15. New normal
I'm back!
Apakah masih ada yang nungguin? :')
FYI, bisa dibilang chapter ini semacam filler. Enggak terlalu berkonflik. Isinya rada *ehem* cheesy.
Tapi aku ngerasa teman2 pasti bakalan paham makna tersirat dan tujuan chapter ini dibuat 👀
Selamat membaca!
.
.
.
"Wow!"
Suara seruan tiba-tiba itu membuat Rafisqi nyaris melepaskan Al yang tengah meronta-ronta di tangannya. Dia menoleh ke arah teras rumah dan menemukan Naura tengah berjongkok tidak jauh dari ambang pintu.
"Kenapa—"
"Kacau sekali," lanjut Naura, tidak memberi Rafisqi kesempatan untuk menyuarakan keheranannya. Dia menyapukan pandangan ke sekitar pekarangan, fokusnya terlihat berpindah dari botol-botol sabun yang tergeletak mengenaskan, gayung yang ditaruh sembarangan, hingga keran air yang masih terbuka sebagian. Tidak lama kemudian, tatapannya berhenti pada Al yang bulunya penuh busa dan terus mengeong keras sejak tadi. Tawa kecil lolos dari bibirnya. "Butuh bantuan?"
Sebagai jawabannya, Rafisqi menggeleng. Dia tidak yakin bantuan gadis itu akan berdampak banyak dalam kegiatan memandikan kucing, "Kenapa di sini?" Terus terang dia tidak tahu apa yang dilakukan Naura di rumahnya sepagi ini. Mereka memang memiliki janji temu, tapi nanti jam 10.
Bukannya menjawab pertanyaan barusan, Naura mengubah posisi tangannya jadi bertopang dagu. Matanya yang tertuju pada Al mulai menyiratkan tanda-tanda keprihatinan. "Kasihan. Al pasti sedang minta tolong."
"Naura, kau tidak bisa bahasa kucing."
"Dari jauh terdengar seperti penyiksaan, tahu!" Naura bersikukuh pada pendiriannya. "Oh, dia melihat ke arahku."
"Matanya melas banget, kan? Jangan dilihat. Itu cuma akal-akalan biar tidak disuruh mandi." Rafisqi mengambil segayung air dan menyirami tubuh Al pelan-pelan. Baru saja air menyentuh tubuhnya, kucing hitam itu langsung mengibaskan bulu-bulunya, dan membuat Rafisqi yang sudah basah dari pinggang sampai kaki, menjadi lebih basah kuyup lagi. "That's not cute!" tegurnya. Sementara itu si kucing terus saja berisik seolah dia memang sedang menjadi korban penindasan hewan peliharaan.
"Lucu kok," sergah Naura yang kali ini terlihat berusaha keras menahan tawa. "Mirip Toothless."
Rafisqi tidak tahu apa—atau siapa itu—Toothless, jadi dia tidak bisa memahami lucu yang bagaimana yang dimaksud Naura.
"Jadi? Ada perlu apa?" Rafisqi kembali menanyakan alasan kedatangan Naura. "Mau ketemu Papi?"
"Kenapa malah om Evan? Memangnya aku tidak boleh ketemu calon suami sendiri?"
Rafisqi yang tidak menduga akan mendapat pertanyaan segamblang barusan, terang saja merasa terguncang. Pegangannya pada Al mengendur dan kesempatan tersebut dimanfaatkan si kucing hitam untuk membebaskan diri. Dengan secepat kilat, Al melompat ke teras, berlari ke arah Naura yang berada di dekat pintu, dan kabur masuk rumah sambil meninggalkan jejak-jejak air di sepanjang jalur pelarian.
"Kenapa tidak ditangkap?" protes Rafisqi.
"Kau pikir aku bisa menangkapnya?" Naura—yang tadi sempat terjungkal dari posisi jongkok karena kaget sewaktu Al menerjang tiba-tiba—balas melakukan protes, tapi sejurus kemudian dia tertawa begitu lepas. "How cute!"
"Apanya?" Rafisqi memperhatikan kekacauan yang disebabkan oleh kucing itu dan tetap tidak menemukan letak lucunya.
Rafisqi berhasil menemukan Al yang ternyata memilih dapur sebagai tempat bersembunyi dan pada akhirnya bu Nuri-lah yang merapikan semuanya. Sementara pengurus rumahnya itu sibuk mengepel lantai, Rafisqi membawa Al kembali ke halaman rumah, buru-buru memandikannya sebelum dia kabur lagi, kemudian duduk di teras untuk mengeringkan bulunya dengan handuk.
"Apa punya kucing memang seribet ini?"
Naura ikut duduk tidak jauh darinya, terlihat jelas sedang berusaha menjaga jarak aman.
"Tidak juga." Rafisqi menggeleng. Dia meraih sebuah bungkusan kecil yang ada di atas meja, menyobek sedikit ujungnya, dan mendekatkannya ke mulut Al. Kucing itu berhenti meronta dan mulai menjilati snack-nya dengan lahap. "Overall, he's a good boy. Lumayan kalem, kecuali waktu mandi. Gampang berbaur, kecuali sama beberapa orang yang dia anggap terlalu agresif. Aku lupa sudah berapa kali dia berniat mencakar Rosy."
"Begitu?" Naura meraih saset snack yang ada di tangan Rafisqi. "Sini kupegangi."
Rasanya menggelikan—sekaligus mengkhawatirkan—melihat gadis itu terpaksa menekan jarak sejauh-jauhnya, sementara tangan kanannya justru berusaha terulur sedekat mungkin untuk memegangi makanannya Al. Namun, berhubung sampai saat ini tidak ada suara bersin yang terdengar, Rafisqi memutuskan untuk membiarkannya dan lanjut menyeka air di tubuh kucingnya.
"Kenapa tiba-tiba pelihara kucing?" Naura kembali bertanya.
Karena menurut dokterku, sendirian tidak bagus untuk kesehatan mental.
Tidak. Tidak mungkin Rafisqi mengatakannya secara terang-terangan.
Supaya tidak kesepian.
Alasan ini juga tidak bisa digunakan. Kesannya terlalu cemen.
"Tiba-tiba saja ingin," jawab Rafisqi seraya mengangkat bahu.
"Kenapa pilih Al? Kenapa bukan yang sejenis Raisa?"
Gerakan tangannya terhenti dan Rafisqi memberi Naura tatapan heran. "Kenapa kau tiba-tiba jadi banyak tanya?" Padahal ini cuma kucing dan tidak seharusnya orang yang alergi bersikap sebegini pedulinya pada kucing orang lain.
"Memangnya kenapa kalau aku bertanya?"
"Naura, kenapa—" Rafisqi menahan lidahnya, memutuskan untuk menyerah saja. Belajar dari pengalaman, pembicaraan ini tidak akan ada ujungnya kalau dia lanjut menanggapi gadis itu dengan pertanyaan lain. "Katanya british shorthair tidak gampang sakit dan rata-rata berumur panjang. Apa pertanyaan selanjutnya tentang kenapa aku pilih yang bulunya hitam? Karena—"
"Karena itu warna favoritmu?" Naura menyela.
"Karena tidak gampang kotor." Rafisqi menjawab asal-asalan, terlalu canggung untuk mengakui bahwa Naura berhasil menebak jawaban yang tepat.
"Kau pikir cucian?" Naura tiba-tiba beringsut mendekat dan perlahan mengulurkan tangan kirinya ke arah Al. Spontan, Rafisqi menjatuhkan handuk dalam genggamannya dan beralih mencengkeram pergelangan tangan gadis itu.
"Mau apa?" tanyanya curiga.
"Mau pegang."
Sungguh tindakan yang sembrono.
"Orang yang takut kucing tidak mungkin bicara begitu."
Di luar dugaan, Naura malah terkekeh dan menepis tangannya. "Aku tidak mungkin takut selamanya, kan?"
Namun, Rafisqi tidak bisa diyakinkan semudah itu. Dengan Al yang masih bergelung di lengannya, sekarang gilirannya yang beringsut menjauhi Naura. "Aku tidak tahu alergimu separah apa. Jadi sebaiknya jangan ambil risiko."
Al memang kucing yang sehat dan terawat. Ditambah lagi, bu Nuri selalu rutin bersih-bersih dan secara tidak langsung memperkecil kemungkinan adanya alergen yang bersarang di karpet, sofa, dan tempat lain. Sejauh ini Naura memang baik-baik saja, tapi tidak ada jaminan dia bakalan tetap baik seandainya nekat menyentuh Al secara langsung.
"Kadang aku berpikir kalau ketakutanku lebih banyak disebabkan sugesti." Naura kembali mendekat. "Padahal cuma sekedar melihat dan berdekatan. Belum tentu juga alergen-nya sempat sampai ke hidung. Tapi karena sudah tersugesti duluan kalau itu adalah 'kucing', alam bawah sadarku langsung merespon dengan bersin. Tidak lama kemudian muncul keinginan untuk overthinking. Bagaimana kalau nanti aku malah gatal-gatal? Bagaimana kalau ternyata reaksi alerginya naik tingkat jadi sesak napas? Bagaimana kalau aku pingsan?"
Gadis itu mengangkat kepala dan menatap Rafisqi lekat-lekat.
"Sekali lagi, tidak ada gunanya memelihara rasa takut. Mungkin saja semua tidak semengerikan yang dipikirkan." Naura tersenyum tipis. "Kalau tidak dicoba, kita tidak akan pernah tahu. Oh? Aku berhasil!"
Rafisqi terlalu terpaku pada kata-kata barusan dan terlambat sadar kalau Naura sudah berhasil menaruh ujung telunjuk kirinya di kepala Al.
"Bagus. Sejauh ini baik-baik saja."
Naura terlihat antusias, berbanding terbalik dengan Rafisqi yang was-was. Gadis itu semakin mempersempit jarak dan pelan-pelan menggerakkan jarinya untuk mengelus bulu Al. Kucing hitam tersebut sama sekali tidak protes, perhatiannya masih terfokus pada snack di tangan Naura yang satunya.
Selang beberapa detik kemudian, Naura bersin dua kali.
Itu isyarat bagi Rafisqi untuk menjauhkan Al dari jangkauan Naura. Di pangkuannya, kucing itu mengeong, protes karena dijauhkan dari makanannya.
"Apa kubilang?" tukasnya sewot. Kekeras-kepalaan gadis itu memang tidak ada duanya.
"Ada jeda 20 detik sampai aku bersin!"
"Apanya yang 20 detik?" Rafisqi tidak mau kalah. "Sepuluh detik saja nggak sampai!"
"Bohong! Kau pasti cuma asal tebak. Dan coba lihat!" Naura mengulurkan tangan kirinya ke arah Rafisqi, memperlihatkan ujung jari telunjuk yang tadi dia gunakan untuk menyentuh Al. "Ternyata tidak gatal!"
Pada akhirnya Rafisqi hanya bisa tertawa.
"Kapan-kapan kita latihan lagi, ya." Naura kembali mengulurkan snack-nya Al. "Bantu Naura untuk membangun antibodi!"
Kucing itu mengeong, seolah memang berniat menjawab. Padahal Rafisqi paham kalau itu hanyalah cara Al untuk mengungkapkan kepuasan karena mendapatkan makanannya kembali.
"Kuanggap sebagai jawaban 'iya'. Sekarang aku merasa konyol karena bicara dengan kucing."
Nope, it's adorable though? Rafisqi membatin seraya tersenyum tipis.
"Ngomong-ngomong, kucing mengedipkan mata perlahan artinya apa?" tanya Naura tiba-tiba. Tatapan penasarannya masih terpaku ke Al.
"I love you."
Kenapa rasanya terdengar rancu?
Rafisqi berdehem sekali dan meralat kata-katanya. "Artinya kucing itu menyukaimu. Al memang selalu begitu pada orang yang memberinya makan."
"Oh ya?" Naura tersenyum sumringah. Terlihat menyukai informasi tersebut. "I love you too, Al! Kita memang baru bertemu dua kali, but I like you already."
Kenapa tiba-tiba Rafisqi merasakan hasrat yang kuat untuk menjitak kepala kucing hitam di pangkuannya?
"Kau memilih Al karena jenisnya rata-rata berumur panjang, kan?"
Rafisqi mengangguk.
"Kalu begitu panjang umur ya, Al. Temani Rafisqi sampai dia jadi kakek-kakek."
"Kenapa bukan—" Rafisqi cepat-cepat menutup mulutnya dengan tangan.
"Apa?" Naura memperlihatkan ekspresi kebingungan. "Kenapa apa?"
"Tidak jadi." Rafisqi cepat-cepat menggeleng.
Kenapa bukan kau saja yang menemani sampai aku jadi kakek-kakek?
Bisa-bisanya dia nyaris keceplosan bilang begitu!
Terus terang, Rafisqi terlambat menyadari bahwa dia baru saja terbawa arus pembicaraan yang terkesan ringan dan santai barusan. Sesaat rasanya seperti kembali ke masa dua tahun lalu, ketika secara alami mereka bisa membicarakan—dan memperdebatkan—apa pun, dari yang penting sampai yang tidak berbobot sekali pun.
Masa ketika dia bisa begitu saja ceplas-ceplos mengatakan apa yang terlintas di pikirannya. Menyenangkan memang, tapi sekarang realitanya sudah berbeda dan kebiasaan yang sama tidak akan bisa diterapkan begitu saja.
Naura punya kemampuan untuk membuat pengendalian dirinya terjun bebas mendekati titik nol. Dan suasana seperti tadi sangat tidak bagus untuk hatinya.
Rafisqi tidak akan lupa kalau "rasa nyaman" adalah hal pertama yang membuatnya jatuh sejatuh-jatuhnya pada gadis itu.
"Aku boleh ketemu Al lagi, kan?" Naura bertanya, kali ini sambil memandangi Al dengan tatapan yang terkesan memuja.
Great. Al kembali mendapatkan satu bucin baru.
"Tentu."
"Mungkin alergiku benar-benar bisa hilang." Naura tertawa. "Step by step ya, Al. Hari ini aku bisa bertahan 20 detik. Siapa tahu sehabis ini bisa sampai semenit."
Kalimat yang familiar. Rafisqi ingat Naura pernah mengatakan hal yang sama padanya. Step by step. Face the fear. Ketakutan bukan sesuatu yang mustahil untuk dikendalikan. Tidak perlu nekat menghadapinya sekaligus. Lakukan secara perlahan pun cukup. Dulu dengan cara itulah diaㅡsedikit demi sedikitㅡberhasil menaklukkan rasa takut terhadap anak kecil. Konsepnya sama persis dengan exposure therapy yang diajarkan dokter Mikaela.
Rafisqi memandangi Naura dalam diam. Seandainya dia membiasakan diri lagi berada di dekat gadis itu, apa lama-kelamaan semua ketakutan dan rasa bersalahnya juga akan menghilang? Apa dengan begitu semua bisa kembali normal seperti dua tahun lalu?
Buru-buru diusirnya pemikiran itu jauh-jauh.
"Kau belum menjawab pertanyaan awalku." Rafisqi memutuskan untuk membelokkan topik pembicaraan. "Kenapa tiba-tiba berkunjung sepagi ini?"
Naura mengulas senyum, tapi hanya perasaan Rafisqi saja, atau gadis itu memang tiba-tiba terlihat agak khawatir?
"Rafisqi, sebenarnyaㅡ"
"Ternyata kalian berdua di sini."
Suara Papi terdengar dari arah pintu, membuat Rafisqi segera menoleh ke belakang.
Dan seluruh kenyamanan yang sempat dia rasakan beberapa saat yang lalu langsung luruh begitu melihat sosok tinggi yang berdiri di belakang kursi roda Papi.
"Fiqi, Naufal katanya ingin mengobrol denganmu."
***
.
.
.
Oke, cut!
🎬
Biarkan dulu Rafisqi terkaget-kaget sampai chapter selanjutnya.
.
Bagian ini sebenarnya sudah mulai ditulis sejak dua minggu yang lalu. Terus aku tiba-tiba mandek di tengah jalan dan ngerasa nggak sreg sama hasilnya. Akhirnya kudiamkan dulu buat nyari wangsit. Setelah maksa-maksain ilham biar datang, ujung-ujungnya malah aku hapus lagi dan ulang tulis dari awal LOL
Makanya lama ....
Tbh, sebenarnya aku masih kurang puas sama chapter ini. Tapi kalo mesti revisi lagi, bisa-bisa update-nya bulan depan.
Semoga ini nggak terlalu mengecewakan buat yang baca dan nungguin.
.
Btw, aku mau survey kecil-kecilan.
Lebih suka mana?
Update rada cepat, tapi pendek-pendek dan dibagi jadi dua atau tiga part (kayak beberapa chapter sebelum ini)
Update lama, tapi yang dipublish memang satu chapter utuh (ga dipotong per part)
.
Oke. Itu aja.
Makasih sudah mengikuti Perfectly Imperfect sampai sinii
Thanks sm for your patience, votes, and comments ❤
Cheers,
Tia
/3 Juli 2020/
.
.
.
Bonus:
Penampakannya Al
HIIIIH PENGEN PEGANG (*。>Д<)o゜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top