19. Perfectly Imperfect (1)

Genggaman Rafisqi pada ponsel semakin menguat. Beberapa saat yang lalu, dia kembali mencoba menelepon, sangat berharap panggilannya akan dibalas oleh nada sambung monoton seperti biasa. Namun, yang dia peroleh kali ini justru pemberitahuan operator bahwa nomor yang dihubungi sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan. Padahal belum lama ini teleponnya masih terhubung, walaupun tidak pernah diangkat.

Kenapa?

Sambil berpikir demikian, perlahan kedua kakinya melangkah mengikuti arah pandangnya yang masih tertuju jauh ke lautan.

Rafisqi mulai kehabisan alasan untuk mengusir semua prasangka negatif yang bermunculan di pikiran. Semuanya tetap saja mengarah pada satu kesimpulan, tidak peduli sekeras apa pun dia berusaha berpikir sebaliknya. Orang yang dicarinya kemungkinan besar memang ada di depan sana dengan kondisi yang entah bagaimana.

Padahal masih banyak yang harus dia katakan.

Maaf atas kejadian waktu mereka SMP. Maaf karena sudah memaksakan perasaan dan kehendaknya. Maaf karena menyakiti dan menyebabkan luka. Maaf karena dia adalah orang yang seperti ini.

Rafisqi tersenyum getir saat menyadari bahwa semua yang ingin dia sampaikan pada Naura hanyalah permintaan maaf. Betapa ironisnya.

Tidak. Dia kembali mengambil langkah maju. Ada satu lagi yang harus dikatakan. Hal yang sangat penting.

Dia hampir menyerah untuk berpikir jernih. Otaknya terasa diselimuti awan tebal yang mengaburkan akal sehat. Saat itulah dia merasakan seseorang mencekal lengan kirinya dengan sangat kuat.

"Berhenti!"

Rafisqi menoleh dan mendapati si bapak berjas hujanㅡyang tadi memberitahunya bahwa yang tenggelam adalah perempuan berbaju biruㅡmelihatnya dengan ekspresi panik.

"Bahaya!" bentak pria paruh baya itu seraya menariknya agar kembali mundur ke tempat semula. Beberapa orang yang ada di sana mulai ikut memperhatikan. "Jadi kau memang mengenalnya? Tolong jangan gegabah! Tenanglah. Tidak akan membantu kalau kau juga ikut terseret ombak."

Hujan yang turun tidak lagi berupa rintik-rintik kecil dan ombak di lautan terlihat bergejolak semakin mengerikan. Naura bisa berenang. Gadis itu bahkan pernah membanggakan rekornya dalam menahan napas. Namun, di kondisi seperti ini, tidak akan ada manusia biasa yang bisa bertahan lama.

Rafisqi membawa tangannya ke kepala dan memejamkan mata rapat-rapat. Tenanglah, batinnya, begitu putus asa untuk mensugesti pikiran sendiri. Tidak apa-apa. Semua pasti akan baik-baik saja.

Dan saat itulah wajah Juwita kembali terbayang.

Mendadak Rafisqi merasa dirinya kembali berusia 18 tahun, sedang berdiri mematung di depan sesosok tubuh kecil yang tergeletak bergelimang darah. Panik. Putus asa. Tidak berdaya. Perasaan seolah semuanya sudah terlambat dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan.

Kali ini dia kembali berada di posisi yang sama. Dia akan kehilangan. Lagi.

Suasana di sekitarnya mendadak ricuh. Orang-orang berbicara bersamaan. Beberapa bahkan sampai berteriak. Rafisqi kembali membuka mata dan dia sontak menahan napas.

Sekitar 15 meter dari tempatnya berdiri, tampak beberapa sosok yang timbul-tenggelam di atas permukaan air laut. Jumlahnyaㅡkalau dia tidak salah hitungㅡada enam orang dan beberapa diantaranya mengenakan jaket pelampung berwarna jingga. Berkali-kali arus laut menerpa dan mendesak orang-orang itu kembali ke tengah, membuat usaha mereka untuk berenang mencapai daratan terlihat jauh lebih susah dari yang seharusnya.

Semua yang menyaksikan di pinggir serentak menghembuskan napas lega saat keenam orang itu berhasil mencapai pantai. Namun, Rafisqi belum bisa merasakan kelegaan yang sama. Dia menyipitkan mata, berusaha memfokuskan pandangannya pada sosok-sosok di kejauhan. Jantungnya nyaris berhenti saat mendapati sosok familiar yang muncul paling akhir. Mengabaikan seruan dari beberapa orang di dekatnya, dia memacu langkah ke arah pantai.

Tanpa mengindahkan air hujan yang menghujam wajahnya dengan lebih menyakitkan dibanding sebelumnya dan air laut yang perlahan mencapai tumitnya, Rafisqi berlari menghampiri rombongan tersebut. Dia melewati tiga orang priaㅡsepertinya petugas penyelamatㅡyang sedang menggotong seseorang, entah siapa. Rafisqi tidak mengenali perempuan berambut pendek yang sedang tidak sadarkan diri itu. Matanya fokus pada dua orang yang berjalan paling belakang, lebih tepatnya pada gadis berambut hitam yang tengah dipapah oleh seorang pemuda di sampingnya.

"Rafisqi?"

Sepasang mata Naura membola tidak percaya ketika Rafisqi berhenti tepat di hadapannya. Terlepas dari penampilannya yang berantakan, bibir pucat, dan tubuh yang menggigil hebat, Rafisqi bersyukur melihatnya dalam keadaan utuh tanpa kurang apa pun. Tatapan Naura yang tertuju padanya mulai menunjukkan protes.

"Apa yang kau lakukan? Di sini bahaㅡ"

Dan Rafisqi tidak bisa lagi menahan diri. Dia segera mengulurkan kedua tangan dan menarik Naura ke pelukan. Aroma asin khas air laut terasa menghujam indera penciumannya, tapi dia tidak peduli dan justru semakin mengeratkan pelukan, berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa gadis itu tidak ke mana-mana dan memang nyata ada di depannya. Bahunya perlahan mengendur dan barulah Rafisqi bisa menghembuskan napas pelan.

Syukurlah.

Gelombang rasa lega menerpanya tanpa ampun dan selama beberapa saat dia hanya mengulang-ulang satu kata tersebut dalam hati.

"Aku baik-baik saja." Suara Naura nyaris tak terdengar, teredam oleh pelukannya dan deru ombak di dekat mereka. "Jangan khawatir."

Bagaimana mungkin Naura bisa bilang "baik-baik saja" dalam kondisi seperti ini? Rafisqi melepas gadis itu dan memberinya tatapan tidak terima. Dia bersiap untuk memuntahkan serentetan kalimat protesㅡsetelah semua ketakutan dan ketegangan tadi, dia merasa teramat sangat layak untuk melakukan ituㅡtapi pemuda yang sejak tadi diam di samping Naura tiba-tiba menyeletuk.

"Maaf, Mas, Mbak, sebaiknya kita menjauhi laut sekarang. Di sini sangat berbahaya."

Rafisqi mengangguk. Tanpa mengatakan apa-apa, lengan kirinya berpindah merangkul bahu Naura, sementara tangan yang satunya memegangi lengan gadis itu. Kondisi Naura yang sesungguhnya terlihat jauh dari kata baik-baik saja. Dia masih megap-megap, seperti kesulitan bernapas. Selain itu, suhu tubuhnya benar-benar dingin. Sungguh suatu keajaiban dia masih bisa berdiri di atas kakinya sendiri.

Jantung Rafisqi kembali berpacu. Bayangan akan kehilangan Naura selamanya kembali terbayang jelas. Efek mengerikannya masih tersisa, sehingga yang bisa dia lakukan hanyalah mengeratkan genggaman tangannya yang gemetar dan menarik Naura agar semakin merapat padanya.

Tidak apa-apa. Tenanglah. Rafisqi kembali membatin. Dia sudah ada di sini. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Sepertinya saat ini justru dialah yang perlu bertopang pada Naura agar tidak jatuh saat itu juga, dan bukan sebaliknya.

***

Mereka berteduh di sebuah pondokan tepi pantai milik warga setempat. Di depan Rafisqi, Naura sedang mengeringkan rambut dengan handuk yang baru saja diberikan padanya. Sebuah handuk lain tersampir di bahu, menyelubungi tubuhnya yang basah total. Namun, setidaknya gadis itu tidak lagi terlalu menggigil seperti tadi.

"Kasihan sekali." Tatapan Naura tertuju pada satu titik di balik punggung Rafisqi. "Padahal lagi hamil."

Tanpa perlu menoleh pun, Rafisqi tahu apa yang dimaksud gadis itu. Ternyata memang ada satu orang lagi yang tenggelam bersama Naura. Seorang wanita muda dengan perut yang agak membesar. Perhatian semua orang masih tertuju pada wanita itu. Mereka tadinya sempat menanyai Naura demi memastikan apa dia terluka dan sebagainya, tapi gadis keras kepala itu sekali lagi bilang "baik-baik saja" dan meminta agar semuanya lebih fokus pada si wanita hamil. Berbeda dengan Naura yang memang terlihat stabil, wanita malang itu masih belum sadarkan diri sampai sekarang. Lalu, coba tebak. Bajunya juga biru. Bisa jadi dialah yang tadi dilihat oleh si bapak bermantel hujan yang bicara dengan Rafisqi.

Rafisqi mengernyitkan kening. Dia masih tidak mengerti kenapa Naura bisa berada di tengah laut sana.

"Berhenti menatapku!"

Naura berseru protes, tangan kanannya terangkat untuk menutup mata Rafisqi. Rafisqi meraih pergelangan tangan gadis itu dan menyadari ada sebuah luka memanjang di dekat siku.

"Kayaknya tadi tergores sesuatu." Naura cepat-cepat menarik lengannya kembali. "Dan sebelum kau berpikir yang tidak-tidak, seperti menganggapku frustrasi lalu berniat bunuh diri dan sebagainya, kukasih tahu sekarang. Tadinya aku sedang duduk santai di sana," dia menunjuk meja dan kursi kayu yang posisinya tidak jauh dari pondokan tempat mereka berteduh. "sambil minum kelapa muda yang ketigaㅡeh, apa yang keempat, ya? Lalu aku melihat wanita itu berdiri tepat di bibir pantai. Awalnya aku cuek, soalnya bisa jadi dia cuma sedang menikmati pemandangan, tapi makin lama dia melangkah makin jauh ke tengah. Pas airnya sudah sebetis, dia berhenti lagi. Kupikir, 'oh, dia pasti juga sedang banyak pikiran'. Dan kau tahu yang terjadi selanjutnya?"

Naura tidak menunggu sampai Rafisqi menjawab dan kembali berceloteh. Kali ini dengan lebih berapi-api.

"Ada ombak besar! Dia terseret dan nggak muncul lagi ke permukaan! Aku kan langsung panik! Lalu berhubung posisiku cukup dekat ...." Dia menjeda perkataannya dan mengangkat bahu seolah semua itu bukan apa-apa. "Ya begitulah. Aku berhasil memeganginya, mengusahakan agar kami tetap mengapung, tapi arusnya cukup kuat dan aku kepayahan untuk berenang ke pinggir. Untung segera ada yang menolong."

Terakhir, gadis itu tertawa kecil dan Rafisqi benar-benar tidak tahu harus berkata apa.

Naura pernah nekat terjun ke laut demi sebuah ponsel. Bukan hal yang mengherankan melihatnya sukarela melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya. Apalagi yang tenggelam kali ini adalah seorang manusia. Namun, kesembronoannya itu benar-benar ....

"Bodoh," omel Rafisqi dengan sepenuh hatinya.

Gerakan tangan Naura yang sedang mengeringkan rambut terhenti dan Rafisqi langsung dihujani tatapan sengit.

"Lalu apa yang kau lakukan di sini?" Nada suara Naura berubah tajam dan dia mulai bersedekap. "Tidak mungkin untuk mendinginkan kepala, kan? Dengar ya, Rafisqi. Aku tidak mau bicara padamu sampai kauㅡ" Perkataannya disela oleh bersin sebanyak tiga kali. "Ugh, dingin."

"Ya iyalah."

Rafisqi mengambil handuk kering lain yang ada di atas meja dan menumpuknya di atas handuk yang ada di bahu Naura. Dia yang tidak sebasah kuyup gadis itu saja sudah mulai kedinginan, apalagi Naura yang basah dari ujung kepala ke ujung kaki?

"Dan tidak mau bicara padaku? Lalu yang kau lakukan sejak tadi itu apa?"

Seolah baru menyadari kesalahannya, Naura mulai bersungut-sungut.

"Setelah ini, ayo bicara," tukas Rafisqi pelan. "Benar-benar bicara."

Naura memandangnya sebentar sebelum akhirnya membuang pandangan ke arah lain dengan tanpa mengatakan apa-apa.

***
.
.
.

Haha maafkan sudah menyebar kepanikan di chapter sebelumnya (=´∀`)

/Bersambung ke part 2/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top