14. Into her world (1)

Perfectly Imperfect sudah mencapai 111k views 🎉

Ya ampun, makasih banyak semuanyaa (;ω;)

This story's still lacking in many ways (dan ditambah lagi aku belum bisa konsisten buat jadwal update), tapi makasih udah menemaniku, Rafisqi, dan Naura sampai sejauh ini ❤

.
.
.

Rafisqi mengulurkan buket bunga tanpa mengatakan sepatah kata pun. Dia mengira Naura akan langsung menertawai tindakan cheesy tersebut habis-habisan, tapi ternyata dugaannya meleset. Gadis itu hanya memandangi Rafisqi dan bunga-bunga mawar di tangannya bergantian. Keningnya berkerut samar dan sepasang matanya mengerjap beberapa kali seolah tidak yakin dengan apa yang dilihatnya.

"Untukku?"

Dan Rafisqi hanya bisa menghela napas pelan. Seandainya gadis itu tahu kalau sangat tidak mudah baginya untuk berdiri di sana, dengan sebuket bunga berwarna semarak di tangan, dan bersikap layaknya seorang pria sejati di drama romantis. God, membayangkan betapa konyol penampakannya saat ini otomatis membuat Rafisqi bergidik.

"Who else?" tukasnya pada akhirnya. Diangsurkannya lagi bunga itu. "Ambil."

"Kenapa tiba-tiㅡ"

Sebelum Naura berhasil menyelesaikan kalimatnya, Rafisqi secepatnya menyela. "Ya sudah kalau tidak mau," Dia menarik tangannya kembali. "kubuang saja."

Buket bunga mawar itu direbut darinya dengan kecepatan yang tidak terduga.

"Siapa bilang aku nggak mau?" Naura bersungut-sungut dan memandangi Rafisqi dengan mata agak disipitkan. "Aku cuma tidak menyangka akan dapat ini. Suspicious ... but I like it." Tatapannya kembali tertuju pada bunga, kali ini dengan senyum tipis terulas di bibir. "Makasih, Rafisqi. Kau berhasil mengejutkanku."

"Bukan, itu hanya ...." Rafisqi tergagap, bingung bagaimana menanggapinya. Hanya apa? Hanya sesuatu yang dipaksakan Syila dan mami agar dibawanya?

Namun, binar ceria di wajah Naura membuatnya mengurungkan niat untuk mengatakan kebenarannya. Hal barusan memang terkesan memalukan, sesuatu yang belum pernah dilakukannya, ... tapi setidaknya hasilnya cukup setimpal.

Sebelum terlanjur mempermalukan diri sendiri lebih jauh, Rafisqi mengulurkan tas kertas berisikan kado yang sebenarnya.

"Selamat ulang tahun."

Dan Naura kembali mengulangi hal yang sama. Memandanginya dan tas kertas tersebut bergantian.

"Hadiahnya ada dua? Kau benar-benar kerasukan sesuaㅡ"

Sebuah deheman pelan membuat Rafisqi menoleh ke sebelah kirinya. Di sana ada Gilang yang tengah memelototi Naura sambil menggeleng-gelengkan kepala, terlihat frustrasi dan tidak sabar.

"Ribet banget sih, Ra!" Gilang berdecih dan pindah posisi ke samping Naura. Tangannya meraih pergelangan tangan gadis itu dan mengarahkannya ke tas yang diulurkan Rafisqi. "Terima saja, apa susahnya?"

"Iyaa. Ini mau kuterima." Naura akhirnya meraih hadiahnya. "Makasih sekali lagi."

Rafisqi mengangguk.

"Mas Gilang ganggu!" Kali ini wanita hamil yang tadi membukakan pintu ikutan bersuara. Dia menghampiri Gilang dan memberi cubitan kecil di pinggang pria itu. "Padahal tadi itu adegannya cute!"

"Fin, kalau diteruskan, bisa-bisa kita nongkrong di sini sampai malam." Gilang mengarahkan tangannya pada pintu apartemen yang masih terbuka lebar di balik punggung Rafisqi. "Dan cute apanya? Cuma Naura yang lagi salting dan berusaha menutupinya dengan cara konyol!"

"Sembarangan!" Naura berseru protes, wajahnya agak memerah.

"Loh? Memang benar kok," sindir Gilang tidak mau kalah.

Detik berikutnya, dua orang itu langsung cek-cok, membuat Rafisqi otomatis merasa canggung karena mesti terjebak di antara keduanya. Ditambah lagi, wanita berambut sebahu yang berdiri diam di samping Gilang mulai menggelitik rasa ingin tahunya. Seolah menyadari Rafisqi yang sejak tadi melihat ke arahnya dengan tatapan menyelidik, wanita itu tersenyum dan mengulurkan tangan.

"Halo, Kak," sapanya sambil tersenyum ramah. "Aku Fini."

Rafisqi menyambut uluran tangan itu seraya mengucapkan namanya sendiri.Kemudian Naura ikut menyeletuk, secara tidak langsung mengonfirmasi dugaan Rafisqi.

"Dia ini istrinya Gilang."

Saat itulah Rafisqi menyadari sesuatu yang salah. Dulu dia pernah meminta Aris untuk menyelidiki segala hal tentang Gilang. Mulai dari keluarga, teman-teman, hingga tunangannya. Rafisqi sudah melupakan nama perempuan yang menjadi tunangan Gilang dua tahun lalu, tapi dia masih ingat wajahnya, dan Fini bukanlah gadis yang ada dalam foto-foto yang waktu itu diserahkan Aris.

"Duduk dulu, Rafisqi." Naura mengedikkan kepalanya ke arah ruang tengah apartemen. "Sambil menunggu yang lain. Oh, sebenarnya aku juga sudah mengundang David, tapi katanya sedang sibuk banget."

Rafisqi mengangguk mengiyakan. "Di kantor memang lagi ada proyek penting."

Dia masih ingat dua hari yang lalu David datang menemuinya, dengan tampang kusut plus mata berkantung akibat kurang tidur, dan memohon-mohon agar jabatannya dikembalikan menjadi kacungㅡasisten manajerㅡseperti dulu. Tentu saja Rafisqi menolak dengan alasan dia masih dalam periode cuti dan belum bisa bekerja penuh. David tidak tahu ini, tapi sejujurnya, ada suatu kepuasan tersendiri yang dirasakan Rafisqi ketika melihat temannya seperti itu. Maybe he deserved it after all.

"Aku tidak tahu kalau kalian dekat."

Naura sampai mengundang David, apa artinya itu?

"Kebetulan dua tahun ini kami lumayan sering bertemu."

Lumayan sering? Bertemu dalam rangka apa?  Apa yang kalian bahas?

Namun, alih-alih menyuarakan pertanyaan beruntun yang melintas di pikirannya, Rafisqi memilih untuk mengatakan "oh, begitu" dengan suara pelan. Dia tidak ingin tahu. Jauh lebih baik kalau dia tidak bertanya apa-apa

Kondisi ruang tengah apartemen Naura masih sama seperti terakhir kalinya Rafisqi berkunjung. Rapi, minimalis, dan bernuansa putih. Pintu menuju beranda dibiarkan terbuka sebagian, memberi jalan bagi angin semilir untuk berhembus masuk. Rafisqi mengambil tempat di sofa yang berada persis di seberang televisi. Pandangannya terpaku pada meja rendah yang ada di depannya. Di atasnya sudah terhidang beraneka jenis makanan kecil dan juga minuman. Namun pikiran Rafisqi justru tertuju pada suatu masa yang lain, ketika yang ada di atas meja tersebut adalah sebuah laptop. Dia masih ingat jelas film Harry Potter yang ditayangkan di sana, Naura yang duduk di sebelahnya, dan kalimat "aku mencintaimu" yang dibisikkannya untuk pertama kalinya.

Rasanya seperti peristiwa yang pernah terjadi di sebuah dimensi asing dengan aliran waktu yang sama sekali berbeda.

"Aku ke dapur dulu," Naura ternyata tidak ikut duduk di sofa bersamanya. "Ayo, Fin."

Rafisqi buru-buru menoleh.

Jadi artinya dia ditinggal dengan Gilang, begitu?

"Siap, Kak!" Istrinya Gilang menyahut semangat dan mengikuti Naura menuju dapur.

Ya, Rafisqi benar-benar ditinggal. Cuma berdua. Dengan orang nomor duaㅡsetelah Naufalㅡyang paling ingin dia hindari.

How awkward.

"Rasanya memang sudah lama sekali tidak melihatmu. Kapan pulang?"

Gilang memulai percakapan begitu dua orang itu menghilang di balik pintu dapur. Dia menghenyakkan tubuh di sofa lain yang ada di sebelah kanan Rafisqi. Pria itu terlihat begitu tenang, membuat Rafisqi kesulitan menebak apa yang tersembunyi di balik senyum ramah yang sedang dilontarkan padanya.

"Sekitar 10 hari yang lalu," jawab Rafisqi apa adanya tanpa melepas pandangan sedikit pun dari Gilang. "Apa kabar?"

"Baik." Gilang memang tertawa, tapi sepasang mata di balik kacamata itu mulai terlihat seperti tengah menyelidiki. "Jadi ... tanggal 16 Mei?"

Rafisqi mengangguk. Dia langsung paham topik yang ingin dibicarakan Gilang. Tanggal 16 Mei. Semalam, setelah melalui berbagai pertimbangan dan perdebatan yang cukup alot, akhirnya disepakati kalau pesta pernikahan akan dilangsungkan pada tanggal tersebut.

"Satu setengah bulan lagi, ya?" Gilang mengangguk-angguk paham. "Semoga kali ini dilancarkan sampai akhir ya, Raf."

Rafisqi tidak mengerti dengan lawan bicaranya. Tiba-tiba bersikap begitu akrab dan berbicara dengannya seolah mereka adalah teman lama yang sedang bertukar kabar. Sikapnya membingungkan. Padahal di masa lalu mereka hanya pernah dua kali bertatatp muka, dan dua-duanya dalam situasi yang tidak mengenakkan.

"Boleh bilang sesuatu?"

Sebelah alis Gilang terangkat, terlihat penasaran. "Silakan."

"Kalau aku jadi kau, aku tidak akan bersikap seramah ini pada orang yang pernah mengacaukan hidupku."

Rafisqi merasa tidak ada gunanya menebak-nebak alasan di balik sikapnya Gilang. Terjun langsung ke inti pembicaraan jauh lebih efektif.

"Mengacaukan hidup? Rafisqi," Gilang agak mencondongkan tubuh dan memandanginya takjub. "you have some self consciousness after all."

That's it. Barusan adalah sindiran telak. Jika setelah ini Gilang terang-terangan bilang bahwa dia menentang pernikahan, maka itu adalah bagian dari karma yang harus Rafisqi tanggung.

Tarik napas. Tetap tenang. Hadapi ini. Sometimes the only way is through.

Rafisqi menyugesti diri sendiri.

"Awalnya kupikir juga begitu." Gilang kembali mengubah posisinya jadi bersandar pada punggung sofa. Gesturnya masih terlihat santai. "Kau membuatku dimutasi dari tempat kerja, mengirimku ke pelosok, menunda pernikahankuㅡoh ya, kau bukan cuma menundanya, tapi membuatnya batal."

Rafisqi terdiam.

Imbas dari perbuatannya ternyata separah itu. Rafisqi memang pernah mengancam Naura dengan mengatakan bahwa dia bisa saja membuat pernikahannya Gilang jadi batal. Namun, serius, dia tidak pernah benar-benar berniat melakukannya. Dulu dia sudah cukup puas dengan menjauhkan pria itu dari Naura.

Kemana sikap menggebu-gebunya yang waktu itu?

Sekarang yang tersisa hanyalah rasa bersalah.

"Akuㅡ"

"Tunggu." Gilang mengangkat tangannya. Rafisqi menangkap itu sebagai isyarat agar dia diam mendengarkan. "Di sinilah letak plot twist-nya."

"Plot twist?"

"Benar." Gilang mengangguk antusias, tidak terlihat seperti orang yang baru saja bercerita tentang pertunangannya yang kandas. "Beberapa hal terjadi, lalu aku dan Egi sepakat untuk menempuh jalan masing-masing."

Egi. Akhirnya Rafisqi ingat namanya. Salah seorang bawahannya Aris sempat melihat gadis itu menampar Naura dan kemudian melapor padanya. Rafisqi merasa dulu dia sempat melakukan sesuatu pada gadis itu. Sayang sekali dia tidak ingat apa. Lumayan banyak "aksi pembalasan" yang dia lakukan di masa lalu dan kali ini dia merasa jadi orang berengsek karena tidak bisa mengingat semuanya secara detail.

"We broke up for good." Gilang menyudahi kalimatnya.

Namun, itu tetap tidak menutupi fakta bahwa semua adalah kesalahan Rafisqi.

"Apa yang harus kulakukan untuk menebus semuanya?"

Gilang tidak mengatakan apa-apa.

"Semua gara-gara aku, kan?" Rafisqi ingin menegaskan. "Beri tahu bagaimana aku harus memperbaikinya."

Kali ini Gilang benar-benar tertawa lepas. "Untuk apa?" tanyanya heran. "Sekarang aku punya Fini. Dua bulan lagi aku akan jadi ayah. Meski diberi pilihan, aku tidak berniat mengubah apa pun."

Sekarang giliran Rafisqi yang bungkam. Jadi tidak ada yang harus dia lakukan? Semudah itu?

"Oh, kalau kau memang bersikeras ingin menebus kesalahan," Gilang kembali menyeletuk. "tolong jaga Naura baik-baik. Kalau kau kembali mengulang kesalahan yang sama ...." Pria itu menjeda perkataannya. Memberi Rafisqi tatapan tepat di mata dan tersenyum tipis. "... ini akan jadi yang pertama dan terakhir kalinya kita mengobrol santai dalam suasana penuh ramah-tamah."

Dua tahun yang lalu, Naura memilih untuk bersembunyi di balik punggung pria iniㅡseolah itu adalah tempat paling aman di duniaㅡdemi menghindari Rafisqi. Tidak hanya itu, Naura tanpa ragu menolak untuk menjauhinya, membelanya mati-matian, dan menampar Rafisqi hanya karena satu orang ini.

Dan sekarang Rafisqi mengerti alasannya.

Pria seperti Gilang ... tidak heran Naura bisa begitu menjaga dan mempercayainya.

***

Naura bilang ini hanya acara syukuran kecil-kecilan dalam rangka ulang tahunnya. Karena itulah yang diundang hanya teman-teman dekat. Suasana langsung berubah heboh setelah dua orang sahabat perempuannya Naura datang. Heboh yang dimaksud di sini adalah benar-benar "heboh". Ribut dan berisik. Seperti ada tiga Naura yang ditempatkan di ruangan yang sama. Seandainya ada di posisi Gilang, Rafisqi tidak yakin dia bisa betah berada di antara tiga gadis itu selama bertahun-tahun.

"Rafisqi, ada temanmu yang single? Yang bule kalau bisa." Gadis berambut pendek dan bermata agak sipit itu kembali mengatakan hal konyol lainnyaㅡsetelah sebelumnya bertanya apakah Rafisqi sering ketemu artis Hollywood selama tinggal di Amerika. "Tolong kenalkan ke Lesty dong. Kasihan, sudah lama banget dia menjomlo."  Sebuah sedotan langsung melayang ke kepalanya.

"Enak saja!" Sang pelaku pelemparanㅡseorang gadis lain yang berkaca mata dan berambut panjangㅡmulai bersungut-sungut. "Aku enggak seputus asa itu!"

"Tambahan! Cowoknya juga mesti punya kesabaran di atas rata-rata. Soalnya Lesty galak."

"Della!"

Kali ini Rafisqi terjebak di adu mulut ronde kedua.

Seingatnya, dia hanya pernah bertemu Della sekali waktu pesta pertunangan. Tipe-tipe gadis friendly yang murah tertawa dan bisa cepat dekat dengan siapa saja. Ini baru pertemuan kedua mereka, tapi gadis bermata sipit itu bersikap seolah mereka sudah lama berteman akrab. Kalau Lesty beda lagi. Rafisqi sudah tahu gadis itu sejak lama. Salah seorang atlit karate andalan sekolah dan teman dekatnya Naura sejak SMP. Dan yang pasti, Rafisqi sudah tahu betapa bencinya gadis itu padanya. Namun, setidaknya kali ini Lesty terlihat mencoba untuk bersikap biasa. Meskipun masih terkesan canggung dan menjaga jarak, dia tetap berusaha mengajak Rafisqi mengobrol.

"Dokter bilang anaknya Gilang perempuan kan, ya?" Sebagai ganti sedotan yang tadi dia lempar ke Della, Lesty mengambil sedotan baru di atas meja. Sambil melakukan itu, matanya mengawasi Rafisqi dan Naura bergantian. "Nanti kalau kalian dapat anak laki-laki, jodohkan saja."

Naura langsung tersedak jus stroberi yang diminumnya. Rafisqi buru-buru meraih gelas air putih yang kebetulan ada di dekatnya dan menyerahkannya pada gadis itu. Di dekatnya, pembicaraan terus berlanjut dan Rafisqi berharap dia bisa menulikan telinganya saat itu juga.

"Boleh juga." Gilang menyambutnya dengan tawa.

"Benar! Kak Rafisqi kan ganteng," Fini ikut terlibat dalam pembicaraan memalukan itu. "anaknya pasti juga ikutan ganteng."

"Iya, Fin, iya." Tangan Gilang terangkat untuk menutupi mata istrinya yang sejak tadi mengamati Rafisqi. "Tapi tolong matanya dikondisikan."

"Enggak bisa begitu dong!" protes Della. "Jelas-jelas bundonya Naura minta cucu perempuan."

"STOP!" teriak Naura yang akhirnya pulih dari batuk-batuk. "Mulut kalian kenapa enggak punya rem, sih?"

Awkward. Awkward. Awkward.

Hanya itulah yang berputar-putar di pikiran Rafisqi.

"Tapi aku senang." Della menumpukan sikunya di atas meja dan menyangga dagunya dengan tangan. "Setelah sekian lama terombang-ambing di pelabuhan, akhirnya kapalku bisa berlayar juga."

"Kapal?" Rafisqi tidak paham.

"Jangan dipikirkan," sela Naura. "Del, diam!"

"Tahu nggak, Ra." Della memang langsung diam, tapi bukan berarti Lesty juga akan ikutan bungkam. "Seandainya ini kisah perjodohan di novel-novel, kalian seharusnya sudah menikah di sepertiga awal buku. Lalu di bagian pertengahan, baru deh muncul konflik tentang orang ketiga, keempat, dan seterusnya."

Mendengar perbandingan absurd itu, Rafisqi nyaris tidak bisa menyembunyikan tawa. Di sebelahnya, Naura menghela napas berat.

"Kudo'akan nasibmu yang begitu, Les. Nanti ditambahi bagian mengenai ibu mertua yang galak, teman yang menusuk dari belakang, dan mantan yang tiba-tiba comeback."

"Nope. Aku mau kisah cinta yang lurus-lurus saja."

"Tipe banyak tingkah sepertimu mana bisa dapat kisah yang lurus dan lancar jaya kayak jalan tol." Naura membalas gencar. "Yang kalem seperti Gilang saja punya kisah cinta penuh belokan dan tikungan tajam. Apa lagi kau."

"Aku dari tadi diam loh." Akhirnya Gilang angkat bicara. Diletakkannya kaleng cola di tangannya dan dipandanginya dua orang gadis yang sedang berdebat itu. "Harusnya kalian bertiga malu! Di mana-mana, dalam lingkungan pertemanan mana pun, yang cewek biasanya yang paling dulu menikah. Tapi aku berhasil mendahului kalian bertiga."

"Itu mah si Gilang-nya saja yang sudah nggak tahan." Della menjawab acuh.

"Heh, Della!"

Perdebatan itu begitu sengit. Sekarang Rafisqi paham kenapa Gilang bisa betah di dekat tiga gadis heboh tersebut. Dia sama saja. Ibarat bunglon, pria itu sepertinya tipe yang bisa menyesuaikan diri dalam kondisi apa pun.

"Cultural shock ya, Kak?"

Di tengah keributan itu, Fini mengajaknya bicara. Mau tidak mau, Rafisqi mengangguk.

"Mereka selalu seperti ini?" tanyanya dengan suara pelan, tidak ingin ketahuan empat orang yang tengah ribut itu.

Selama ini Rafisqi hanya mengetahui tentang Gilang, Lesty, dan Della melalui berkas-berkas hasil penyelidikan Aris. Baru kali ini dia menyaksikan interaksi mereka berempat secara langsung.

"Lumayan sering." Fini mengangguk. "Dulu aku juga kaget. Awalnya sempat merasa out of place. Aku cuma orang baru yang mendadak hadir, sementara mereka sudah saling kenal sekian tahun. Tapi kak Naura, kak Della, dan kak Lesty baik banget. Susah buat terus-terusan merasa canggung di dekat orang seheboh mereka."

"Apa kau tahu kalau Naura dan Gilang ...."

"Pernah pacaran?" Fini tergelak. "Tahu. Itu termasuk hal paling awal yang diberitahu mas Gilang."

"Tidak cemburu?"

"Buat apa cemburu?" Fini memasang ekspresi heran. "Toh, itu cuma masa lalu. Memangnya Kak Rafisqi cemburu?"

Cemburu?

Dulu iya.

Sekarang? Entahlah. Memangnya dia masih punya hak untuk cemburu?

***
.
.
.

/Bersambung ke part 2/

Satu lagi chapter panjang (yang nanggung kalo harus dipecah jd dua chapter berbeda)

Untuk sekarang part 1 dulu ya (kalo nungguin part 2 ntar makin lama), semoga lanjutannya bisa ku-update dalam waktu dekat.

Salam,
Tia

/16 Mei 2020/

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top