18. Time to say goodbye (2)

/Part 2/

P.S. Lagu di mulmed sebenarnya untuk adegan paling akhir chapter ini ;)

.
.
.

Mereka duduk berhadap-hadapan dalam ruangan berbentuk kapsul yang ukurannya tidak terlalu luas itu. Namun, sejak bianglala bergerak 10 menit yang lalu, tidak ada satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan. Naura tampak fokus pada pemandangan di luar jendela, sementara Rafisqi tidak bisa melepaskan matanya dari wajah gadis itu. Suasana berubah canggung dan Rafisqi sudah tidak tahan lagi. Dia bersiap untuk membuka mulut, tapi keduluan oleh Naura yang lebih dulu bersuara.

"Lautnya cantik."

Kapsul mereka sedang berada di posisi puncak dan Rafisqi sudah tidak tahu lagi ini sudah putaran yang keberapa. Dia akhirnya mengalihkan pandangan dari wajah Naura dan mengikuti arah telunjuk gadis itu. Di kejauhan tampak kawasan perairan luas yang sangat familier.

"Benar. Cantik," jawab Rafisqi seadanya.

"Bagaimana kalau minggu depan kita ke sana?"

Lagi-lagi Naura mengucapkan hal yang berbahaya. Mau sampai kapan gadis itu bersikap seolah masih ada masa depan yang menanti mereka setelah ini?

"Aku mau menunjukkan spot favoritku." Naura masih lanjut bercerita. "Tempatnya bagus untuk menenangkan diri. Aku sering ke sana bareng Lesty dan yang lain."

"Naura." Entah kenapa kali ini nama tersebut terasa lebih berat dari biasanya.

Namun, Naura tetap berbicara sambil menunjuk hal lain yang menarik perhatiannya.

"Langitnya juga bagus."

"Langitnya mendung," balas Rafisqi. Dia bahkan tidak tahu lagi di mana posisi matahari karena awan-awan kelabu yang menggantung di langit.

"Masa sih? Enggak terlalu mendung kok. Awannyaㅡ"

"Naura," Rafisqi menyela. "ada yang ingin kubicarakan."

Akhirnya gadis itu berhenti bicara, meskipun tetap tidak menoleh sedikit pun pada Rafisqi. Tatapannya masih tertuju pada satu titikㅡentah apaㅡdi luar jendela kapsul bianglala.

"Nauraㅡ"

"Rafisqi."

Mereka memanggil nama satu sama lain di waktu yang bersamaan. Hanya saja, suara Naura yang terdengar lebih tegas dibanding suaranya membuat Rafisqi tertegun sesaat.

"Aku sedang tidak mau dengar apa pun."

Kali ini suara tersebut terasa begitu dingin. Naura masih tidak melihat ke arahnya, tapi dari samping Rafisqi bisa melihat bahwa ekspresinya sudah berubah total. Tidak ada lagi binar ceria dan senyum riang seperti beberapa saat yang lalu.

"Tapi Naura ...."

Naura terang-terangan menaruh kedua telapak tangannya di telinga dan menggeleng keras, membuat Rafisqi ragu untuk melanjutkan perkataannya. Mendapat respon tidak terduga itu, buyar sudah kata-kata yang sudah dia pikirkan selama berhari-hari.

Apa yang terjadi?

Kenapa malah seperti ini?

Apa yang harus kukatakan?

Di tengah kebingungan itu, kapsul yang mereka tumpangi sampai di bagian paling bawah. Petugas bianglala di luar sana mulai bergerak membukakan pintu dan saat itulah Naura kembali berbicara, kali ini dengan tatapan tajam yang sudah lama sekali tidak Rafisqi lihat.

"Dinginkan kepalamu, Rafisqi."

Pertama kalinya Naura mengatakan itu adalah saat dia memojokkan gadis itu di beranda kamar dengan sebuah niat buruk bercokol di kepala. Rafisqi tidak menyangka akan kembali mendengar kalimat itu.

Setelahnya, tanpa mengatakan apa-apa lagi, Naura turun duluan. Rafisqi tidak sempat melakukan apa pun karena gadis itu segera berlari menjauh dan menghilang di antara kerumunan pengunjung.

***

Setengah jam berikutnya dihabiskan Rafisqi dengan menyusuri taman bermain dan memindai setiap bagiannya dengan cepat. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang dan jumlah pengunjung tidak terlihat mengalami penurunan sedikit pun. Hal ini benar-benar mempersulit pencarian. Sebenarnya kecil kemungkinannya Naura masih berada di sana, tapi tidak ada salahnya mencoba.

Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat menerima panggilanㅡ

Rafisqi mendecakkan lidah dan menjauhkan ponselnya dari telinga. Sudah berkali-kali dia berusaha menghubungi gadis itu, tapi teleponnya tidak kunjung diangkat. Merasa tidak ada gunanya lagi memeriksa tempat itu lebih lama, Dia berlari ke arah parkiran, masuk ke mobil, dan menyetir meninggalkan kawasan taman bermain.

Berbagai dugaan mulai memenuhi kepalanya.

Mungkin dia keliru menentukan waktu yang tepat. Mungkin dia terlalu terburu-buru. Mungkin dia memilih pendekatan yang salah dan membuat Naura marah.

Tidak butuh waktu terlalu lama bagi Rafisqi untuk sampai di apartemen Naura. Berkali-kali dia menekan bel, tapi si pemilik tidak kunjung keluar dari ruangannya. Dia memutuskan untuk bertanya pada satpam yang berjaga di pintu masuk dan darinya Rafisqi mengetahui bahwa Naura belum kembali ke apartemen sejak pergi keluar bersamanya.

"Mungkin mbak Naura langsung ke rumah sakit?"

Satpam tersebut mengemukakan sebuah asumsi dan langsung ditanggapi Rafisqi dengan gelengan. Dia sudah tahu kalau hari ini Naura libur. Jadi, hampir bisa dipastikan kalau gadis itu tidak ada di rumah sakit.

"Kalau begitu saya tunggu saja." Rafisqi memaksakan senyum dan menganggukkan kepala sekali. "Terima kasih, Pak."

Sehabis mengatakan itu, dia melangkah menuju salah satu sofa kosong yang ada di lobi apartemen dan menghenyakkan tubuh di sana. Tempat duduknya menghadap tepat ke arah pintu masuk utama, sehingga dia akan langsung tahu jika Naura datang sewaktu-waktu. Sambil menunggu, dengan ponsel di tangan, dia masih berusaha menghubungi gadis itu. Untuk yang kesekian kalinya, dia kembali dihubungkan ke pesan suara.

Satu jam berlalu. Belum ada tanda-tanda keberadaan Naura.

Setengah jam kemudian. Masih tetap sama, tetapi Rafisqi memutuskan untuk bertahan sedikit lagi.

Melewati dua jam penantian, perasaannya mulai tidak enak. Dia kembali berkutat dengan ponsel, berharap menemukan nomor yang sekiranya bisa dihubungi di saat-saat seperti ini. Jarinya berhenti menggulir ketika nama "Lesty" muncul di layar.

Entah apa yang dia pikirkanㅡoh, mungkin dia memang sudah gilaㅡRafisqi nekat menyentuh tombol "panggil" pada kontak telepon tersebut, yang sudah lama mendekam di ponselnya, tapi belum pernah sekali pun dihubungi.

"Halo?"

Suara di seberang sana terdengar dalam bentuk gumaman. Sepertinya telepon cari mati ini baru saja membangunkan si pemilik dari tidur siang.

"Halo, Lesty. Ini Rafisqi."

"Yo, Rafisqi. Tumben menelepon. Kenapa? Naura baik-baik saja, kan?"

Gadis yang satu itu benar-benar tidak tahu dengan yang namanya basa-basi. Belum apa-apa Rafisqi sudah dibombardir dengan pertanyaan beruntun.

"Naura ada di tempatmu?" tanyanya lambat-lambat, berusaha terdengar sesantai dan setidak mencurigakan mungkin.

"Enggak, tuh? Kenapa?" Belum sempat Rafisqi memberikan jawaban, Lesty terlanjur mencerocos duluan. Kali ini nada suaranya terdengar sengit. "Kau buat masalah lagi?"

Ini buruk. Rafisqi panik. Dia sedang tidak ada waktu menghadapi temperamennya Lesty. Terlebih ketika gadis itu terlanjur punya prasangka buruk seperti ini. Seharusnya tadi dia menelepon Della saja.

"Ooh, jadi Naura tidak ada di sana?" Rafisqi tertawa canggung. "Oke, makasih infonya, Les." Dan dia buru-buru mematikan sambungan telepon sebelum Lesty sempat mengatakan apa-apa lagi.

"Bukan di tempat Lesty," gumamnya pelan. Rafisqi menghela napas berat dan mulai memijat pangkal hidungnya. Dia mempertimbangkan untuk menghubungi Della dan Gilang, tapi bagaimana kalau mereka juga bereaksi seperti Lesty barusan?

Sebuah nama terlintas di pikirannya.

"Dav, sibuk?" Sekarang gilirannyalah yang mengabaikan sikap basa-basi dalam menelepon.

"Sedang libur. Jangan ganggu." David menjawabnya tegas.

Rafisqi tidak peduli dengan penolakan yang diterimanya. "Bantu aku cari Naura."

"Hal bodoh apa lagi yang kau lakukan sekarang?"

"Aku belum melakukan apa-apa!"

"Belum? Berarti memang berniat melakukan kebodohan, kan?" Di seberang telepon, terdengar tawa meremehkan dari David. "Stupid Fiqi."

"What the hell?" protesnya tidak percaya. Belum apa-apa dia sudah dihujat?

"My precious Fiqi." David berdehem sekali. Nada suaranya mendadak terdengar lebih lembut dan itu sukses memberikan kesan horor bagi Rafisqi. "Kau pikir dengan membatalkan pernikahan sekarang, dosamu akan otomatis terampuni? Bukan begitu caranya, Dude! Tolong jangan ikuti jejakku jadi cowok berengsekㅡoh iya, kau sudah pernah mengalami fase berengsek. Oke, tapi please, berengseknya jangan di-upgrade. Ya?"

Rafisqi menegang. Kenapa David mengetahui niat yang selama beberapa hari ini dia simpan sendiri rapat-rapat?

"Kau! Tahu dari mana?"

"Kau pikir sudah berapa lama kita saling kenal? I know you. Merasa bersalah sampai ke sumsum tulang, tapi tidak punya pilihan selain menikah dengan Naura karena kondisi Papi. Sekarang beliau sudah tidak ada dan kau berpikir untuk melepaskan Naura, karena dari awal your sin, guilt and insecurity won't let you be happy with her." David menghela napas capek setelah mengucapkan kalimat panjang dalam bahasa gado-gado seperti barusan. "It must sucks to be you."

Rafisqi tertawa hambar. "You bet."

David berdehem sekali. "Coba jalan pikiranmu disederhanakan sedikit. Kau terlalu fokus pada asumsi dan prasangka sendiri, lalu membuat keputusan hanya berdasarkan apa yang kau lihat dan rasakan. Itu egois. Lihat dari sudut pandang lain."

Niatnya untuk meminta bantuan malah berujung pada petuah bijak dari seorang David. Namun, dari lubuk hati yang terdalam, Rafisqi mengakui bahwa sahabatnya itu ada benarnya. Sudut pandang lain. Rafisqi mulai mencamkan kalimat itu. Sudut pandang siapa? Satu nama langsung muncul di pikirannya.

Tentu saja sudut pandangnya Naura.

Rafisqi baru sadar kalau sejak awal dia tidak pernah mempertimbangkan pendapat Naura dan apa dampak dari keputusannya terhadap gadis itu. Padahal dia sudah sampai ke tahap siap lahir-batin untuk menanggung murka keluarga mereka, serta sangsi sosial dan cibiran dari masyarakat sekitar.

Bagus kalau Naura langsung setuju dan sependapat dengan keputusannya. Kalau tidak?

Ah, kenapa pula Naura harus tidak setuju?

Tanpa sadar, Rafisqi kembali membuat asumsi sendiri.

"Ngomong-ngomong, kau mencintainya?" Kali ini David terdengar lebih serius.

Rafisqi terdiam sesaat. "I love her so much it hurts," gumamnya. "Tapiㅡ"

"Kenapa masih ada 'tapi'?" David mulai terdengar frustrasi. "Ya sudah! Simpel. Coba nyatakan itu langsung. Kemudian baru putuskan mau melanjutkan rencanamu atau tidak."

Seandainya David tahu kalau dia sudah menyatakan perasaannya berulang kali, lebih dari yang sebenarnya sanggup dia ditanggung.

"Tapi sebelum itu kau harus tahu di mana Naura, kan? Oke, deh. Untukmu, duhai Fiqi, akan kurelakan hari liburku yang langka ini. Mau kuhubungi Aris sekalian?"

Rafisqi mengangguk, sejenak lupa kalau David tidak akan bisa melihatnya. "Ya. Thank you. Really." Bukan hanya karena niat pria itu untuk membantunya mencari Naura, tapi juga untuk celotehan panjang lebarnya yang ternyata lumayan membukakan pikiran.

"Ini nggak gratis. You owe me one."

Dan setelah semua nasihat bijak sebelumnya, sifat menyebalkannya David kembali muncul ke permukaan.

Baru saja dia memutus panggilan telepon dengan David, beberapa pesan masuk ke ponselnya secara

Dari Lesty.

.

Lesty

(16.07) Naura nggak angkat teleponku!

(16.07) Apa yang terjadi, Rafisqi???

(16.10) Awas ya, kalau macam-macam!

(16.16) RAFISQI BALAS PESANKU!

.

Rafisqi cepat-cepat mematikan layar ponsel.

Dia benar-benar mesti menemukan Naura secepatnya. Mereka harus segera bicara. Kalaupun memang harus berakhir, dia berharap semua bisa diselesaikan dengan cara yang sepantasnya.

***

Rafisqi melanjutkan pencariannya dengan berkeliling kota dan mengunjungi tempat yang mungkin dituju Naura. Gadis itu tidak ada di cafe Dityaㅡbaik di cafe utama, maupun di cabangnyaㅡdan juga di rumah sakitㅡRafisqi tetap memeriksanya, walaupun dia sudah menebak Naura tidak akan ke sana. Dia kepikiran untuk menempuh aksi cari mati babak kedua dengan cara menelepon Naufal, soalnya bisa jadi hari ini Naura pulang ke rumahnya, tapi mendadak dia teringat satu tempat yang belum dicek.

Laut.

Berharap itu adalah tempat terakhir yang mesti dikunjunginya hari ini, Rafisqi mengendarai mobil menuju laut. Jam di dasbor sudah menunjukkan pukul 17.15. Hari beranjak sore dan awan mendung yang semakin tebal membuat langit terlihat lebih gelap dan suram dari yang seharusnya.

Setelah memarkir mobil di kawasan salah satu spot wisata, dia berlari ke arah pantai. Begitu menginjakkan kaki di pasir, angin dingin yang kencang dan membawa aroma asin air laut menerpanya tanpa ampun. Di depan matanya, ombak-ombak besar yang bergulung menghantam pantai terlihat lebih gila dari biasanya. Refleks, Rafisqi mundur beberapa langkah. Kembali diedarkannya pandangan ke sekeliling. Pantai sudah tidak terlalu ramai. Segelintir pengunjung masih bermain kejar-kejaran dengan ombak. Namun, beberapa kios dagangan di sekitar sana justru tampak sibuk mengemas lapak. Penyebabnya diketahui tidak lama kemudian dari pengeras suara yang terpancang tidak jauh dari tempatnya berdiri.

"Perhatian! Perhatian! Peringatan hujan intensitas sedang hingga berat, angin kencang, dan ombak tinggi di kawasan pesisir. Kepada para pengunjung, kami harapkan untuk tidak berada terlalu dekat dengan bibir pantai. Sekali lagi kami ulangiㅡ"

Situasi jadi semakin buruk saja.

Rafisqi mempercepat langkahnya menyusuri sepanjang pantai. Matanya awas memandang sekeliling, berusaha menemukan Naura di antara wajah-wajah asing yang berkeliaran di sekitar sana.

Aku mau menunjukkan spot favoritku. Tempatnya bagus untuk menenangkan diri.

Begitulah kata Naura beberapa jam yang lalu. Cukup besar kemungkinannya gadis itu ada di sana. Masalahnya, Rafisqi tidak tahu tempat tersebut ada di laut bagian mana.

Rintik-rintik air mulai turun dari langit. Angin kencang membuat tetesan hujan jadi terasa agak menyakitkan ketika jatuh menghujam kulit. Rafisqi perlahan menjauh dari kawasan wisata dan memasuki bagian yang tidak terlalu ramai oleh turis.

Sekitar 15 meter di depannya, dalam situasi cuaca yang semakin tidak bersahabat, beberapa orang justru tengah berkerumun di bibir pantai.

Jantung Rafisqi terlonjak tanpa dia ketahui penyebabnya.

Semakin dekat, dia menyadari bahwa orang-orang tersebut sedang fokus pada satu titik di tengah laut.

"Permisi?" Rafisqi menghampiri seorang pria paruh baya dan bertanya dengan napasnya yang ngos-ngosan. "Apa yang terjadi?"

Pria paruh baya yang mengenakan jas hujan hitam itu menoleh ke arahnya. "Ada yang tenggelam."

Rafisqi langsung tercekat.

"A-apa?" tanyanya terbata. Dia ikut-ikutan melihat ke arah laut yang kali ini terlihat berwarna kelabu akibat mendung tebal di atasnya. Beberapa orang dengan pelampung warna orange tampak hilang timbul di permukaan. "Siapa?"

Orang yang ditanyainya menggeleng. "Sepertinya salah satu pengunjung. Para penjaga pantai sudah turun tangan, tapi ...." Pria itu tidak melanjutkan kata-katanya. Dari ekspresinya, tersirat bahwa sampai saat ini pun usaha penjaga-penjaga pantai tersebut masih belum membuahkan hasil.

Tidak. Tidak mungkin. Rafisqi menggeleng mengusir prasangka negatif yang mulai berseliweran di kepalanya. Dia tidak mungkin ada di laut pada cuaca seperti ini. Bisa jadi dia sudah di pulang dan sekarang ada di apartemen. Rafisqi terus berusaha keras untuk meyakinkan diri sendiri. Lagi pula, sejak awal tidak ada jaminan kalau dia ada di sini, kan?

Namun, berkebalikan dengan otaknya yang berjuang keras untuk berpikir positif, mata Rafisqi masih terpaku pada laut di depannya. Perasaannya semakin tidak enak.

"Seorang laki-laki?" Dia memutuskan untuk bertanya lebih lanjut.

"Bukan. Perempuan."

Kali ini Rafisqi menelan ludah berat.

"Kayaknya percobaan bunuh diri." Pria berkumis di dekat mereka ikut menyeletuk.

Diam-diam Rafisqi menghela napas.

Sudah pasti bukan Naura.

Naura yang dikenalnya bukan orang berpikiran dangkal yang bisa melakukan tindakan semengerikan itu. Ditambah lagi, gadis itu tidak punya alasan untuk memilih langkah ekstrem seperti bunuh diri.

"Ah, masa sih?" bantah si bapak berjas hujan. "Tadinya dia cuma berdiri diam di pinggir pantai, tapi tiba-tiba ada ombak besar dan dia terseret. Saya lihat sendiri."

Sekarang Rafisqi benar-benar panik dan ketakutan setengah mati. Mengingat kecenderungan Naura untuk kehilangan fokus tiap kali ada yang mengganggunya, hal tersebut sebenarnya sangat kemungkinkan. Bukankah di masa lalu gadis itu pernah nyaris terserempet truk karena melamun di pinggir jalan? Saat itu ada Aris yang sigap menyelamatkannya, tapi sekarang ....

Rafisqi terbayang semua kejadian di taman bermain dan kembali muncul perasaan bahwa dia sudah melakukanㅡatau mengatakanㅡsesuatu yang tidak seharusnya.

Tolong. Dia mulai berdo'a dalam hati. Semoga bukan Naura.

Rasanya jahat mengharapkan orang lainlah yang ada di posisi nahas itu. Namun, untuk kali ini Rafisqi ingin sekali lagi bersikap egois.

Siapa pun boleh, asal jangan gadis itu.

"Bagaimana ... ciri-cirinya?" tanya Rafisqi lambat-lambat. Terlalu ngeri untuk mendengar jawabannya.

Pria berjas hujan memandanginya dengan tatapan menyelidik. "Masih muda, rambutnya hitam dikuncir satu, bajunya ...," Dia tampak sedang mengingat-ingat. "... biru? Iya, biru."

Ya Tuhan.

Cuaca belum menunjukkan tanda-tanda akan tenang dan sekujur tubuh Rafisqi gemetaran saat menyadari bahwa semua hal buruk yang dari awal bersarang di pikirannya kini semakin dekat untuk menjadi nyata.

"Nak? Nak, kau baik-baik saja?" Orang itu menyentuh bahunya, raut wajahnya panik. "Kau mengenal perempuan itu?"

Rafisqi tidak bisa berkata apa-apa.

Dia baru saja merasa seolah dunianya runtuh seketika.

***
.
.
.

Oke. Aku mau no comment aja ....

Sebagai gantinya, silakan tinggalkan pesan dan kesanmu mengenai chapter kali ini ❤

Salam sayang penuh cintah,
Tia

/23 Agustus 2020/

Multimedia: "Dream of Dream" by Brian Crain

.
.
.

HITUNG MUNDUR MENUJU EPILOG

[ 1 ]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top