18. Time to say goodbye (1)
📢 Perhatian!
- Chapter ini puanjaang dan kubagi jadi 2 part. Istirahat aja bentar kalo mata mulai lelah. Cerita ini juga ga bakalan ke mana-mana kok wkwk
- Bersiaplah untuk menghadapi narasi yang panjang-panjang
- Putar lagu di mulmed untuk sensasi membaca yang lebih greget
- Waspada dengan hasrat ingin menghujat ketika membaca UwU
Then, selamat membaca ❤
.
.
.
Hari ini akan datang cepat atau lambat.
Itulah salah satu hal yang Rafisqi yakini dengan pasti. Dia pikir sudah mempersiapkan hati dengan sebaik-baiknya, tetapi ketika pada akhirnya berdiri di sini dan menyaksikan realita dengan mata kepala sendiri, dia sadar bahwa semua itu nyaris tak berarti.
Rasanya tetap menyakitkan.
Satu per satu orang-orang berpakaian hitam mulai meninggalkan area pemakaman. Mami masih bersimpuh di samping nisan dan memandangi gundukan tanah merah bertabur bunga di depannya dengan mata sembab. Dengan kondisi yang sama, Syila terdiam di sampingnya. Satu tangan merangkul lengan Mami dan tangannya yang lain berada dalam genggaman Jay. Sementara itu, tidak terlalu jauh dari mereka, Dharma dan Balqis masih berbicara pada beberapa pelayat dengan suara pelan.
Papi telah berpulang kemarin sore. Berdasarkan cerita Mami, almarhum mendapat serangan jantung tidak lama setelah Rafisqi meninggalkan rumah untuk pergi ke makam Juwita. Bu Nuri langsung tanggap menelepon ambulans, tapi tindakan cepat itu tetap tidak berpengaruh banyak dan Papi menghembuskan napas terakhir dalam perjalanan ke rumah sakit. Penumpukan lemak di dinding pembuluh darah koronernya ternyata berkembang lebih cepat dari yang selama ini diantisipasi dan ketika pada akhirnya penyumbatan terjadi secara total, hampir tidak ada lagi yang bisa dilakukan dalam waktu sesempit itu.
Tidak ada kata-kata terakhir. Tidak ada ungkapan perpisahan. Semua terjadi begitu saja. Begitu cepat. Sangat mendadak. Dharma masih di kantor dan Syila ada di rumahnya pada saat kejadian. Rafisqi sendiri tidak tahu apa pun sampai dia menginjakkan kaki di rumah sakit.
Setelah menerima telepon, Naura menolak untuk memberi tahu apa-apa dan hanya bilang kalau mereka harus ke rumah sakit segera. Rafisqi sudah merasakan ada yang tidak beres, terlebih ketika gadis itu melarangnya menyetir dan bersikeras agar mereka naik taksi saja. Sepanjang perjalanan, Naura tidak melepaskan tangan Rafisqi walau hanya sesaat. Genggamannya terasa sangat erat, seperti berniat untuk meremukkan. Wajahnya pucat dan gesturnya panik. Berkali-kali pula dia meminta supir untuk mempercepat laju mobil.
Tetap tenang, oke? Tidak apa-apa. Semua akan baik-baik saja.
Begitulah pesan Naura saat itu, terus diulang berkali-kali layaknya mantra. Padahal di mata Rafisqi justru gadis itulah yang lebih butuh untuk ditenangkan.
Namun, terbukti bukan tanpa alasan Naura bersikap demikian.
Rafisqi masih mematung di tempatnya dengan mata yang masih terpaku pada nisan bertuliskan nama Papi. Tatapannya hampa, sehampa perasaannya saat ini. Dia tidak menangis, tapi hatinya terasa begitu kosong. Seperti deja vu.
Hal yang ditakutkannya selama beberapa tahun belakangan akhirnya menjelma jadi kenyataan. Setelah sepuluh tahun, Rafisqi kembali berdiri di tempat ini dan menyaksikan satu lagi orang terpenting dalam hidupnya dipeluk oleh Bumi.
Dan kali ini pun yang tersisa untuknya hanyalah penyesalan.
Dia gagal memenuhi satu-satunya permintaan terakhir Papi.
***
"Sudah makan?"
Rafisqi mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertelungkup di atas lipatan lengan. Di seberang meja, Naura memandanginya sembari mengulas senyum tipis. Entah sejak kapan gadis itu bergabung dengannya di ruang makan ini.
"Nanti saja." Sejujurnya dia sama sekali tidak punya nafsu makan. Ruang tamu dan ruang tengah masih dipenuhi para pelayat yang datang silih berganti dan saat ini Rafisqi hanya berharap bisa memperoleh sedikit ketenangan dan kebebasan dari ungkapan belasungkawa yang diterimanya sejak tadi.
"Kalau begitu, mau kuambilkan?" Seolah tidak mendengar jawabannya barusan, Naura beranjak menuju rak piring yang ada di samping pintu dapur. Tangannya sudah berada di salah satu piring, tapi Rafisqi buru-buru menghentikannya.
"Aku tidak lapar," sergahnya. "Aku akan makan. Nanti."
Naura mengamatinya sejenak dan kembali melanjutkan niatnya untuk mengambil piring. "Aku tahu kau belum makan dari kemarin sore."
Rafisqi memutuskan untuk bangkit dari tempat duduknya, mengitari meja makan, dan berdiri di samping Naura. Dia mengambil alih piring putih yang ada di tangan gadis itu dan memberikan senyum yangㅡsemoga sajaㅡterlihat meyakinkan.
"Biar kuambil sendiri."
Naura membiarkannya dan tetap diam di sana sambil memperhatikan Rafisqi mengambil nasi beserta lauk-pauk. Begitu kembali ke meja makan, Naura juga mengikuti dan duduk di kursi lain, membuat Rafisqi tidak ada pilihan selain mulai menyendoki makanannya dan melahapnya meskipun tidak berselera.
"Aku tahu ini berat," ujar Naura tiba-tiba dengan suara lirih. "Tapi ini juga bukan sesuatu yang ada dalam kendalimu."
Rafisqi berhenti mengunyah. Naura memberi penekanan pada kata "juga", membuatnya teringat dengan percakapan mereka di masa lalu ketika membahas Leah dan Juwita.
"Kau sudah melakukan yang kau bisa. Mungkin tidak maksimal, tapi kau sudah berusaha." Naura tertawa kecil. "Please go easy on yourself."
Lagi-lagi gadis itu berhasil membacanya dengan mudah.
"Dan maaf kemarin aku tidak langsung memberitahumu."
Rafisqi menggeleng. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau mendengarnya langsung." Mungkin dia akan langsung panik dan nekat menyetir ke rumah sakit dalam keadaan kalut. Itu bukan hal yang bagus. "Thank you for being there."
Tidak hanya menemaninya sampai ke rumah sakit, Naura bahkan tetap di sana sampai semua urusan selesai dan jenazah Papi diperbolehkan untuk dibawa pulang. Gadis itu sudah berbuat terlalu banyak.
"Lalu .... Naura." Mendadak Rafisqi bingung bagaimana harus mengatakan kalimat selanjutnya.
"Apa?"
Berarti kita tidak lagi harus melanjutkan ini, kan?
Karena satu-satunya alasan yang membuat Rafisqi nekat meminta Naura untuk menikah dengannya sudah tidak ada. Bukankah sejak awal tidak seharusnya dia mengikat Naura dalam hubungan ini kalau bukan karena Papi?
Rafisqi tertawa miris dalam hati.
Sekarang dia benar-benar terverifikasi berengsek.
"Rafisqi?" Naura masih menunggunya untuk melanjutkan.
"Tidak." Rafisqi menggeleng. "Bukan apa-apa."
Pada akhirnya dia belum punya keberanian untuk menyuarakannya terang-terangan.
"Mengenai resepsi bulan depan," Naura menyatukan kedua tengannya di atas meja dan menatap Rafisqi lekat-lekat. "aku tidak keberatan kalau harus ditunda. Aku yakin Papa dan Bundo juga sependapat."
Rafisqi paham maksud gadis itu.
"Terima kasih," balasnya sungguh-sungguh.
Bisa jadi memang inilah tepatnya yang dia butuhkan sekarang. Sedikit waktu untuk bersiap dan kemudian melepaskan.
***
Sehari setelah pemakaman, Mila datang melayat ke rumahnya, dan Rafisqi segera mengambil kesempatan untuk menanyai wedding planner tersebut. Mumpung saat itu hanya ada mereka berdua di ruang tamu.
"Sebenarnya bisa saja," Mila mengangguk sekali. Wajahnya terlihat seperti tengah berpikir. "tapi, ya begitu, pasti ada kompensasi dan ganti rugi yang harus ditanggung. Apalagi undangan sudah terlanjur dicetak, gedung dan katering sudah dipesan, and the list goes on."
Rafisqi mengerti. Dia sudah siap untuk menanggung itu semua. Menunda pesta besar yang persiapannya sudah mencapai 80 persen memang bukan hal yang mudah. Namun, sama seperti Naura, keluarganya juga sepakat dengan hal ini. Demi menghormati almarhum Papi, mereka tidak ingin berpesta di tengah suasana duka yang masih terasa kental.
"Aku mengerti. Bagaimana pun ini sesuatu yang tidak bisa dihindari. It's okay. Kita bisa membahas rencana selanjutnya begitu kondisi membaik." Mila menepuk-nepuk ringan lengan Rafisqi dan tersenyum tipis. "Sekali lagi, aku turut berduka cita."
"Terima kasih, Mbak," jawab Rafisqi. Sebuah hal lain terlintas di pikirannya. "Satu hal lagi."
"Ya?"
"Apa ada pasangan yang membatalkan pernikahan di detik-detik terakhir?"
Gadis berpostur mungil itu melipat kedua lengannya di atas pangkuan dan menghadiahi Rafisqi tatapan menyelidik. "Tentu. Aku sudah menghadapi banyak tipe pasangan. Kenapa menanyakan itu?"
Rafisqi menggeleng. "Cuma penasaran."
Selama sesaat, Mila hanya memandanginya lekat-lekat. Sepasang mata beriris sehitam jelaga itu seolah berusaha menerobos pikirannya dan menerawang isi hatinya, dan Rafisqi merasa seperti tertangkap basah ketika akhirnya gadis itu membuka mulut.
"Rafisqi. Kau ragu," tukasnya pasti, tanpa sedikit pun keraguan. "Kenapa?"
Kali ini pun Rafisqi kembali menggelengkan kepala.
"Ada hubungannya dengan pemotretan tempo hari?" Mila masih belum menyerah untuk memancing jawaban darinya. "Aku memang sempat merasa ada yang aneh di pertengahan. Kalau tidak salah ... sebelum jeda karena angin laut yang tidak kondusif."
"You're so scary." Kali ini Rafisqi tertawa kecil. Diam-diam tidak menyangka Mila akan memperhatikan dan mengingat hal tersebut. "Tidak ada apa-apa. Tadi aku cuma iseng bertanya."
Di hadapannya, Mila menghela napas berat. "Tidak perlu memberitahuku kalau tidak mau. Apa pun itu, sepertinya kau dan Naura butuh bicara. Kuharap kalian bisa menemukan jalan keluarnya. Kalau ternyata memang tidak berhasil," Mila angkat bahu, kali ini sikapnya terkesan tidak acuh. "batalkan saja kalau begitu."
"Apa pantas seorang wedding planner bicara seperti itu?" Rafisqi mencoba untuk bercanda
"Daripada kau ragu-ragu begini? Lebih baik tidak dilanjutkan sekalian, kan?" Mila bertanya retoris. "Soalnya kasihan Naura."
Rafisqi memikirkan kalimat tersebut baik-baik.
"Benar. Dari awal tidak seharusnya jadi begini." Rafisqi tersenyum tipis. "Sekarang aku tidak punya alasan untuk menjebaknya dalam pernikahan." Sekali lagi, sudah tidak ada permintaan terakhir yang harus dia penuhi.
"Menjebak?" Awalnya Mila terlihat bingung ketika mengulangi satu kata itu lambat-lambat, tapi tawanya lepas tidak lama kemudian. Seolah baru menyadari tempatnya berada sekarangㅡsebuah rumah dukaㅡdia cepat-cepat menutup mulutnya dengan tangan. "Astaga, Ganteeng! Bicara apa, sih?" Mila menaruh tangan kanannya di bawah dagu dan menatap Rafisqi dengan pandangan tertarik. "Makanya mengobrol dulu sama Naura. Bicara panjang lebar, pokoknya. Akan kutunggu kabar selanjutnya!"
Rafisqi memilih bungkam.
"Oh, satu lagi, Rafisqi." Mila ternyata belum selesai bicara. "Cuma mau mengingatkan. Well, kau pasti sudah tahu ini. Pernikahan itu bukan cuma tentang dua orang. Jadi, apa pun keputusanmu nanti, tolong pertimbangkan juga dampaknya ke keluarga kalian."
Rasanya seperti sebuah beban baru yang sangat berat.
***
"Eh? Rafisqi?"
Dua minggu setelah pemakaman, Rafisqi akhirnya membulatkan tekad dan pergi mengunjungi Naura di apartemennya.
"Halo." Dia mengangkat tangan kanannya dan tersenyum menyapa. "Maaf datang tiba-tiba."
Masih dengan sebelah tangan berada di gagang pintu, Naura mengerjapkan matanya beberapa kali. Gadis itu tidak menunjukkannya, tapi pasti dia sedang keheranan mendapat kunjungan mendadak ini.
"It's alright." Naura menggeleng. "Ada apa?"
Mendapat pertanyaan itu, jantung Rafisqi mulai berdentum kencang. Tatapannya berpindah-pindah antara wajah Naura, bel yang ada di samping pintu, dan nomor apartemen di dinding bagian kiri.
"Mau masuk dulu?" Naura membuka pintu lebih lebar dan beringsut ke samping, memberinya jalan untuk masuk.
"Itu ... Naura, aku ...."
Naura mengernyit. "Kenapa? Terjadi sesuatu?" tanyanya, mulai terdengar was-was.
Rafisqi buru-buru menggeleng. "Tidak, bukan begitu. Kau sedang sibuk? Mau cari udara segar?"
Ah, betapa konyolnya ....
Perkataan yang keluar dari mulut justru hal lain yang sama sekali tidak ada hubungannya.
"Boleh." Tidak butuh waktu lama bagi Naura untuk menjawabnya. "Aku segera siap-siap. Masuk dulu."
Rafisqi mengangguk dan mengikuti Naura masuk. Begitu gadis tersebut meninggalkannya sendirian di ruang tamu untuk bersiap, dia refleks menghela napas berat dan mengacak-acak rambutnya frustrasi.
Padahal dia sudah mempersiapkan diri untuk hari ini, tapi kenapa dia tidak bisa melakukannya dengan benar? Butuh waktu cukup lama bagi Rafisqi untuk lepasㅡwalau belum sepenuhnyaㅡdari perasaan berduka, kemudian menata pikirannya dan membuat keputusan. Perlahan dia mulai bisa menerima kematian Papi, meskipun janji tak terpenuhi-nya pada pria itu masih terus menghantui dan menghimpit dada sampai terkadang rasanya menyesakkan. Tapi toh, Rafisqi sudah terbiasa. Satu tambahan penyesalan tidak akan langsung membunuhnya secara instan, begitu pikirnya.
Dan hari ini dia mendatangi apartemen Naura dengan niat memperbaiki semua yang sudah melenceng terlalu jauh sejak mereka dipertemukan kembali.
Bodoh.
Rafisqi bodoh.
Kenapa bodoh sekali?
Sejak kapan kau jadi sebodoh ini?
Sebagian hati kecilnya masih terus meneriakkan hal yang sama berulang-ulang, tapi Rafisqi mengabaikannya dan lebih memilih untuk menggunakan logikanya kali ini.
Well, seharusnya dia menggunakannya sejak lama. Namun, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan?
"Ayo! Aku sudah siap!" Naura kembali muncul dari kamarnya dengan celana jins, blus berwarna biru muda, dan rambut dikuncir satu. "Kita mau ke mana?" tanyanya seraya tersenyum manis.
Melihat sosok tersebut, sejenak Rafisqi merasakan tekadnya goyah.
Snap out of it!
Akal sehatnya kembali mengambil alih.
Rafisqi mulai capek dengan hati dan pikirannya yang tidak sejalan. Dia belum lama lepas dari kecenderungan untuk bersikap impulsif, anger issue, dan nyaris terdiagnosa ASPD. Jangan sampai setelah ini dia jadi punya mood swing dan beralih condong ke arah bipolar.
Tidak. Terlalu mengerikan untuk dibayangkan.
"Ke ... taman bermain?"
Dari sekian banyak tempat, dia malah refleks menyebut tempat itu. Seperti tidak ada tujuan lain saja.
"Atau ada saran lain?" Rafisqi buru-buru menambahkan.
Naura tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Tidak. Itu ide bagus."
***
Pada akhirnya Rafisqi selalu melewatkan banyak kesempatan bagus untuk "bicara". Dia terlalu sibuk menunggu waktu yang pas, tetapi ujung-ujungnya selalu memutuskan untuk menunda karena merasa akan ada timing lain yang jauh lebih tepat.
Dan terus begitu sampai mereka menyelesaikan wahana yang kelima.
Sepertinya memilih taman bermain bukanlah ide yang bagus. Terlalu ribut. Terlalu ramai. Terlalu banyak pengalih perhatian.
Dasar kau banyak alasan. Rafisqi merutuki diri sendiri.
"Ini."
Naura muncul di depannya dengan dua cone es krim di tangan. Tangan kanannya mengulurkan es krim yang berwarna hijau muda kepada Rafisqi.
"Thanks." Rafisqi menerimanya dan mulai memakan es krim green tea tersebut tanpa minat.
Naura duduk di sebelahnya dan ikut fokus pada es krim stroberi miliknya. "Masih pusing?"
Rafisqi menggeleng. "Tidak terlalu."
Roller coaster yang mereka naiki beberapa saat yang lalu berhasil membuatnya pusing, mual, dan sempoyongan. Datang ke taman bermain dalam keadaan perut kosong dan kepala penuh beban pikiran adalah langkah yang sangat buruk. Selepas turun dari wahana mengerikan itu, Naura menyarankan agar mereka beristirahat sejenak di bangku terdekat.
"Dulu kayaknya wahana yang kita coba lebih banyak dari ini." Gadis itu mulai melakukan kebiasaannya berceloteh. "Kora-kora saja sampai dua kali berturut-turut, tapi kau tetap baik-baik saja. Apa sekarang karena pengaruh umur?"
"Ucap seseorang yang lebih tua dariku," balas Rafisqi.
Naura berdecih pelan. "Beda tiga bulan saja dipermasalahkan."
"Ya sudah, berarti kita sama-sama sudah tua."
Perkataannya barusan ditanggapi Naura dengan tawa geli. "Perasaanmu sudah membaik?"
Rafisqi tidak menjawab.
"Kau terlihat capek dan banyak pikiran. Karena itu kau mengajakku ke sini?"
Seandainya Naura tahu niatnya yang sebenarnya.
"Bukan." Rafisqi menurunkan es krimnya dan memutar posisi duduknya jadi menghadap Naura, lalu menatap gadis itu tepat di mata. "Bukan itu tujuanku."
Sekaranglah saatnya.
Naura tampak tertegun. Namun, mendadak dia memutar kepalanya ke arah depan. "Wah, ada parade!" Tidak jauh dari mereka muncul iring-iringan drumband dan puluhan orang berkostum unik yang pawai berkeliling taman bermain. Suasana berubah riuh dan beberapa pengunjung di dekat mereka mulai berkerumun di pinggir jalan untuk menyaksikan dari dekat. "Kita juga ke sana!"
Naura sudah lebih dulu berdiri dan menarik lengannya.
Dan hilang lagi kesempatan Rafisqi.
Bahkan setelah parade tersebut berlalu, dengan bersemangat Naura menyeretnya ke rumah hantu dan dilanjutkan dengan menonton pertunjukan sulap. Energinya tidak habis-habis dan Rafisqi mulai merasa bersalah karena tidak bisa menikmati acara hari ini dengan cara yang sama.
"Kapan-kapan ayo pergi lagi," ajak Naura begitu mereka keluar dari wahana akuarium raksasa. "Kali ini giliranku yang menentukan tempatnya."
Rafisqi tidak mengangguk, tidak pula menggeleng. Dia hanya bungkam di tempatnya seraya memandangi gadis di sampingnya dengan senyum getir.
Kapan-kapan.
Itu kata yang berbahaya.
"Sebelum pulang," Rafisqi menunjuk bianglala besar yang ada di bagian paling ujung taman bermain. "mau naik itu?"
Tempat yang sempurna. Di sana dia tidak akan bisa melarikan diri lagi dari kewajiban untuk meluruskan semuanya.
Cukup lama, tidak terdengar sahutan dari Naura. Rafisqi menoleh dan mendapati gadis itu terdiam sambil memandangi wahana kincir raksasa di depan mereka dengan jenis tatapan yang tidak bisa diartikan.
"Bagaimana?" Rafisqi kembali meminta pendapat gadis itu.
Dia tersentak saat mendadak Naura meraih tangan kirinya dan menautkan jemari mereka.
"Tantangan diterima!" seru Naura sambil tersenyum ceria. Genggaman tangannya perlahan menguat. "Ayo selesaikan ini, lalu kita pulang."
***
.
.
.
Ayo, tarik napas dulu ....
Sudah?
Silakan langsung ke part 2~
.
Multimedia: "Hello" by Nu'est (piano ver.)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top