Soo Hyeon's Victim
03.00 AM
Batang-batang kurus merah pada jam digital yang duduk manis di atas nakas membentuk angka tersebut. Lalu, di sinilah aku masih setia menghitung anak-anakku. Sebagai seorang bapak yang baik, tentu memastikan mereka sudah pulang adalah kewajiban mutlak.
Kedua tanganku membentang, tapi tetap belum bisa mencapai tepi ranjang. Salahkan Kakek Na, dia yang memilih semua perabotan di rumah ini dan semuanya harus ukuran jumbo. Meski barang-barang di kamarku berukuran besar, tetap saja ruangan ini terlalu lengang.
Sejak tiga jam lalu aku berusaha untuk tidur, tapi efek dari secangkir double espresso belum luntur sepenuhnya. Salahku karena mengabulkan rengekan Jia yang ingin mentraktir di kafe dekat tempat kerjanya. Kaca mata tidur berbahan halus berbentuk kodok hijau, sudah bertengger manis dan menutupi kedua mataku. Entahlah kenapa Soo Hyeon memberiku ini sebagai hadiah ulang tahun, padahal dia yang suka dengan Kermit, bukan aku.
Hitunganku masih berlanjut. "Seribu ... dua puluh satu anak domba melompati pagar dan masuk ke kandang. Seribu—"
"Hyung!"
Teriakan si anak begajulan disertai gedoran pintu, menginterupsi hitungan para domba, anak-anak khayalan yang setiap malam jumlahnya terus bertambah. Sewaktu berusia 12 tahun, mereka masih berjumlah seratusan. Nah, sejak insomnia melanda, mereka terus membelah diri—bukan—berkembang biak secara aseksual dan tahu-tahu sudah ribuan sekarang.
"Aish! Apa lagi sekarang?" Aku menendang kasar selimut tebal yang mengamankan dadaku yang telanjang ini dan mengangkat asal kaca mata tidur di mata kiri. Meski remang-remang, cahaya bulan yang menembus gorden tipis membantuku menemukan saklar lampu tidur di samping ranjang. Saat membalik badan, Soo Jin sudah berdiri di ambang pintu. Sial, lupa dikunci lagi. "Jam berapa ini, Jin!" Sepertinya dia ingin aku cepat-cepat mati.
"Pinjam sekop, Hyung." Masker putih yang membalur pemilik wajah yang entah kenapa dibenci jerawat di depanku, langsung retak akibat senyum lebarnya. Dia tahu betul betapa aku merindukan tidur berkualitas, tapi lihatlah dia sekarang ... cosplay jadi Joker!
Kuraih kaus longgar yang tergeletak asal di atas bantal kosong di samping kepala. Pemilik bantal tersebut masih dicari hingga hari ini, tapi jangankan istri, calon saja tidak punya. Sebenarnya inilah alasan kenapa ruangan besar ini terlalu lengang. Ya, karena aku tidak punya teman tidur. Sepasang alis tebal kebanggaanku otomatis naik dengan permintaa absurd Soo Jin. "Untuk?"
"Mengubur mayat."
Aku menarik napas dan mengembus pelan. "Jin-ah," ucapku pelan, "selagi aku berbaik hati dan tidak mengubahmu jadi mayat juga—"
"Aku serius, Hyung."
"Kenapa kau pikir aku menyimpan sekop di kamarku?!" Astaga, hanya Tuhan yang tahu betapa sulitnya tidak melepas sumpah serapah yang sudah di ujung lidah ini. Untung saja tanganku lebih cepat menerbangkan bantal untuk didaratkan di wajahnya. "Cepat keluar sebelum kugali kuburan untukmu!"
"Dengar dulu, Hyung ...." Soo Jin mengulurkan tangan, seolah aku adalah anjing ganas yang memamerkan gigi-gigi taring padanya. Lihat saja, ia tidak mau melepas kontak mata denganku bahkan saat membungkuk untuk memungut bantal satin bermotif kupu-kupu Monarch yang kulempar tadi. Pasti ia bersiap-siap dengan serangan lanjutan yang mungkin dilancarkan olehku. "Kita harus cepat-cepat menghilangkan bukti sebelum noona dijerat pasal pembunuhan!"
Aku buru-buru menurunkan bantal kedua yang siap dilempar. "Apa maksudmu?"
"Hyeon Noona, dia ...."
"Apa?"
"Tadi, dia menduduki Jagi lalu—"
Mendengar nama kucing persia berusia tiga tahun itu disebut, aku langsung merangkak turun dari kasur dan berlari menyusuri koridor lantai dua dan menuruni tangga. Tersandung pun, sudah tidak kupedulikan lagi, padahal ujung jempolku berdarah. Alhasil, aku terpincang-pincang menuju ruang tamu.
Jagi ... jangan bilang Jagi gepeng tergencet bokong Soo Hyeon! Tidak lagi, tidak lagi aku kehilangan peliharaan karena kecerobohan dua adikku yang kelakukannya setara siluman rubah ekor sembilan.
Bersamaan dengan lampu yang menyala, Soo Hyeon, satu-satunya perempuan dari kami bertiga sekaligus yang tertua dari si kembar, langsung mengangkat kepala. Untung saja ruangan sudah terang benderang, sehingga wajahnya yang memakai masker putih—dan rambut awut-awutan seperti habis menerjang badai—tidak terlalu seram. Kalau tidak, mungkin vas bunga di meja sudah melayang ke arahnya. Aku benci olah raga jantung tidak pada saat yang tepat.
"Oppa ...," rengeknya dengan suara manja yang khas. "Jagi ..., Ja—"
"Di mana, di mana Jagi?" Kudekati Soo Hyeon yang setengah tengkurap. Tangan sofa menyangga perutnya yang miskin lemak. Berlapis-lapis piyama yang membungkus tubuh dan posisi anehnya sempat mengundang tanda tanya dalam kepala, tapi aku lebih memusingkan nasib Jagi.
Aku menendang pelan kaki Soo Hyeon, memintanya menyingkir, tapi dia hanya menggeram kecil dan menunjukkan sikap tidak mau menurut. Sumbu kesabaranku sudah terbakar setengah, sehingga tendanganku semakin kuat. "Jagi di mana?"
"Oppa ..., kenapa malah mencari kucing bar-bar itu dulu, sih ...!" Ada nada merajuk dalam isakan Soo Hyeon. Ya, dia sedang mencucurkan satu bulir air mata. Hanya saja, aku tidak terlalu percaya dia menangis. Stok obat tetes mata untuk matanya yang kering akibat memakai lensa kontak terlalu banyak. Salahnya yang suka memakai taktik meneteskan air mata di depan Kakek Na jika ingin sesuatu. Jadi, maaf kalau kali ini aku kurang berhasil diyakinkan.
"Berapa kali kubilang supaya lihat-lihat dulu kalau duduk!"
Soo Hyeon merengut dan melempar tatapan sengit. Matanya semakin berkaca-kaca. Sepertinya ia tidak mau menerima nasihatku yang agak sedikit keras. Tangisannya pecah dan ia meneriakiku, "Oppa jahat! Ja-Jagi menggigit bokongku, tapi kau tidak peduli padaku ...!" ucapnya di antara raungan mengiris empedu. Ia kembali meringkuk, menggunakan bantal sofa sebagai penyangga perut dan mengelus-elus bagian belakangnya.
Sekarang apa? Apa yang harus kulakukan? Tidak mungkin aku mengelus-elus bagian itu dan ditiup-tiup pelan sambil dijampi-jampi 'sakit, sakit segeralah pergi' berulang-ulang seperti yang biasa eomma lakukan padaku sewaktu kecil dulu, 'kan?
Jerit dan tangisan Soo Hyeon membuatku khawatir. Gosip adanya arwah gentayangan yang suara tangisnya terdengar setiap subuh akan semakin tertanam di kepala para tetangga kami. Nyonya Kang, tetangga Kakek Na selama puluhan tahun sering mengatakan bila rumah yang kami tempati sekarang auranya tidak bagus. Aku juga heran dengan Kakek Na yang justru membeli rumah ini dan direnovasi besar-besaran. Menurut gosip, kediaman kami ini pernah ditinggali oleh wanita korban KDRT dan tewas di tangan suaminya sendiri.
"Kau pikir sakitnya akan hilang dengan menangis? Cepat obati sana!" perintahku sambil menyentak dagu. Setidaknya Soo Hyeon bisa meminta pelayan wanita kami untuk mengobati.
Seperti biasa, Soo Hyeon merajuk dan melengos pergi sambil mengentak-ngentak lantai. Biar saja, toh yang sakit kakinya. Tidak lama Soo Jin muncul dengan sendok sup di tangan, wajahnya sumrigah. "Dengan begini aman, bukti sudah dihilangkan. Ayo, kita tidur, Hyung!"
Bulu romaku meremang melihat sendok yang berlepotan tanah. Segera kucengkeram kedua lengan Jin. Gagal sudah menahan suara ini supaya tidak bergetar. "A-apa yang kau kubur, Jin?"
"Korban yang terinjak Hyeon."
"Jagi-ya~!" Sumpah, aku tidak ingin menjerit, tapi sulit. Aku menolak percaya Soo Jin telah mengubur Jagi.
Beberapa saat akal sehatku menggelinding jatuh, sebab bisa-bisanya aku mencari Jagi di sela-sela bangku dan segala kolong di lantai dasar rumah sambil memanggil-manggil namanya.
"Hyung—" Jin masih mengekoriku.
Aku menjeling marah dan menaikkan suara. "Bantu aku mencarinya, Jin!"
"Tapi ...,"
"Tidak! Aku tidak mau dengar kalau kau mengubur Jagi dengan sendok sup!"
"Aku?" Jin menunjuk hidungnya dengan sendok sup. "Aku tidak mengubur Jagi."
"Lalu, buat apa kau mencari sekop?"
"Oh, itu." Soo Jin memberi kode padaku supaya mendekat dan menunjukkan hasil rekaman kamera ponselnya.
Rekaman sepuluh menit yang kami tonton, menunjukkan aktivitas sleep walking Soo Hyeon. Adikku tidak sengaja menduduki ekor Jagi. Karena kaget, bola bulu kesayanganku menggigitnya. Mulut kecil Jagi tidak akan meninggalkan luka serius, jujur aku ragu jika giginya berhasil menembus piyama berlapis-lapis yang dipakai si tukang tidur berjalan itu.
Kalau dilihat arahnya, kemungkinan Jagi berlari masuk ke kandangnya sendiri. Lalu, soal penghilangan korban kejahatan Soo Hyeon ....
RIP, Tuan dan Nyonya Kecoa.
Begitulah. Reaksi kaget beruntun yang dimulai dari Jagi, berakhir dengan remuknya sepasang kecoa di bawah tumit Soo Hyeon.
Besok aku akan membawa Jagi ke dokter hewan untuk memeriksa kejiwaannya. Kucingku pasti terguncang dengan kejadian ini.
🍁🍁🍁
Kaca mata tidur Soo Hwan, hadiah ultah dari Soo Hyeon
Hyung: Panggilan (dari cowok) untuk kakak laki-laki.
Noona: Panggilan (dari cowok) untuk kakak perempuan. Di sini Soo Hyeon cuma beda 30 menit doank, sih. Jadi, sebenarnya mereka seumuran.
Oppa: Panggilan (dari cewek) untuk kakak laki-laki/pacar.
Eomma: Ibu/Mama.
Jagi-ya: Nama kucingnya Soo Hwan itu Jagi saja. Tapi, panggilan kesayangannya ya Jagiya (bisa berarti lain seperti panggilan sayang ke pasangan alias 'Sayang' gitulah).
Akhiran '-ah' itu kalau nama seseorang berakhir dengan konsonan, sementara akhiran '-ya' untuk yang berakhir dengan vokal.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top