12. The odd of starting over at the starting point (1)

Makasih sudah sabar menunggu ❤

.
.
.

"Fiqi, masih ingat pesan terakhir Papi?"

Satu pertanyaan mendadak itu berhasil membuat Rafisqiㅡyang sedang selonjoran santai di sofa sambil membolak-balik majalah di pangkuannya tanpa minatㅡmematung seketika. Diangkatnya kepala perlahan dan dia menyesal tidak lama kemudian. Dari atas tempat tidur, sedang duduk bersandar dengan sebuah bantal di balik punggung, papi memandanginya lekat-lekat. Tatapan itu terlalu intens, sampai rasanya terkesan seperti menuntut dan menghakimi. Rafisqi sudah bisa memprediksikan ke mana pembicaraan ini akan berlanjut, tapi untuk saat ini, bersikap seolah tidak tahu apa-apa jauh lebih baik.

"Apa-apaan sih, Pi?" Rafisqi tertawa kecil dan kembali melihat majalahnya mami yang tadi dia ambil secara asal-asalan. Tiba-tiba saja topik seputar fashion yang terpampang di sana terasa lebih menarik untuknya. "Tidur, Pi. Istirahat."

Rafisqi tidak pernah suka tiap kali topik ini disinggung. Apalagi jika ditambahi dengan embel-embel "pesan terakhir". Padahal selama tiga hari belakangan dia merasa agak tenang, karena papi tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda ingin memulai pembicaraan tentang "itu". Sepertinya kedatangan tiga orang tadi siang berhasil membuatnya teringat kembali mengenai apa yang selama ini dia minta dari Rafisqi.

Keheningan selanjutnya terasa mencekam. Satu-satunya suara berasal dari lembaran majalah yang dibolak-balik Rafisqi untuk mengalihkan pikiran. Diam-diam dia berharap mami segera kembali dari toilet. Pembicaraan empat mata dengan papi tidak pernah mudah. Lebih banyak kaku dan canggungnya. Bagi Rafisqi, berbicara dengan Dharma jauh lebih gampang.

"Dua tahun yang lalu," Papi kembali bicara, kali ini nada suaranya terdengar seperti orang tengah melamun. "waktu kalian membatalkan perjodohan, benar alasannya karena ketidakcocokan?"

Here we go.

Tidak ada yang bisa Rafisqi lakukan selain menghela napas berat. Kalau sudah begini, mengelak pun tidak akan ada gunanya. Papi hanya akan memutar topik pembicaraan ke hal yang sama.

"Begitulah," jawabnya singkat.

Papi tertawa pelan. "Didn't seem like that to me."

Rafisqi memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.

"Tahu tidak? Waktu kau tiba-tiba menelepon dan meminta jadwal pernikahan dipercepat. Simply one of the happiest moment in my life."

Oh ya, bagaimana mungkin Rafisqi bisa melupakan kejadian malam itu? Dia masih ingat ekspresi kagetnya Naura ketika dia memutuskan percepatan pernikahan secara sepihak. Sungguh bukan kenangan yang menyenangkan.

"Beberapa hal berubah, Pi."

Terdengar helaan napas berat. "Kau menyembunyikan banyak hal dari Papi."

Darah Rafisqi berdesir pelan. Kembali ditatapnya ayahnya itu lekat-lekat, berharap tidak menemukan tanda-tanda akan adanya serangan jantung lanjutan. Pikirannya berkecamuk, mulai mengira-ngira apakah papi mengetahui semua hal yang selama ini mati-matian dia sembunyikan. Mendapati bahwa diam-diam anaknya harus berurusan dengan psikiater selama bertahun-tahun bukanlah berita bagus untuk orang tua mana pun.

"Jadi benar ada yang kau sembunyikan?"

Rafisqi menggeleng dan cepat-cepat mengubah ekspresinya. Berusaha terlihat setenang mungkin. Hampir saja. Barusan papi tengah mengujinya dan dia nyaris saja masuk perangkap.

"Papi enggak usah berpikir macam-macam. Cukup fokus untuk sembuh." Rafisqi menaruh majalah di atas meja dan beranjak dari tempat duduknya untuk berdiri tepat di samping tempat tidur papi. "Lagipula aku masih muda. I'm not that old."

"But I am, Son."

Senyum tipis yang dilontarkan papi membuat Rafisqi bungkam.

Benar, pria yang ada di hadapannya ini tidak lagi segagah dan sekuat 10 atau 20 tahun yang lalu. Rafisqi memang tidak bisa melihatnya sepanjang tahun. Namun tiap kali bertemu, dia menyadari bahwa kerutan di wajah itu terus bertambah sedikit demi sedikit, rambut putihnya semakin banyak seiring bergantinya hari, dan semua penyakit yang ada di tubuh ringkih itu mulai menggerogotinya perlahan.

"Maaf, selama ini Papi egois. Kita tinggal terpisah-pisah begini ... semua salah Papi."

"Pi ...."

Rafisqi menggeleng. Papi hanya meneruskan apa yang dulu dilakukan kakek kepadanya. Anak-anak harus tinggal di Indonesia sampai SMP, pergi ke Amerika untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik, dan kemudian kembali lagi untuk mengurusi perusahaan. Itu sudah menjadi semacam tradisi dan Rafisqi tidak menyalahkannya. Meski semua pemisahan itu terbukti berdampak buruk pada kondisinya, sungguh, Rafisqi tidak lagi menyalahkan siapa-siapa. Saat ini dia sudah baik-baik saja dan itulah yang terpenting. Dan bukan juga salah siapa pun papi harus memiliki penyakit seperti itu dan terpaksa tinggal di Singapura. Dokter kepercayaannya ada di sana dan Singapura memiliki semua fasilitas yang diaㅡdan dulunya Juwita jugaㅡbutuhkan.

Takdir hanya tidak sedang berpihak pada keluarga mereka.

"Apa pun yang terjadi setelah ini," Tanpa mengindahkan teguran Rafisqi barusan, papi terus meracau. "let it be."

"Papi!" Tanpa sadar, Rafisqi meninggikan suaranya. "Positive thoughts only, remember?"

"Tapi setidaknya papi harus memastikan kalau kalian bahagia dan baik-baik saja."

Pada titik ini, Rafisqi benar-benar kehilangan cara untuk menghentikan pembicaraan yang terkesan suram ini. Rafisqi ingin bilang bahwa dia baik-baik saja dan dia sudah cukup bahagia dengan kondisi yang sekarang. Namun dia sadar bahwa kali ini papi tidak akan mau mendengar pembelaan apa pun.

"Fiqi, ini keegoisan papi yang terakhir."

Terakhir.

Lagi-lagi kata itu.

***

Rafisqi seolah berpindah dari satu masalah pelik ke masalah memusingkan lainnya.

"Kak, jam segini mau cari batagor di mana?"

Sayangnya, orang yang ada di seberang telepon sama sekali tidak menerima alasan.

"Ini keponakanmu yang minta loh, Fiq."

Untuk yang kesekian kalinya, Rafisqi menghela napas. Kadang dia tidak bisa membedakan mana permintaan Syila yang memang karena mengidam dan mana yang ditujukan hanya untuk mengerjainya. Sejak dinyatakan positif hamil dua bulan yang lalu—saat itu Rafisqi masih di New York—frekuensi telepon maupun panggilan video dari kakaknya itu meningkat drastis. Permintaannya aneh-aneh, mulai dari memaksa Rafisqi untuk menyanyikan lagu untuknya, sampai ke meminta Rafisqi makan pare secara live yang disaksikannya lewat video call. Padahal satu keluarga juga sudah tahu bahwa Rafisqi tidak suka pare dan suaranya sama sekali tidak diciptakan untuk beryanyi. Terkadang Rafisqi merasa dia jauh lebih sengsara dibanding Jay, yang jelas-jelas adalah suaminya Syila.

"Kalau batagornya enggak ketemu?" Rafisqi melirik jam tangannya. Hampir jam setengah 10 malam. Entah di mana dia bisa menemukan penjual batagor di jam segitu. "Ganti bakso saja, ya."

"Enggak mau tahu!"

"Iya deh." Rafisqi akhirnya menyerah untuk membantah. "Kuusahakan."

Awas saja kalau nanti anak itu tidak mendaulatnya sebagai Om Terfavorit.

"Oh ya, Mas Dharma sudah sampai?"

"Katanya lagi di jalan."

Semenjak kembali dari New York tiga hari yang lalu, hanya satu malam Rafisqi sempat tidur di rumah. Dua malam selanjutnya dia menginap di rumah sakit untuk menemani mami. Pada saat-saat seperti inilah dia bersyukur fobia rumah sakitnya tidak lagi seperti dulu. Malam ini adalah giliran Dharma untuk menggantikannya. Timing yang benar-benar tepat. Untuk sekarang, Rafisqi lebih memilih menghadapi kerandomannya Syila sepanjang malam, daripada harus berhadapan dengan papi.

"Oke, nanti kabari saja kalau sudah mau jalan ke sini."

Setelah mengiyakan perkataannya Syila, sambungan telepon terputus. Rafisqi menyandarkan punggung pada dinding di belakangnya. Koridor di hadapannya sudah benar-benar sepi, tidak ada lagi orang yang berlalu lalang. Suasana sunyi itu membuat pikirannya kembali berkelana. Di dalam sana, mungkin saja papi masih menunggunya untuk melanjutkan pembicaraan yang sebelumnya. Namun Rafisqi masih ingin mengulur-ngulur waktu. Dia belum siap untuk terjebak di situasi seperti tadi lagi.

Situasinya sudah sangat berbeda dengan 2 tahun yang lalu. Dulu dia bisa dengan lebih mudah mengiyakan permintaan papi, karena menurutnya, pernikahan hanyalah sebuah kewajiban. Tidak peduli dengan siapa, kapan, dan bagaimana, yang penting dia menikah dan membuat papi senang. Perasaannya bukanlah masalah. Semuanya memang akan lebih mudah dilalui kalau sejak awal tidak ada perasaan yang terlibat.
Namun sekarang lihat apa yang terjadi.

Dia merasa tidak akan bisa menikahi orang lain disaat hatinya masih tertuju pada satu orang. Kalau dia memaksa untuk melakukannya ... itu akan terlalu kejam untuk perempuan yang dia nikahi. Pada akhirnya, akan ada satu orang lagi yang dia kacaukan kehidupannya.

Bisakah papi menerima alasan seperti itu?

Namun sepertinya Rafisqi sudah bisa memprediksikan tanggapan pria itu kalau dia mencoba bicara jujur.

Aha! Kenapa tidak ikuti saja ke mana hatimu menuju?

Pasti. Pasti papi akan bicara begitu.

Seandainya bisa semudah itu.

Pintu di sampingnya terbuka mendadak, membuat semua kemelut pikiran Rafisqi buyar seketika. Dia menoleh dan mendapati mami tengah berdiri di ambang pintu dengan ekspresi panik. Wanita itu bahkan tidak memberi Rafisqi kesempatan untuk bertanya.

"Cepat panggil dokter! Papiㅡ"

Tidak perlu disuruh dua kali, Rafisqi segera berlari ke arah nurse station. Jantungnya otomatis berdentum kencang. Sejumlah pemikiran negatif mulai menghujamnya dalam-dalam. Dari arah berlawanan, dia bertemu dengan seorang dokter dan dua orang suster. Sepertinya sebelumnya mami sudah sempat memencet tombol panggilan darurat. Mereka pun sama tergopoh-gopohnya. Rafisqi hanya menganggukkan kepala untuk menyapa dan kembali berbalik untuk mengikuti tiga orang itu menyusuri arah tempatnya datang.

"Bagaimana kondisinya?" Dalam perjalanan, dokter berusia paruh baya itu mulai menanyainya.

"Saya ... tidak tahu." Rafisqi menggeleng. Tadi dia langsung berlari tanpa sempat bertanya pada mami, sehingga jadi tidak tahu persis apa yang terjadi.

Dokter itu tidak lagi bertanya. Mereka sudah sampai di depan ruang rawat inap. Ketiga tenaga medis itu langsung masuk ke dalam ruangan, sementara itu langkah Rafisqi justru terhenti di ambang pintu. Tiba-tiba saja dia jadi tidak punya keberanian untuk ikut masuk.

Bagaimana kalau ternyata ini adalah ulahnya?

Apa jangan-jangan pembicaraan tadi-lah yang memperburuk kondisi papi?

Kehidupan papi sudah seperti berada di ujung tanduk. Dokter pernah bilang bahwa penyakit jantung koronernya sudah semakin parah dan serangan jantung yang waktu itu bukanlah yang terakhir. Akan ada serangan-serangan lainnya di masa depan, dari yang masih termasuk kategori ringan sampai yang berat. Dan bukan tidak mungkin salah satunya akan berujung ke hal yang paling buruk.

Memikirkan itu saja sudah cukup untuk membuat lututnya lemas seketika.

Ponsel yang ada di tangannya bergetar pelan. Tanpa sedikit pun melepas pandangan dari pintu di depannya, Rafisqi menyentuh layar ponsel dan mendekatkan benda itu ke telinga.

"Halo?" Rafisqi bahkan gagal menyembunyikan kekalutan dalam suaranya.

Ada jeda sesaat sampai akhirnya si penelepon balas berbicara.

"... kau baik-baik saja?"

Mendengar suara itu, Rafisqi buru-buru melihat layar ponsel. Benar saja, dia mendapati sederet nama kontaknya Naura di sana.

"Ah ... ya ...," jawabnya bohong. "Ada apa?" Pada saat seperti ini, otaknya gagal untuk fokus pada dua hal dalam waktu yang bersamaan. Sebagian dirinya masih ingin mengkhawatirkan kondisi papi, sementara sebagian lainnya mulai panik menduga-duga apa yang membuat Naura meneleponnya di jam segini.

Tapi sepertinya kali ini kepanikan karena kondisi papi-lah yang menang. Rafisqi nyaris tidak bisa fokus pada hal yang diucapkan Naura selanjutnya.

"... sudah kucari ke mana-mana. Bisa tolong cek? Mungkin name tag-ku itu terjatuh di mobilmu."

"Ya." Paling tidak Rafisqi masih bisa menangkap inti pembicaraan. "Nanti akan kucek."

Kembali ada jeda. Naura tidak langsung menanggapi jawabannya.

"Kau benar baik-baik saja?" Suara itu bertanya lambat-lambat. "Rafisqi?"

Rafisqi tidak tahu harus berkata apa.

Tidak. Dia sama sekali tidak baik-baik saja. Pikirannya kalut dan hatinya kalang kabut. Mungkin memang benar kalau pembicaraan tadi yang berhasil memperburuk kondisi papi. Mungkin selama ini dialah yang paling membebani pikiran pria itu. Mungkin setelah ini dia sudah bisa dicap sebagai anak durhaka karena tidak tahu caranya mengabulkan satu-satunya permintaan terakhir.

"Rafisqi?"

Pintu yang ada di hadapannya masih belum memperlihatkan tanda-tanda akan dibuka. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam?

Mungkin ... mungkin masih belum terlambat untuk mencari seseorang dan membawanya ke hadapan papi. Sepertinya dengan begitu papi bisa senang dan kondisinya bisa membaik perlahan.

Benar. Dia harus segera menemukan seorang perempuan untuk diperkenalkan ke papi, kemudian menikahinya. Sebelum semuanya terlambat dan yang tertinggal hanyalah penyesalan.

"Rafisqi! Halo?"

Tapi bagaimana mungkin dia bisa menikah, sementara seumur hidupnya, satu-satunya orang yang ingin dia nikahi hanyalah ....

"Naura."

"Akhirnya kau bicara juga! Apa yangㅡ"

"Naura, mau menikah denganku?"

***

Jreeengg!
Bersambung ...











... ke part 2!

Chapter ini panjangnya keterlaluan! Apa aku kerasukan pas ngetiknya? /heh/
Makanya dipecah jadi dua.

Tenang, update-nya ntar malam kok. Ga mesti nunggu sampai sebulan lagi. /psst, siapkan hati huehehe/

Sementara itu, ayo main tebak-tebakan!

Kira-kira bagaimana reaksinya Naura?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top