DUA

Samuel membuka matanya, merasakan sebuah benda yang dingin menusuk pipinya. Ia tersentak kecil, merasakan betapa dinginnya benda itu, ia lalu mengerjapkan mata, melihat bahwa yang baru saja menyentuh pipinya adalah tangan Mark. Ia menatap Samuel sambil sedikit menunduk, merasa sedikit bersalah telah membangunkan kakaknya dengan cara yang tidak baik. Mark lalu kembali terduduk, meluruskan kedua kakinya, "Maaf."

Samuel menggelenggkan kepala, mencoba mencari kesadarannya yang seakan sudah berkelana begitu jauh, "Tidak, tak apa. Mengapa membangunkanku?" tanya Samuel, menoleh pada Sharon yang tertidur dengan tas makanan mereka sebagai bantalan untuk kepalanya.

"Kurasa dia sakit, tubuhnya agak kaku, dan dia menggigil hebat." ujar Mark, seketika membangunkan Samuel sepenuhnya. Mark sedikit terbatuk, dan Samuel akhirnya berdiri, ia melihat ke arah langit yang sudah cerah tak berawan dengan beberapa bintang yang bertebaran, mungkin waktu sudah menunjukkan pukul tiga atau empat pagi hari. Ia tertidur sangat lama.

"Aku akan mencari apotek, kalian berdua tetaplah di sini. Kurasa apotek hanya tiga blok dari sini." Samuel menepuk celananya, merasakannya semakin lembap, dan ia melangkah ke pinggir trotoar, menoleh ke kiri dan kanan.

"Kak?" panggil Mark, dan Samuel seketika menoleh, "tadi aku melihat beberapa orang lewat. Dua pria, dua wanita. Mereka menoleh, tetapi mengabaikan kita. Kurasa di sekitar sini ada beberapa orang lainnya, kau mungkin... bisa menemukan mereka, dan kita bisa bergabung bersama mereka. Aku tidak suka sendirian begini." Adiknya itu, Mark, selalu membuat Samuel kagum dengan kepekaannya.

Tetapi Samuel tersenyum pahit, dengan agak ragu bahwa ia bisa mencoba meyakinkan Mark dengan senyuman itu, "Ya, tentu. Aku pergi dulu, tetap di sini, aku tidak akan lama. Jangan melakukan hal yang aneh-aneh." Ia lalu kembali membalikkan badan, melangkah ke arah hotel bengkok itu, dan berjalan begitu saja dengan tangan yang terselip ke dalam kantung jaketnya.

Ia bisa membayangkan ucapan Mark tadi. Bergabung bersama yang lain, semakin banyak orang semakin baik. Tetapi itu semua hanyalah bayangannya, bayangan yang tidak akan pernah menjadi seburuk faktanya. Sepatu boots Samuel membuat suara ketukan di setiap langkahnya, kala itu salju telah berhenti turun, tetapi matahari masih tidak terlihat akan menampakkan sinarnya, mala mini akan menjadi malam yang panjang. Samuel menyeberangi perempatan, lalu berbelok ke kanan. Ia kembali memikirkannya, bergabung bersama orang lain, untuk yang keberapa kalinya. Lalu ia meludah, membayangkan betapa konyolnya ide tersebut. Samuel selalu mencoba berinteraksi dengan setiap orang yang ia temui saat bencana itu tidak menjadi separah ini, tetapi setiap orang yang ia ajak bicara, hanya melempar pandangan ketus, dan mengusirnya pergi. Brilian sekali.

Walaupun dirinya tetap melangkah dengan mantap, tetapi ia tidak mengetahui dimana letak toko obat terdekat. Tak ada jaminan juga bahwa jika ia menemukannya, maka obat yang tepat akan ia temukan. Dunia sudah menjadi kacau, bahkan hanyalah sebuah virus kecil bisa membunuhmu kapan saja. Dan Samuel sama sekali tidak menyukai itu. Terdapat beberapa kerak di jalanan, aspal seakan dirobek, dan sisi yang dirobek itu mencuat ke atas, terlihat tajam dan menusuk. Samuel melangkah menyeberangi perempatan lainnya, rasa dingin tidak begitu menusuk pagi ini. Tetapi tetap saja tidak bisa dipungkiri, ia menggigil pelan. Samuel menoleh pada sebuah gedung kecil yang berwarna kuning, dengan sebuah papan lampu bertuliskan Pharmacy secara vertikal. Ia mengeluarkan sebuah napas melalui mulutnya, menciptakan asap putih begitu ia melakukannya. Ia mempercepat langkahnya, sedikit berlari, ia sudah merasa melewati lebih dari lima blok tadi. Dan hal itu bukanlah sesuatu yang cukup baik.

Tiba-tiba saja, dari sebuah gang kecil di sisi kiri, seseorang muncul, seorang pria yang terlihat muda, tetapi kerutan sudah muncul di sudut matanya. Samuel seketika berhenti, langkahnya dikagetkan oleh kemunculan pria itu. Jantungnya berdegup kencang, pria itu melemparkan tatapan sinis padanya, mengejek, sekaligus kesal.

"Perhatikan langkahmu, Bocah." Dengan tiga kata, pria itu berlalu. Lalu yang mengejutkannya lagi, di belakangnya mengekor tiga anak kecil yang mungkin setahun atau dua tahun lebih tua dari Sharon dan Mark. Samuel memperhatikan pria itu, memperhatikan punggungnya yang semakin jauh, diikuti oleh ketiga anak di belakangnya layaknya anak bebek yang tengah mengikuti induknya.

Samuel melangkah menjauh, "Yah, kau bernasib sama denganku, tapi kurasa kau tidak memiliki kesopanan yang sama denganku." umpatnya pelan, sambil kembali melangkahkan kakinya menuju gedung kuning itu.

Samuel lalu berhenti tepat di depan sebuah pintu—ambang pintu—yang sudah kehilangan daun pintunya. Tercabut dari kedua engselnya. Mungkin dengan keras, engselnya terlihat patah dan membengkok. Samuel lalu melangkah pelan memasuki apotek itu, melihat betapa hancurnya keadaan di dalam. Lembap, apek, baunya sungguh tidak mengenakkan. Seakan banyak tikus sudah membusuk di dalam apotek ini. Samuel mengibaskan tangannya di depan wajahnya, sedikit merasakan matanya berair karena baunya yang menyengat ini.

"Mari berharap kau punya obat yang cukup higienis untuk dikonsumsi." Ia menggaruk batang hidungnya, lalu melihat banyak rak susun yang sudah terbalik, obat berserakan di lantai, lemari tempel yang sudah tidak tertempel lagi, lalu dinding yang catnya terkelupas, dan langit-langit yang berlubang.

Ia mengernyitkan alis, merasakan betapa buruknya tempat ini. Salah satu alasan mengapa ia tidak setuju untuk berdiam di dalam bangunan. Seluruhnya sangat buruk, seakan kau tinggal di dalam sebuah tong sampah dengan banyak kecoa yang bisa menyelimutimu. Walaupun terkadang Samuel mengetahui di sekitar tempat ini ada banyak orang yang memilih untuk tinggal di dalam ruangan, ia tetap tidak akan melakukannya. Itu mengerikan. Bahkan terlalu mengerikan hanya untuk dibayangkan.

Setelah beberapa langkah, dan beberapa menit mencari, ia menemukan beberapa obat yang masih terbungkus rapi, dan Samuel masih mengingat kegunaan obat itu. Ia memasukkannya ke dalam kantong jaketnya, lalu kembali mengecek barang lainnya. Ada sebuah senter tergeletak di atas meja, tetapi Samuel terkekeh. Sudah berbulan-bulan ia tidak menyentuh benda itu. Listrik menghilang tidak hanya pada kabel, tetapi juga pada baterai, seakan-akan Tuhan benar-benar menyedot seluruh listrik yang ada. Ponsel tak satupun menjadi berguna, dan dunia seakan berubah menjadi di zaman batu lagi.

Samuel mengerutkan alisnya, lalu menebarkan pandangan ke seluruh ruangan sekali lagi, sebelum ia benar-benar akan meninggalkannya. Setelah cukup lama mengedarkan pandangan, ia mengangguk pelan, hendak berbalik, lalu yang selanjutnya terjadi, seakan membuat jantungnya terlepas dari tempatnya.

Sebuah suara berdengung pelan, begitu halus, tetapi nyaring, dan sangat familiar. Satu hal yang ia ketahui, suara itu sudah tidak pernah ia dengar selama satu tahun terakhir, selama semenjak bencana terjadi. Itu suara yang tidak akan pernah ia lupakan, tidak semua benda akan bisa mengeluarkan sebuah suara yang sama. Dan Samuel mencoba mengingat kembali nama benda itu. Nama benda yang menjadi sumber suara tersebut. Alih-alih ia mencoba untuk keluar dan menengok pada sumber suara, Samuel terpaku. Kakinya seakan tidak bisa digerakkan, otaknya berputar dengan sangat kencang mencari memori di mana ia bisa mengingat nama benda itu. Satu hal yang ia tahu, satu hal yang ia ingat, bahwa benda itu sangatlah besar. Suara itu dihasilkan dari bara api yang berada di bagian bawah benda, membawanya terbang, membawanya melesat melintasi banyak kota dalam waktu yang tidak begitu lama.

Lalu Samuel menegakkan kepalanya, seakan seperti sebuah batu dicelupkan ke dalam sungai, dan batu itu sudah menyentuh dasarnya. Ia mengingat nama benda itu, Clove.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top