Why?
Sekarang pukul 07:10 pagi dan aku yang paling terakhir muncul. Dua adikku sudah duduk manis menemani Kakek Na. Mereka duduk mengitari meja persegi panjang berlapis kaca yang cukup menampung sepuluh orang. Sebagai kepala keluarga, Kakek Na duduk di bangku kebesarannya—paling ujung—di ruang makan kami yang bisa dijadikan tempat untuk main tenis. "Selamat pagi ...," ucapku dengan membesarkan volume suara sewaktu sampai di ambang pintu untuk berjaga-jaga jika pendengaran Kakek Na bermasalah lagi.
Entah kenapa akhir-akhir ini ia lebih tuli dari biasanya. Mungkin pengaruh usianya yang tidak muda lagi. Untung kali ini aku tidak perlu mengulangi sapaan karena Kakek sudah berpaling dan menyuruhku duduk. Bangku terdekat masih kosong, jadi kuputuskan duduk di samping Soo Jin.
Setelah merentangkan serbet di pangkuan, bangku kumajukan sedikit hingga mendekati tepi meja. Wah, semua sarapan favoritku sudah terhidang. Rongga mulutku sampai berair, tidak sabar untuk memindahkan semuanya ke dalam perut.
Alis Soo Hyeon—yang duduk berhadapan denganku—langsung bertaut. Sejak kemunculanku di ambang pintu, matanya terus terarah pada pria super tampan ini, tapi biar saja. Sebentar lagi pasti dia bosan sendiri dan berpaling.
Ternyata meleset. Soo Hyeon masih betah menatap wajah yang sangat mirip dengannya. Apa dia mengagumi wajahku atau pantulan wajahnya sendiri? Kalau yang pertama, tidak salah lagi dia narsis. Kalau yang kedua, sama saja. Mungin sudah warisan. Entahlah, permasalahan ini pasti dihadapi semua orang ganteng. Adik sendiri pun sulit lepas dari jerat pesona yang selalu tumpah ruah, padahal masih berwajah bantal begini. Jujur saja, sebagian nyawaku masih tertinggal di kasur. Kalau saja Kakek Na tidak memberi pengumuman untuk kami bersaudara berkumpul sepagi ini, pasti aku masih mengorok sampai Jagi melompat dan mengipas-ngipas mukaku dengan ekor kemocengnya itu.
Akhirnya aku bersuara sambil mengangkat mataku, "Jangan dilihat terus, nanti luntur gantengnya."
Soo Hyeon hanya berdecih sambil memutar bola mata. "Ganteng dari mana, wajahmu lebih besar dari roti itu." Spontan mataku mengikuti arah jarinya. (1)
Soo Jin mengambil sepotong roti bulat yang ditunjuk Soo Hyeon dan disandingkan dengan wajahku. Seakan menambah minyak dalam api, mata si bocah tengil di sampingku membulat—walau tetap sipit—sambil berseru takjub, "Wah! Kau benar!"
Aku menelengkan kepala dan melirik sengit pada Soo Jin sambil menggenggam peralatan makan berbahan perak hingga teracung ke langit-langit. Sukses. Adikku memasang wajah bodoh dan meletakkan roti di piringnya. Tidak lama ia menoleh pada Kakek Na dan berdeham sejenak. "Jadi, kenapa Kakek mengajak kami berkumpul?"
Tidak ada reaksi dari Kakek Na yang terlalu fokus menggerakkan tangannya untuk memotong roti panggang menjadi kubus-kubus kecil. Soo Jin dan Soo Hyeon saling pandang dan berbicara ala mereka, komat-kamit bergantian. Hingga sekarang aku masih iri dengan ikatan kuat di antara mereka, terutama dalam membaca gerak bibir.
"Kakek ...." Soo Hyeon menyentuh punggung tangan Kakek Na hingga pria yang rambutnya menolak beruban itu terhenyak kaget.
"Oh my, oh my God ...!" Seruan Kakek Na bernada. (2)
Sekarang bukan hanya Kakek Na yang kaget, tapi seisi ruangan. Soo Hyeon memberi kode pada Kakek Na supaya mencabut perangkat nirkabel yang menyumpal telinganya.
Seketika aku menjeling pada Soo Jin. "Jangan bilang kau meracuni Kakek dengan lagu itu?"
"Tentu saja! Jins Baru Hitam-Pink. Iya, kan, Noona?" (3)
Soo Hyeon tidak terlalu mendengar ucapan kembarannya karena sibuk berinteraksi dengan Kakek, memainkan kartu 'cucu kesayangan'-nya. Aku hanya bisa menutup wajah dengan telapak tangan. Yes, facepalm ... literally.
Level persuasi si kembar semakin mengerikan. Bisa-bisanya mereka meyakinkan Kakek untuk membeli perangkat ponsel terbaru dan sekarang ketagihan K-Pop. Kakek Na memang sedikit eksentrik, tapi tidak sampai ke tingkat mencengangkan begini. Ia bahkan menelan perkataannya sendiri tentang 'Ruang Makan Bebas Ponsel dan Medsos'.
Kakek Na mengangkat kepala dan langsung tersipu sewaktu bertemu tatapanku. Jelas dia tahu telah melanggar aturannya sendiri. Ia buru-buru beralih pada Soo Jin. "Kenapa, Jin-ah?"
Soo Jin mengulang pertanyaannya dan sabar menunggu tanggapan dari Kakek. Seulas senyum terbit di wajah berkeriput pria berusia 85 tahun ini. Garis-garis ketuaan di sudut matanya semakin jelas terlihat. Namun, mata tersenyum yang mirip bulan sabit terbalik itu tetap memikat. Pria tua yang menolak memakai tongkat sebagai kaki ketiga, menatap kami satu per satu.
"Ah, Kakek punya kabar gembira untuk kalian semua!" Senyuman Kakek Na semakin lebar. Jujur saja aku jadi teringat dengan seringai lebar Soo Jin semalam dengan wajah Joker-nya. Matanya juga semakin berbinar penuh semangat.
"Apa itu, Kek?" tanyaku sambil meneguk segelas susu almond.
"Dengarlah, cucu-cucu kesayangan kakek tua renta ini," ujar Kakek Na dengan nada serius, membuat kami semakin penasaran. "Kalian semua akan menjadi bintang dalam acara reality show keluarga kita sendiri!"
Reality show? Seperti program acara Sprinter Man? (4)
"Kakek sudah mendapatkan kesepakatan dengan statiun TV. Mereka tertarik untuk mengikuti kehidupan sehari-hari kita dalam program baru mereka!"
"Omo, serial TV?" Soo Hyeon membekap mulutnya sendiri. Dari matanya yang membesar aku bisa menebak ia akan menjadi orang pertama yang setuju.
"Betul. Kita akan memiliki kamera yang mengikuti setiap kegiatan kita dari pagi sampai malam. Semua kelucuan dan kejadian dalam keluarga kita akan terekam dan ditayangkan di televisi! Kalian akan menjadi bintang di layar kaca!"
"Wow! Kita akan terkenal, Hyung!" seru Soo Jin sambil menampar-nampar bahuku dan baru berhenti setelah dipelototi. "Sowry~" (5)
Kurasa hanya si kembar yang menyambut girang rencana sepihak Kakek Na. Otakku sendiri masih memproses semuanya. "Apa ini benar-benar diperlukan, Kek? Bagaimana dengan privasi kita?"
Kakek menghela napas dan mengangkat tangan. "Tenang, tenang. Semua akan direncanakan dengan baik. Privasi kita akan tetap dijaga, hanya momen-momen lucu dan menghibur yang akan ditampilkan di acara tersebut. Selain itu, ini akan menjadi kesempatan bagus untuk memperkenalkan hotel dan pemandian air panas kita."
"Bagaimana dengan toko bunga?" Soo Jin menyelipkan diri ke dalam percakapan kami.
"Kalau soal itu, kita bicarakan nanti."
"Tapi—" Soo Jin tidak jadi mendesak sewaktu Kakek memberi isyarat padanya untuk diam.
"Apa yang kau takutkan, Hwan-ah?"
Kakek Na terang-terangan menggunakan aura otoriter yang tidak ingin dibantah. Sayang, dia berhadapan dengan orang yang salah. Aku tidak mengalihkan pandanganku, tapi menantang balik pilihan yang dibuatnya itu. "Aku bukan takut, tapi tidak setuju dengan tindakan sepihak seperti ini, Kek."
"O-oh, mulai lagi ...." Soo Hyeon menendang kaki Soo Jin sebagai kode untuk mengajaknya pergi. Aku tahu ini karena tulang keringku ikut tertendang dan tidak lama mereka gelagapan berdiri. "Maaf karena tidak bisa menemani lebih lama, Kek. Kami permisi."
Setelah berpamitan, Soo Jin tergopoh-gopoh mengekor di belakang Soo Hyeon yang sudah mencapai ambang pintu. "Apa pun keputusannya, kami mendukungmu, Kek. Hwaiting~" ujar Soo Hyeon sambil mengangkat kedua tangan yang terkepal sebelum menghilang di balik pintu. (6)
Tinggallah aku bersama Na Byung Ho, nama lengkap dari pria di hadapanku sekarang yang biasa kami panggil Kakek Na. Ia adalah ayah dari ibu kami. Selain Kakek Na, aku masih memiliki seorang paman dan dua anak yang mewarisi jiwa serakahnya itu. Mereka menetap di Amerika, sementara aku kembali ke Korea setelah menyelesaikan studi di sana.
Untuk ayahku ... sesungguhnya aku malas membahas pria yang tidak tahu diuntung satu ini. Bagaimana bisa ia 'menculik' ibu dari kastil kediaman Na dan menelantarkan kami. Ya, aku tahu ini kasar, tapi kenyataannya pria yang harus kami panggil ayah hanya membaktikan diri untuk mengejar satu hal bernama 'cinta'.
Sangat salah jika menduga ia mencintai keluarga. Yang ia cinta hanya uang ... dalam jumlah yang banyak dan tidak terbatas sampai gila! Tidak heran jika dia berakhir di pusat rehabilitasi mental. Benar, aku yang mengirimnya ke sana setelah apa yang ia lakukan terhadap ibu dan adik-adikku. Dia layak mendapatkan itu dan kupastikan dia tidak akan pernah keluar dari sana.
Aku tidak mengerti kenapa ibu bisa tergila-gila padanya dan rela hidup terlunta-lunta di jalanan. Bukan mirip gelandangan lagi, tapi gelandangan profesional. Sungguh, aku tidak bermaksud merendahkan mereka yang tidak seberuntung aku memiliki seorang kakek yang kaya dan hidup berkecukupan, bahkan lebih. Namun, dua tahun hidup tanpa menyandang nama keluarga Kakek, ibuku sungguh dibuat menderita.
Kenapa aku tahu? Ibu sendiri yang cerita bahwa aku hampir mati di perutnya akibat komplikasi yang diakibatkan kekurangan gizi. Setelah aku lahir, barulah ibu membuang harga diri yang tersisa untuk kembali ke rumah Kakek, tapi justru diusir oleh istri pamanku. Kakek Na tidak pernah tahu kejadian ini dan sampai sekarang wanita iblis itu masih menikmati posisinya sebagai mantu kesayangan. Rasanya ingin muntah melihat si penjilat itu.
Pikiranku yang mengawang-awang dibuyarkan oleh suara Kakek Na. "Tidak ada salahnya kita mencoba ini," ujarnya sambil mengurut-urut persendian jari-jarinya. "Kakek tidak tahu akan hidup sampai kapan ..., sudah saatnya kau mengambil alih."
Ah ... pahamlah aku sekarang arah dari rencana memunculkan diri di TV. Menjadi selebriti dan populer hanyalah kedok, yang ia incar adalah keberlangsungan semua aset yang ia kelola. Jujur saja aku masih skeptis dengan cara Kakek, tapi dia memiliki poin yang sulit dibantah.
Memang aset-aset tersebut akan jatuh pada anak anak dan cucunya, tapi aku sama sekali tidak ingin saling cakar dan sikut dengan paman dan dua sepupuku untuk mendapatkan itu semua. Aku tidak suka menjadi benalu dalam keluarga. Benalu berkedok penerima warisan.
Sebagian orang berpendapat mendapatkan warisan adalah hal yang wajar, tapi apa hakku mendapatkan sesuatu yang sama sekali bukan hasil jerih payah sendiri? Baiklah, mari lihat dari sisi lain seperti ... taruhlah 'meneruskan' usaha yang sudah dirintis. Jujur ini lebih baik, tapi tetap saja ini menjadi beban tersendiri, apalagi jika aku gagal meringankan beban tersebut dan justru tertimbun. Bagaimana jika aku gagal memenuhi ekspektasi Kakek Na dan justru merusaknya? Bangkrut adalah hal pertama yang melintas dalam pikiran. Kedua, cemoohan dan cibiran dari keluarga dan orang-orang sekitar. Ketiga, kecewa pada diri sendiri.
Memikirkan semua kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi, selain menguras pikiran juga dengan mudah memicu asam lambungku naik. Seperti sekarang.
"Kuharap Kakek memikirkan lagi soal ini." Aku menyudahi acara sarapanku dan hendak berdiri.
"Tidak bisa. Kakek sudah tekan kontrak dan kita akan mulai dua minggu dari sekarang." Kakek Na mengelap sudut mulutnya dan berdiri lebih dulu. Ia kembali menyumpal telinganya dan melangkah ke luar.
Tidak lama aku mendengar suaranya yang sumbang melafalkan sebait syair. "Hit you with that ddu-du, ddu-du, du ...!" (7)
Ini rekor bagiku untuk 'facepalm' dua kali dalam sehari.
🍁🍁🍁
Aku meninggalkan kucing yang hanya ramah pada laki-laki di klinik dokter hewan langganan. Ya, setelah sekian lama menimbang-nimbang, akhirnya kuputuskan untuk mensteril Jagi karena tidak berencana memiliki sepasukan 'menantu dan cucu' di usia muda. Satu saja sudah cukup merepotkan, apalagi jika dia sedang memasuki masa estrus. Singkatnya, setiap bulan anak gadisku itu akan menjadi kucing binal dan mengeong-ngeong keras untuk memanggil lawan jenisnya datang dan diajak naik pelaminan.
Besok adalah jadwal yang kusepakati untuk operasi steril Jagi dan aku baru bisa membawanya pulang lusa. Pulang ke rumah sekarang sama saja dengan mengubur diri di kasur sampai sore. Walau mengantuk, aku tidak ingin menghabiskan waktu dengan tidur-tiduran saja. Hasil dari indeks kualitas udara hari ini cukup baik. Jadi, kupikir ini ide yang bagus untuk berjalan-jalan santai di taman kota. Kebetulan di depan klinik ada taman yang kelihatannya cukup asri.
Sebelum jalan-jalan santai, ada baiknya membeli sebotol susu almond dingin dan roti. Aku hanya perlu menemukan pohon rindang dan duduk di bawahnya sambil menghabiskan camilan tanpa peduli apa yang terjadi di sekitar, hanya ada aku dan kedamaian. Kebetulan beberapa langkah dari klinik ada toko swalayan kecil.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah berjalan di sepanjang trotoar yang diapit pepohonan dengan menenteng susu almond dan roti kukus harum beraroma pisang. Langkahku terhenti dan entah apa yang terjadi, aku sulit mengalihkan mataku darinya.
Di sana, di bawah pohon rindang yang dekat tong sampah ada makhluk hidup yang membutuhkan uluran tanganku. Saatnya beramal. Kuayunkan langkah ke arah gadis gelandangan berpakaian rapi.
Walau sudah berdiri di belakangnya, gadis berpakaian rapi yang tengah berjongkok belum menyadari keberadaanku. Kuanjurkan susu almond yang masih dingin di depan wajahnya. "Minumlah."
Apakah aku cukup sopan? Aku tidak ingin terlihat seperti penjahat yang melancarkan aksinya di siang hari.
Dia tersentak kaget dan mendongak padaku, tapi karena dia memicing hingga matanya tinggal segaris, aku langsung membentangkan telapak tanganku yang besar untuk menghalau sinar matahari untuknya.
Kukeluarkan roti kukus dari saku jas beige berlengan pendek yang kupakai hari ini dan disodorkan padanya. "Ini juga."
Aku bisa memaklumi dia tidak langsung menerima pemberian orang asing dan tidak akan marah jika ditolak mentah-mentah.
Ternyata aku salah. Dia menerima dan merobek plastik roti dengan giginya. Dalam waktu singkat, separuh roti sudah habis dilahap. Kasihan, pasti dia sangat kelaparan. Harus kuakui walau sedikit barbar, tapi aku tidak keberatan. Caranya membuka bungkusan dan memakan roti mengingatkan aku pada salah satu drama tentang gadis yang harus bertahan hidup di jalanan.
Tiupan angin membawa wangi Lavender dari sampo yang dia pakai, mengingatkanku pada Jagi. Entahlah, aku pasti kerasukan karena bisa-bisanya menyentuh puncak kepala gembel fashionista ini dan mengusapnya pelan. Lembut dan halus ... seperti bulu Jagi.
Tahu-tahu dia mendongak dan inilah pertama kali kami bertatapan. Oh, Tuhan! Apa yang harus kulakukan? Berpikirlah, Soo Hwan!
Beruntung aku sempat menjadi model pakaian untuk butik temanku sewaktu masih kuliah dulu. Jadi, setidaknya aku masih ingat untuk tersenyum manis ala model iklan pasta gigi. Aku pun tesenyum. Tidak terlalu lebar, ataupun terlalu pelit membentuk satu lengkungan ke atas mirip bulan sabit.
Baiklah, dengan begini dia tidak akan menganggap aku berniat jahat padanya, 'kan?
Oh tidak ... kenapa? Kenapa di saat seperti ini perutku berulah! Gembel fashionista, kuharap nasibmu membaik. Maaf kalau hanya ini yang bisa kulakukan untukmu.
Aku beruntung menemukan sebuah kafe di seberang jalan. Suasana di dalam masih sepi, hanya ada satu pengunjung. Walaupun malu, aku tetap mendekati salah satu pelayan dan memasang wajar sedatar mungkin. "Permisi, tolong tunjukkan toiletnya."
🍁🍁🍁
Berhubung ngutang seminggu, jadi chapter 2 double jumkatnya sampe 2k. Enjoy and leave comment ya kalo suka sama chapter ini :D
Catatan:
"Ganteng dari mana, wajahmu lebih besar dari roti itu." (1)
>> Orang Korea tuh kalau ada yang bilang, "Wah, wajahmu kecil, ya!" Ini justru dianggap suatu pujian (=lu cakep). Jadi, di sini Soo Hyeon sedang mencibir kakaknya sendiri atau dengan kata lain mau bilang 'muka lu tuh ga menarik tahu!"
"Oh my, oh my God ...!" Seruan Kakek Na bernada. (2)
>> Iye, lirik lagu NewJeans yang 'OMG'.
"Tentu saja! Jins Baru Hitam-Pink. Iya, kan, Noona?" (3)
>> Iya, maksudnya girl grup NewJeans dan Blackpink (cari aman biar ga kena kemplang kalo sebut-sebut merk).
Reality show? Seperti program acara Sprinter Man? (4)
>> Itu tuh, Running Man (alasan seperti no.1)
"Sowry~" (5)
>> Ya, cara sok imut Soo Jin bilang 'sorry'/maaf.
Hwaiting~" (6)
>> Taulah ya, Fighting! yang artinya bukan ngajak berantem orang, tapi kayak ngasih semangat gitulah.
"Hit you with that ddu-du, ddu-du, du ...!" (7)
>> Ho oh, lirik lagunya Blackpink yang 'DDU-DU DDU-DU'.
Estrus: masa-masa beberapa mamalia yang masuk siklus 'pengen kawin' dan siap dibuahi. Istilah lainnya kyk 'heat'. Kalo kucing betina tuh yang ngeong-ngeong genit sama gelisah doi minta diketemuin sama garong.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top