berinisiatif untuk mengajak "bicara", tapi sekarang malah jadi mati kutu begini.

Di sampingnya, mendadak Naura tertawa. Rafisqi menoleh dan mendapati gadis itu tergelak sambil memperhatikan sesuatu di layar ponselnya yang sudah dinyalakan.

"57 panggilan tak terjawab?" Naura memperlihatkan layar ponselnya pada Rafisqi. "Dasar. Pantas saja baterainya habis."

"Kenapa tidak angkat teleponku?" Rafisqi menanyakan salah satu hal yang mengganggunya sejak beberapa jam yang lalu.

"Buat apa?" Tawa Naura berubah jadi terkesan agak sinis. "Kau cuma akan mengatakan hal-hal bodoh."

"Memangnya kau tahu aku mau membicarakan apa?"

"Tahu."

Rafisqi terdiam mendengar nada yakin dalam satu kata barusan. Gadis itu memutar tubuh menghadap ke arahnya dan menatapnya lekat-lekat. Perkataan berikutnya yang diucapkan Naura dengan senyum tipis terulas di bibir berhasil membuat Rafisqi kehilangan kata-kata.

"Tentang pembatalan pernikahan, kan?"

Rasanya seperti terkena pukulan tak kasat mata tepat di ulu hati. Naura sudah mengetahui hal itu. Sejak kapan? Rafisqi mulai bertanya-tanya apa isi kepalanya memang segampang itu untuk ditebak.

Sementara Rafisqi masih mematung di tempatnya, tidak tahu bagaimana cara menanggapi informasi tidak terduga barusan, Naura kembali mengubah duduknya jadi menghadap depan dan secara tidak langsung memutus kontak mata mereka. Sepertinya gadis itu baru saja berhasil mengartikan diamnya sebagai jawaban "iya".

"Sudah kubilang, itu bodoh," lanjut Naura sembari menaruh ponsel di atas meja dan meraih gelas berisi teh sebagai gantinya. "Kau sadar tidak, dengan sikapmu yang seperti ini ...." Naura menghela napas berat. "Aku merasa seperti dipermainkan." Setelah itu dia meminum tehnya dan tidak mengatakan apa-apa lagi.

Mendengar itu, Rafisqi hanya bisa tertawa pahit. Tentu saja dia tahu. Dua tahun yang lalu, dia yang bersikeras menahan Naura dalam ikatan pertunangan, walaupun tahu kalau gadis itu sama sekali tidak menginginkannya. Setelah itu dia memutuskan untuk menghilang dan meninggalkan semua kesalahannya yang menggunung. Lalu belum lama ini, dia yang menghubungi Naura dan menawarkan pernikahan untuk yang kedua kalinya. Namun, sekarang dia jugalah yang ingin menyudahi semuanya.

"Berengsek, kan?" Rafisqi mengangguk menyetujui perkataannya sendiri. Sepertinya memang tidak ada kata lain yang lebih pas untuk menggambarkan semua sikapnya pada Naura. "Satu lagi alasan untuk tidak terjebak bersamaku."

Oke. Rafisqi merasa sekaranglah saatnya untuk bicara.

"Kupikir," Rafisqi menarik napas dalam-dalam. Baru kalimat pertama, tapi rasanya sudah seberat ini di hati maupun lidah. "aku akan melepaskanmu."

Dia tidak sanggup melihat Naura ketika mengatakannya.

"Kau berhak dapat yang terbaik and I'm not the perfect fit for you. Aku akan bertanggung jawab mengatakan semuanya pada keluarga kita. Apa pun risikonya nanti, aku akan menanggung semuanya. Mungkin Papi tidak akan memaafkankuㅡTidak. Tidak apa-apa juga kalau pun dia tidak memaafkanku."

Tanpa sadar Rafisqi mulai meracau. Kata-kata yang keluar sama sekali tidak seperti yang dia harapkan. Dia terlalu terbawa emosi dan itu membuat perkataannya jadi terasa kacau balau.

"Rafisqi ...."

Dia berusaha mengabaikan nada prihatin yang saat ini ditujukan padanya. Tidak. Bukan reaksi seperti ini yang dia harapkan. Dia akan jauh lebih tenang seandainya gadis itu marah, berteriak, membentak, atau mungkin menamparnya saat itu juga. Begitu jauh lebih layak.

"Dua kali kau tidak punya pilihan untuk bilang 'tidak', jadi kali ini, hal terakhir yang bisa kulakukan adalah memberimu pilihan untuk bebas," Rafisqi merasakan tenggorokannya agak tercekat. "dari semua ini."

Apa benar-benar ini yang dia inginkan?

Benarkah?

Saat itulah perkataan lainㅡyang sama sekali tidak ada dalam rencanaㅡkembali meluncur dari mulutnya.

"Kupikir begitu, tapi ...." Rafisqi membenamkan kepalanya di antara kedua telapak tangan. Untuk yang kesekian kalinya, bayangan kejadian di laut kembali menghantuinya. Rasa takut. Tidak berdaya. Putus asa. Semuanya kembali dalam bentuk ingatan utuh. "Rasanya mengerikan waktu berpikir aku tidak akan bisa melihatmu lagi. Tapi tiap melihatmu, yang terpikirkan olehku cuma hal buruk yang pernah kulakukan. Aku tidak bisa melihatmu tanpa berpikir kalau aku harus meminta maaf berkali-kali.

"Maaf. Aku benar-benar minta maaf. Aku ingin melepaskanmu, Naura, tapi aku merasa tidak bisa jika tidak melihatmu. Aku sangat yakin sebaiknya kau menjauh saja dariku, tapi aku ...." Kali ini Rafisqi memberanikan diri menatap lawan bicaranya. "Aku mencintaimu."

Kepalanya sakit. Hati dan pikirannya terasa seperti terombang-ambing. Ternyata dia masih belum bisa mengambil keputusan.

"Jadi aku harus bagaimana?" Pertanyaan itu tepatnya ditujukan untuk dirinya sendiri.

Keheningan yang mengikuti setelahnya terasa begitu menyiksa.

Laki-laki harus senantiasa terlihat kuat. Rafisqi selalu beranggapan bahwa menunjukkan dirinya yang seperti ini akan membuat orang-orang mencapnya sebagai pribadi yang lembek, plin plan, tidak tegas, dan memalukan. Selama ini, satu-satunya orang yang Rafisqi izinkan untuk melihat sisi lainnya yang begini hanyalah Dokter Mikaela. Dia tahu psikiaternya itu akan selalu mendengar ceritanya tanpa prasangka, kemudian tersenyum padanya sambil mengatakan bahwa semua perasaannya adalah valid dan tidak perlu malu karena merasa demikian.

Dan sekarang dia memperlihatkan dirinya yang seperti ini pada Naura.

Entah apa yang akan dipikirkan gadis itu tentangnya setelah ini.

"Kalau begitu, biarkan semuanya tetap begini."

Akhirnya Naura bersuara. Rafisqi mendapati gadis itu tertunduk memandangi gelas yang baru saja ditaruhnya di atas meja. Rafisqi mengerjap-ngerjap bingung, sama sekali tidak bisa menangkap maksud dari kata-kata barusan.

"Kalau kau belum tahu harus bagaimana, tetap di posisi sekarang. Tidak apa-apa saat ini kau merasa tidak bisa berjalan maju, tapi jangan coba-coba untuk mengambil langkah mundur."

Lanjutannya bahkan terdengar semakin tidak masuk akal.

Namun, Rafisqi tidak mempersiapkan diri untuk pernyataan berikutnya, yang ternyata ibarat sebuah bom dijatuhkan tanpa peringatan.

"Aku juga mencintaimu, Rafisqi."

Naura kembali menatapnya, kali ini sambil tersenyum.

"Apa itu berhasil menyelesaikan semuanya? Kau tidak harus menjauhiku atau pun melepaskanku. Kau bisa tetap melihatku dan tidak perlu merasa bersalah pada ayahmu serta keluarga kita yang lain. Apa itu cukup?"

Tidak mungkin.

Rafisqi merasa dia telah memperhitungkan segala kemungkinan, mempertimbangkan semua yang telah dan akan terjadi, serta memikirkan apa saja yang harus dia lakukan dan katakan. Namun, ini sudah meleset terlampau jauh. Tidak pernah sedikit pun terpikirkan olehnya kalau Naura juga mencintainya. Hanya membayangkan pun rasanya dia tidak mampu.

"Aku mengerti kau ingin membuat perasaanku membaik," Rafisqi berusaha memaksakan senyum di tengah kondisi hatinya yang masih carut-marut. "tapi yang barusan sama sekali tidak dibutuhkan."

"Apa?" Kali ini suara Naura agak meninggi. "Kau lebih tidak peka dari perkiraanku! Dengar, Rafisqi."

Naura meraih tangan kirinya dan gerakan tiba-tiba itu sukses membuat Rafisqi tersentak kaget.

"Ini bukan karena kondisi ayahmu. Aku bisa saja menolak kalau aku mau, tapi sayangnya aku sama sekali tidak mau."

Kedua tangan Naura masih menggenggam tangannya erat-erat dan mengguncangnya sesekali dengan gestur tidak sabar.

"Kesalahpahaman ini tidak akan berlanjut seandainya aku jujur sejak awal. Oh, wait. I did." Naura tertawa. Kali ini tawa yang terkesan seperti menyindir. "Kau pernah bertanya kenapa aku setuju untuk menikah denganmu dan waktu itu kujawab 'karena aku mencintaimu', dan coba tebak. Kau tidak percaya! Kupikir, 'Oke, mungkin Rafisqi masih butuh waktu, jadi sebaiknya kutunjukkan lewat tindakan saja'. Tapi ... oh God!" Naura mendesah frustrasi. "Ternyata kepalamu jadi lebih batu dibanding dua tahun lalu. Tidak hanya itu, kau seperti membangun dinding tebal yang tidak bisa kutembus. Kalau begitu caranya, bagaimana aku bisa menunjukkan kalau aku memang mencintaimu?"

Lagi-lagi kalimat asing itu. Kalimat yang tidak seharusnya ada. Semakin didengar, rasanya jadi semakin aneh. Rafisqi masih bergeming di tempatnya, sementara Naura lanjut memuntahkan lebih banyak kata-kata. Gadis itu terlihat sangat emosi.

"Lalu bisa-bisanya kau membuat asumsi dan menarik kesimpulan sendiri tentang hal sepenting ini! Aku tidak terima!" Kali ini Naura menyentak lengannya dengan agak kuat. "Aku mencintaimu. Jadi, jangan memikirkan hal yang tidak perlu dan tinggal saja di sisiku selamanya."

Ini gila. Benar-benar gila. Dan Rafisqi merasa semakin tidak waras karena bisa-bisanya dia tertawa. Sebelah tangannya yang bebas terangkat untuk menutupi wajah. Dia tidak sanggup lagi melihat wajah Naura lebih lama.

"I don't deserve you ...," ujarnya lambat-lambat.

"Wrong. No one deserves me more than you." Yakin, lugas, dan tanpa keraguan sedikit pun.

Naura memang mengagumkan.

Sekaligus menakutkan.

Benar-benar bagai ombak besar yang menerjang kuat dan meluluhlantakkan semuanya.

Rafisqi menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya bertanya dengan suara pelan, "Sejak kapan?"

"Dua tahun lalu."

Sejak masa-masa kelam itu?

"Sebenarnya kau yang dulu sudah berhasil membuatku merasa seperti ini." Suara Naura mulai melunak. "Aku sudah pernah bilang, kan? Tidak ada yang terlahir rusak. You are just you."

Ah, kata-kata ini.

Rafisqi ingat dia sempat terpana ketika mendengar Naura mengatakan itu untuk yang pertama kalinya. Waktu itu, dia merasa seolah dirinya normal dan pada akhirnya ada orang yang bersedia menerimanya yang seperti ini. Naura tidak pernah tahu kalau perasaan Rafisqi tumbuh semakin tidak terkendaliㅡhingga sampai ke tahap yang membahayakanㅡsejak saat itu.

"Tapi dulu aku tidak bisa bersamamu dengan kondisimu yang seperti itu." Kali ini Naura agak tertunduk, mulai terlihat menyesal. "Kau ... mengerti maksudku."

Tentu saja Rafisqi paham. Dirinya yang terlalu berbahaya dan tidak stabil hanya akan menjauhkan Naura dari orang-orang yang dianggapnya penting dan berharga. Itu bukan hal yang seharusnya ada dalam hubungan yang wajar.

"Rafisqi, kau yang sekarang cukup mengejutkanku. Setelah dua tahun, aku egois karena sempat berpikir kau akan langsung kembali menjadi dirimu yang heboh, usil, dan cerewet. Tapi tidak apa-apa! Terima kasih karena sudah berusaha untuk sembuh dan kembali ke sini. Just take your time. Tidak perlu terburu-buru menghadapi semua ini. Aku akan tetap di sini, tidak ke mana-mana."

Rasanya seperti ada lonceng besar yang berdentang di kepalanya.

Nasihat Mila memang benar. Yang mereka berdua butuhkan adalah bicara. Bukannya tetap diam dan membiarkan keadaan jadi semakin tak terkendali seperti ini. Rafisqi juga akhirnya membenarkan perkataan David. Dia terlalu fokus pada pemikirannya sendiri. Prasangka mengakibatkan penilaiannya menjadi kabur dan ego membuatnya lebih mengedepankan pendapatnya sendiri. Sekarang dia merasa begitu bodoh karena bisa-bisanya melewatkan begitu banyak hal penting.

Naura masih memegang tangannya dengan tatapan teduh dan senyum tulus yang hanya tertuju untuknya.

Untuk pertama kalinya, Rafisqi bisa melihat semuanya dengan mata terbuka.

Pada pertemuan mereka di rumah sakit, ketika dia tidak tahu harus bersikap bagaimana, Naura-lah yang lebih dulu menghampiri dan mengajaknya bicara.

Saat Rafisqi terlalu terpaku pada kesalahannya di masa lalu, Naura justru membantunya untuk berdamai dengan semua itu satu per satu.

Dan setelah dipikir-pikir, ternyata masih banyak lagi hal lain yang selama ini lolos dari perhatiannya.

Bagaimana mungkin Rafisqi tidak menyadarinya? Sekilas memang tidak terlihat jelas, tapi ada yang berubah sejak dia kembali ke sini. Cara Naura bicara padanya, caranya menatap, dan caranya tersenyum.

Perlahan Rafisqi merasakan debaran halus di dadanya. Semakin lama, semakin cepat. Dan dia tidak bisa lagi memikirkan apa pun, selain tentang satu gadis yang saat ini berada di dekatnya.

"Sebenarnya ini tidak diperlukan lagi, tapi ...." Naura mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Rafisqi lembut. "Aku memaafkanmu, Rafisqi."

Rafisqi tidak bisa menahannya lagi. Ini sudah lebih dari yang sanggup ditanggungnya. Dia hanya bisa tertunduk, sementara tangan kanannya terangkat untuk menyentuh tangan Naura yang berada di pipinya.

"Terima kasih," ungkapnya pelan, nyaris menyerupai bisikan. "Terima kasih banyak."

***
.
.
.

/bentar mau nangis dulu/

....

FINALLYYY! /hiks/

Serius, ini salah satu chapter yang paling susah buat ditulis!
Aku benar-benar takut ngelakuin kesalahan lalu gagal menciptakan "feel" yang sesuai
ㅠ.ㅠ

Dan, yaa, inilah yang terjadi

Sengaja di chapter sebelumnya gak aktif balesin komen kaya biasa. Soalnya kutakut malah nge-spoiler :')

Tenaang, aku nggak setega itu bikin cerita NauRafisqi jadi sad ending (n˘v˘•)

Sooo, inilah ending terbaik yang bisa kusajikan dan semoga sesuai dengan selera kalian ❤
Kalo nggak juga gapapa, sih. Aku juga nggak bisa berharap ini bisa memuaskan ekspektasi semua orang ;)

.

LOVE YOU ALL!

Salam,
Tia

/4 September 2020/

Multimedia: "Always You" by Astro
(piano ver.)

.
.
.

Oh iya hampir ketinggalan!

HITUNG MUNDUR MENUJU EPILOG

[ 0 ]

Sampai jumpa di Epilog! 😎

.
.
.

Eh, satu lagi!

Silakan mampir juga ke ceritaku yang baruu 。^‿^。
Judulnya "Polaris Project"
Ayo ketemu Mila di sana!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top