12. The odd of starting over at the starting point (2)
Aku terhibur pas baca komentar teman-teman di part sebelumnya haha 😆
Oke, mari temukan jawabannya Naura di sini~
/Part 2/
.
.
.
"AKU PASTI SUDAH GILA!"
Rafisqi sudah berkali-kali meneriakkan hal yang sama sejak setengah jam terakhir. Dia masih mondar-mandir di samping meja makan. Sementara itu, dari tempat duduknya, Syila cuma mengamati sambil menyantap semangkuk bakso dengan khidmat. Pada akhirnya Rafisqi memang tidak berhasil menemukan batagorㅡoh, lebih tepatnya, dia memang tidak berusaha untuk mencari. Dengan pikiran masih berada di awang-awang, dia pergi ke warung bakso terdekat dan memesan satu porsi untuk dibawa pulang. Tadinya Syila terlihat sudah siap untuk mengamuk, tapi dia langsung mengurungkan niat. Entahlah, sepertinya karena ibu hamil itu sudah lebih dulu mendapati tampang kusutnya Rafisqi.
"Apa-apaan? Apa yang kupikirkan? ASTAGA!"
Rafisqi mengacak-acak rambutnya untuk yang kesekian kalinya. Jay, yang duduk di sebelah Syila, tadinya sudah berusaha memintanya supaya tenang. Tapi kakak iparnya itu memutuskan untuk menyerah 10 menit kemudian. Di dekat kaki meja makan, Alㅡyang kebetulan sedang dititipkan Rafisqi di rumahnya Syilaㅡmulai mengeong pelan. Sepasang matanya masih setia mengikuti pergerakan Rafisqi yang sejak tadi hilir mudik tidak jelas.
"Tahu nggak, Fiq?" Akhirnya Syila kembali bicara. "Tidak ada yang salah sama otakmu. Mulutmu juga enggak salah. Yang tadi bicara itu hatimuㅡ"
"No! Aku sedang panik. Tidak bisa berpikir jernih. Tiba-tiba Naura menelepon laluㅡ" Rafisqi tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Terlalu memalukan.
"That's exactly what I'm saying! Otakmu lagi nggak bisa mikir. Makanya itu pasti suara hatimu yang enggak sengaja keluar."
Kata-kata cheesy Syila sama sekali tidak membuatnya merasa baikan. Sementara itu, Jay sudah mati-matian menahan tawa.
Syukurlah kondisi papi tidak seburuk yang Rafisqi bayangkan. Dokter bilang, pria itu hanya terkena serangan jantung ringan dan kecapekan, kemudian disarankan untuk istirahat penuh selama beberapa hari. Kabar yang sungguh melegakan.
Sayangnya, Rafisqi yang kalut tingkat dewa dengan segala pemikiran negatif berkecamuk di kepalanya, sudah terlanjur menyampaikan hal bodoh yang tidak selayaknya diucapkan.
Tidak hanya melanggar sumpahnya pada Naufal, Rafisqi juga baru saja menjadi pria berengsek karena dengan tidak tahu malunya mengatakan itu pada orang yang pernah dia sakiti. Bahkan untuk berpikir bisa bersama Naura lagi seharusnya hukumnya adalah haram. Mereka baru saja bertemu setelah semua yang terjadi dua tahun lalu dan Rafisqi malah melontarkan pertanyaan itu?
DI MANA AKAL SEHATNYA?
"Naura jawab apa?"
Jay akhirnya kembali bersuara. Dia menyendoki bakso dari mangkok yang baru saja digeser Syila ke hadapannya. Sementara itu, Syila dengan santainya mengelus-elus Al yang baru saja memanjat ke atas meja makan.
Rasanya menyebalkan. Hanya Rafisqi seorang yang merasa kalut di sini.
"Dia mengajak ketemu. Besok." Rafisqi masih ingat keheningan panjang di seberang telepon sesaat setelah dia mengucapkan lamaran terlarang itu. Naura pastinya juga kaget sampai tidak tahu harus berkata apa. "Dia pasti hanya ingin menolakku secara baik-baik."
Sebelum itu terjadi dan melukai harga dirinya lebih dari yang sudah ada, Rafisqi bertekad untuk meluruskan semuanya dan menegaskan bahwa ucapannya tersebut hanyalah sebuah kesalahpahaman.
***
"Aku mau."
Rafisqi bahkan belum sempat mengatakan apa pun. Kata-kata yang sudah dia susun semalaman langsung buyar ketika mendengar dua kata barusan, digantikan oleh satu seruan yang tidak ada keren-kerennya sama sekali.
"Hah?"
Di hadapannya, tepat di seberang meja, Naura tersenyum tipis. Hari ini dia datang dengan blus berwarna ungu muda, warna yang diketahui Rafisqi sebagai warna kesukaan gadis itu. Tidak seperti pertemuan mereka di rumah sakit kemarin, kali ini rambut panjangnya dikepang satu di belakang kepala. Jari-jarinya masih sibuk memainkan name tag yang ternyata memang terjatuh di mobilnya Rafisqi, terselip di antara celah kursi.
"Menikah denganmu." Kali ini Naura bicara lebih lambat dengan penekanan di setiap suku kata. "Aku mau."
Butuh waktu cukup lama bagi Rafisqi untuk mengumpulkan akal sehatnya yang sempat berserakan. Dia berdehem pelan, bersiap melontarkan kalimat penjelasan yang sudah dia rangkai susah payah sampai nyaris tidak tidur.
"Begini," Dia memulai. "aku ingin meluruskan semuanya. Semalam papi tiba-tiba kambuh. Aku panik. Tiba-tiba kau menelepon. Aku tidak dalam kondisi bisa berpikir lurus danㅡ"
Dan aku pun mempermalukan diri sendiri, tambah Rafisqi dalam hati.
Dia tidak berhasil menyampaikan maksudnya dengan kata-kata yang meyakinkan dan terangkai indah. Namun paling tidak intinya sudah berhasil tersampaikan. Sekarang tinggal menunggu tanggapan Naura. Mungkin gadis itu akan menertawakannya atau bahkan langsung menyiramnya dengan jus jeruk yang ada di atas meja.
"Lalu?" Naura memiringkan kepalanya dan memandangi Rafisqi dengan sorot mata penasaran. "Om Evan sudah baik-baik saja?"
"... Ya. Hanya serangan ringan."
Tunggu. Tunggu! Bukan ini respon yang kuharapkan!
"Jadi ... tolong lupakan perkataanku semalam." Rafisqi kembali ke inti pembicaraan. "Anggap saja aku sedang mabuk."
Naura malah tertawa. Dia mengesampingkan gelas jus jeruk miliknya, melipat kedua lengan di atas meja, dan agak mencondongkan tubuhnya ke arah Rafisqi. "Padahal aku sama sekali tidak keberatan."
Dan Rafisqi pun tersedak ludahnya sendiri. Buru-buru diraihnya cangkir teh miliknya dan meneguk isinya hingga tandas. Di hadapannya, Naura kembali tertawa. Kali ini bahkan lebih lepas dibanding sebelumnya.
"Naura!" Rafisqi segera protes. "Aku serius!"
"Iya, aku tahu," seru Naura di sela-sela tawanya. "Aku tahu, Rafisqi. Tapi kenapa tidak?"
"Hah?" Satu lagi seruan yang tidak berbobot. "... kenapa?" Rafisqi mulai was-was dengan apa yang akan dia dengar selanjutnya. Apa Naura mengerjainya? Apa gadis itu sedang melancarkan aksi balas dendam?
"Kalau kubilang 'karena aku mencintaimu', kau akan percaya?"
Setelah semua yang kulakukan?
"Tidak." Rafisqi menjawab tanpa adanya keraguan sedikit pun.
Naura kembali mengulas senyum. "Kalau begitu, bagaimana kalau kubilang 'karena aku merasa tidak masalah menikah denganmu'?"
Kenapa rasanya seperti deja vu? Rafisqi yakin kalau sebelumnya dia pernah terlibat dengan pembicaraan seperti ini.
"Kita sudah saling kenal. Kau tahu aku. Aku tahu kau. Itu lebih dari cukup. We can make it works somehow."
Berbanding terbalik dengannya, Naura mengatakan semuanya dengan sangat lancar. Sepasang mata beriris cokelat gelap itu menatapnya tepat di manik mata. Sama sekali tidak terlihat gugup ataupun ragu. Gesturnya tenang, seolah dia memang serius mengatakan hal barusan dan yakin bahwa tidak akan ada penyesalan di kemudian hari. Seandainya sekarang adalah dua tahun yang lalu, Rafisqi pastinya sudah langsung terbang ke bulan ketika mendengar kata-kata seperti ini. Namun sekarang hal itu hanya membuatnya takut.
"Rafisqi, menurutmu kenapa papa dan bundo ada di sini?"
Rafisqi mengernyit bingung. Dia tidak bisa menerka ke mana arah pembicaraan ini. Akhirnya dia memutuskan untuk menggeleng. Sejujurnya, kemarin dia juga sempat heran apa yang membuat dua orang sibuk itu ada di Indonesia pada saat seperti ini.
"Untuk menjodohkanku sama anak teman arisannya bundo."
"Oh."
Rafisqi bergumam pelan, setidaknya dia sudah menyerukan sesuatu untuk menanggapi informasi barusan. Dirinya yang dulu pasti akan melakukan segala cara untuk mengumpulkan informasi tentang pria misterius ini, kemudian menyusun rencana untuk menyingkirkannya jauh-jauh. Tapi sekarang, bahkan untuk bertemu dengan Naura seperti ini saja, dia tidak lagi merasa layak.
"Tahu tidak, dua tahun ini saja, aku sudah dikenalkan sama 7 orang. Bayangkan, Rafisqi! Tujuh orang!" Naura menunjukkan tujuh jarinya ke depan wajah Rafisqi. Nada suaranya jadi semakin menggebu-gebu seiring dengan semakin banyaknya kalimat yang dilontarkan. "Anak dari teman kantornya papa, rekan bisnisnya uda, keponakan dari ibu-ibu yang ditemui bundo di kelas aerobik, macam-macam pokoknya! Lalu, tiap kali kutolak, kata-kata andalan mereka pasti langsung keluar. 'Sebentar lagi kepala tiga loh, Ra. Ingat umur.' Ya Tuhaan, bayangkan betapa stresnya! Padahal bulan ini aku baru 28 tahun. Kepala tiga itu masih lama! Kau mengerti perasaanku kan, Rafisqi? Mengerti, kan?"
Rafisqi cepat-cepat mengangguk demi menanggapi curhatan yang diucapkan hanya dengan dua kali tarikan napas itu. Matanya tertuju was-was pada garpu yang entah sejak kapan ada di tangan Naura. Seolah kalau dia salah menjawab sedikit saja, benda itu akan otomatis melayang ke arahnya. Dari pertemuan ini, Rafisqi berhasil menarik satu kesimpulan. Gadis itu juga masih sama cerewetnya.
"Jadi kesimpulannya, kalau pun aku tetap harus menikah, aku lebih memilih menikah denganmu."
Di mana letak sinkronnya kesimpulan barusan dengan cerita panjang lebar yang sebelumnya?
Rafisqi menahan diri agar tidak misuh-misuh.
Ini tidak masuk akal.
"Ah, aku malah bicara ngalor-ngidul. Sudahlah, Rafisqi. Percaya saja alasan yang 'karena aku mencintaimu'." Naura melambai-lambaikan tangannya dengan gestur santai. "Begitu lebih gampang."
"Kau cuma tidak tega melihat kondisi papi, kan?" Rafisqi mencoba menebak.
Dulu hal yang membuat Naura tidak bisa secara gamblang menolak perjodohan adalah penyakitnya papi. Apalagi sekarang di saat kondisi papi sedang gawat-gawatnya? Ditambah lagi, baru kemarin papi terang-terangan meminta Naura untuk menjadi menantunya.
"Jangan pikirkan itu." Rafisqi tersenyum tipis. "Itu bukan tugasmu."
Kali ini Naura terdiam. Dia memandangi Rafisqi cukup lama sebelum akhirnya menghela napas berat dan meminum jus jeruknya.
"Naura, tentang kejadian dua tahun laluㅡ"
"Tidak apa-apa." Naura menaruh gelasnya dan menyela dengan cepat. Kemudian dia jeda sesaat, seolah sedang menimbang-nimbang perkataan selanjutnya. Pertama kalinya sejak pertemuan hari ini, dia terlihat ragu untuk bersuara. "Lalu kau? Bagaimana kabarmu? Sudah baik-baik saja?"
Entah bagaimana, Rafisqi sadar bahwa maksud dari pertanyaan barusan lebih dari sekedar menanyakan kabar biasa. Entah bagaimana caranya, Naura sudah tahu alasannya ke New York. Rafisqi yakin akan hal itu.
"Ya. Aku merasa lebih baik."
Gadis itu kembali tersenyum.
"Selamat, Rafisqi."
Rasanya jantung Rafisqi kembali memberontak di tempatnya. "Makasih," jawabnya, tiba-tiba merasa sangat gugup.
"Lalu apa rencanamu selanjutnya?" Naura mengubah arah pembicaraan.
Butuh waktu cukup lama bagi Rafisqi untuk menyuarakan jawaban yang paling tepat untuk diucapkan.
"Memenuhi permintaan terakhir papi."
Bisa Rafisqi lihat Naura agak berjengit ketika mendengar kata "permintaan terakhir". Memang hanya itulah jalan keluar satu-satunya yang berputar-putar di benak Rafisqi sejak semalam. Dia hanya belum tahu bagaimana cara melakukannya.
Terlibat di kondisi yang sama berkali-kaliㅡdi mana papi pingsan mendadak dan terkena serangan jantung di waktu yang acakㅡmembuat semuanya mencoba mempersiapkan batin jika suatu saat worse comes to the worst. Mami, Dharma, Syila dan yang lain mungkin memang tidak pernah mengatakan apa-apa. Tapi Rafisqi yakin mereka juga memikirkan hal yang sama dengannya. Tidak ada yang tahu kapan akhir itu akan datang. Makanya yang terpenting sekarang, tinggal melakukan apa saja yang bisa dilakukan. Mumpung masih ada waktu.
Naura berdehem meminta perhatiannya.
"Oke. Bukan tugasku memikirkan kondisi om Evan, karena itu adalah tugasmu." Seolah ingin menegaskan, Naura menunjuk dirinya sendiri ketika mengatakan 'ku' dan menunjuk Rafisqi ketika bilang 'mu'. "Benar?"
Rafisqi mengangguk.
"Dan kuanggap tugasku sekarang adalah membantumu supaya bisa melaksanakan tugas dengan baik."
"Nauraㅡ"
"Aku memang tidak tahu apa persisnya bunyi permintaan terakhir itu." Naura tidak memberinya kesempatan untuk protes. "Tapi sepertinya aku bisa menebaknya. Jadi tidak apa-apa. Aku bisa membantumu."
Rafisqi tidak habis pikir.
Padahal dulu siapa yang bilang tidak mau menikah karena kewajiban? Apa yang sudah terjadi pada otaknya Naura selama dua tahun belakangan?
"Apa kecelakaan waktu itu membuatmu geger otak?" Rafisqi dan mulutnya yang tidak bisa diajak kompromi. Dia sudah terlanjur kehabisan ide logis yang dapat menjelaskan keanehan Naura saat ini.
"Bisa-bisanya kau beranggapan kalau cuma otakku yang geger, Rafisqi."
Naura tertawa, tapi tatapannya yang tertuju ke Rafisqi berubah semakin tajam. Terlihat seperti ... marah. Rafisqi yang ingin bertanya pada akhirnya memutuskan untuk mengurungkan niat.
"Jadi," Naura bertepuk tangan sekali, gesturnya kembali terlihat santai. "mari kita tarik kesimpulan dari pertemuan kali ini."
Dia mengulurkan tangan kanannya ke arah Rafisqi.
"Let's try again, shall we?"
Rafisqi kembali teringat dengan pertemuan dua tahun yang lalu, pertemuan pertama mereka setelah dua belas tahun tidak melihat wajah satu sama lain. Saat itu Naura terang-terangan mengabaikan uluran tangannya, memberinya tatapan sarat akan kebencian, dan bilang bahwa perjodohan mereka adalah sebuah kutukan, bukannya takdir. Tiga bulan setelah kejadian itu, terbukti bahwa semuanya adalah kutukan yang ditakdirkan.
Sekarang mereka seolah kembali ke titik awal, ke situasi di mana semuanya bermula. Bedanya, kali ini Naura-lah yang mengulurkan tangan ke arahnya. Dengan senyuman ramah dan tatapan lembut, bukan lagi sambil tersenyum sinis dan tatapan seolah mau mengulitinya hidup-hidup. Ingin rasanya Rafisqi membalas uluran tangan itu. Bukan karena kondisi papi, bukan juga karena dia mulai panik dan putus asa untuk mencari calon istri. Namun karena yang sedang mengulurkan tangan adalah Naura.
Rafisqi sadar. Seandainya dia nekat menyambut uluran tangan itu, tidak akan ada jalan kembali untuknya. Sekali dia menyentuh tangan Naura, mungkin akan muncul keinginan untuk tidak akan pernah melepaskannya lagi. Kalau itu terjadi ... Rafisqi takut dia kembali menjadi dirinya yang dulu.
***
.
.
.
Mari ucapkan happy (belated) birthday untuk Nauraa 🎉
Pesanku masih sama dengan tahun kemarin.
Tetap tabah dan sabar ya ❤
YOU GO GIRL!
Awalnya aku berniat update pas tanggal 30 Maret kemarin, biar tanggalnya pas. Tapi ternyata gagal ㅠ.ㅠ
Dan sekarang malah bablas banget ngetiknya, hampir 4000 kata. Mau dibagi dua chapter, tapi nanggung. Makanya tetap kujadiin satu chapter dan hanya publish-nya saja yang dibagi dua.
Bayangkan harus berhadapan dengan kata sebanyak itu seandainya semua di-publish dalam satu part. Apa tyda gumoh? Wahahaha
Aku benar-benar berterima kasih buat yang masih bersabar nungguin cerita ini mesti jadwal apdetnya nggak menentu ❤ LOP YU!
.
Dan aku mau promosi dikit~
Bulan kemarin aku baru memublikasikan work baru. Judulnya Road to "New World". Isinya kumpulan riset yang kulakukan untuk menggarap sebuah cerita fiksi.
Cerita fiksinya dijadwalkan untuk mulai tayang bulan Juli. Pokoknya sebelum Juli, kuusahakan untuk menamatkan Perfectly Imperfect ini. Karena aku akan rada keteteran kalo mesti mengurusi dua cerita on-going dlm waktu yang bersamaan (kecuali kalo emg sikon yang memaksa :')
Jadi silakan mampiiir. Siapa tahu ketemu sesuatu yang menarik. Di sana juga akan ada gambaran mengenai tokoh2ku yang selanjutnya. Jangan lupa tinggalkan jejak. Vote, komen, masukan, kritik, dan saran akan sangat membantu ^^
Makasiih
XOXO,
Tia
P.S.
Selalu jaga kesehatan ya, teman-teman. Rajin cuci tangan, perbanyak minum, dan pastinya, usahakan buat tetap stay di rumah. Kapan lagi kan, kita bisa menyelamatkan umat manusia dengan mempraktikkan jurus rebahan.
Kalau bosan, ada buanyak cerita bagus yg bisa dibaca di wattpad. Asal jangan baca dari pdf atau ebook bajakan aja ya :" (kasian authornya udah capek2 nulis, tp karyanya malah disebar secara ilegal). Atau bisa juga dengan install iPusnas. Di sana bener2 surganya buku. 100% legal pastinyaa. Masih bosan juga? Udah pernah coba bikin Dalgona Coffee?
/4 April 2020/
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top