#7 Sadar

"Ahaha sumpah, gue baru ngeliat cewek model begitu. Lo pada liat gak tadi muka cengo dia, gemes banget gue rasanya pengen nyubit pipinya.  Yah meski gara-gara dia udah ngerusak suasana yang lagi seru, kita jadi batal liat adegan action gratis."

Gatra memutar bola matanya jengah mendengar ocehan Joe yang gak berhenti-berhenti selepas pergi dari kantin sampai mereka duduk di kelas. Memang benar sih gara-gara kedatangan Rin, gerombolan kakak kelas yang tadi menghampiri mereka sudah hilang entah kemana. Seperti jelangkung, datang tak dijemput pulang tak diantar. Masa bodo lah, justru Gatra bersyukur tidak harus terseret masalah lagi kerena dua temannya. Baru hari pertama masuk aja mereka udah sial dari pagi. Gatra jadi ingat alasan kedua temannya itu diskors, niat baik yang berujung kesialan. Waktu itu Joe dan Kei yang kebetulan lewat taman belakang sekolah, mendengar suara isakan perempuan. Awalnya mereka mengira itu suara tante kunti penunggu pohon mangga, tapi yang selanjutnya didengar justru bentakan dan tawa laki-laki. Niat awal hanya mengintip dari balik semak justru malah berakhir dengan baku hantam. Joe dan Kei marah melihat anak perempuan yang diduga adik kelas menangis tersedu-sedu, ia terkurung tiga orang cowok yang sesekali menoel-noel pipi, lengan juga beberapa bagian tubuhnya. Cowok-cowok itu dihajar hingga babak belur dan berakhir di UGD, sedangkan Joe dan Kei diskors seminggu. Gatra saat itu sedang kebagian piket lab biologi sehingga tidak ikut diskors bersama kedua sahabatnya. Dan hari itu untuk pertama kalinya seorang Gatra bersyukur dia harus terjebak dengan ritual bersih-bersih yang biasanya malas ia lakukan. Meski ada rasa kesal juga setelah tahu alasan Joe dan Kei. Tindakan yang dilakukan cowok-cowok tadi sudah masuk pelecehan dan hanya pecundanglah yang menyakiti wanita seperti itu. Dan Gatra benci seorang pecundang. Jika dia saat itu ada di TKP, mungkin bukan hanya masuk UGD tapi langsung ke liang lahat.

"Woy! ah elah, gue ngomong panjang lebar tinggi dari tadi gak didenger. Yang satu bengong, satunya lagi senyum-senyum sendiri kayak orang gila. Jangan-jangan kesambet lo ya!" keluh Joe yang langsung dapat jitakan dari Gatra. Joe mengaduh, matanya memberi sinyal pada Gatra dan melirik Kei yang masih asik dengan dunianya sendiri. Gatra dan Joe saling pandang keheranan. "Gue rasa Kei beneran kesambet Gat." Gatra mengangguk, sependapat dengan Joe. Sampai akhirnya Kei masih dengan cengirannya menoleh ke arah mereka tiba-tiba, membuat keduanya terlonjak dan jatuh terjengkang dari kursi.

"AAAAAAA..."

°°°°°

"Tadi itu apa?"

"Harusnya itu pertanyaanku Rin. Bisa-bisanya teriak di kantin yang lagi tegang gitu, manggil namaku lagi! malu tau," Rin menaikkan sebelah alisnya bingung, Dito sedari tadi bahkan tidak berhenti tertawa seolah kejadian di kantin tadi lucu sekali. Semoga saja ada lalat masuk ke mulutnya dan dia tersedak, biar tahu rasa. "Segitu gak pekanya sama keadaan sekitar, ampun deh Rin kebiasaan kayak gitu harus dihilangin atau kamu sendiri yang nanti kesusahan!"

Rin manggut-manggut saja mendengar petuah Chacha, sahabatnya itu kalau sudah menggembungkan pipi dan mukanya merah lebih baik didiamkan saja sampai tenang atau masalah akan panjang. Meski harus diakui Rin, tingkah Chacha itu justru menggemaskan. Rasanya ia ingin mencubit saja pipi merah Chacha.

Dito yang sedari tadi tertawa, akhirnya berhasil diam dan menjelaskan semua pada Rin walau ujung-ujungnya tertawa lagi. "Tadi, tiba-tiba anak kelas 3 nyamperin Kei soal temennya yang digebukin. Terus lo dateng dengan gak tau dirinya mencak-mencak ke Chacha, rusak deh suasana. Haha"

"Hah? Kei?!"

"Iya. Kenapa? kamu kenal kak Kei, heh?" ujar Chacha, matanya menyelidik melihat Rin terkejut.

"Eh? enggak kok gak kenal."

'Ya mudah-mudahan aja gak kenal, nama Kei kan banyak bisa dipakai siapa aja. Semoga aja bukan Kei yang itu.' batinnya.

Pak Gilang memasuki kelas, pembelajaran pun dimulai. Untuk guru yang satu ini Rin sudah hafal namanya, karena pelajaran yang diajarkan olehnya salah satu favorit Rin, seni rupa. Ya, gadis itu suka sekali menggambar dan hasilnya pun bisa dikatakan sangat memuaskan mata. Baru beberapa menit, gurunya itu langsung memberikan tugas gambar objektif. Semua murid diperbolehkan keluar kelas mencari objek disekitar. Seisi kelas tampak sibuk, menggoreskan pensil ke sketchbook di lokasi yang mereka inginkan. Rin lebih memilih duduk di bangku taman sedangkan Chacha, entahlah gadis itu dimana. Dia memutuskan berpencar dengan Rin dengan alasan, 'malu ah gambarku jelek' begitu katanya.

Rin fokus sekali menggambar atau bisa juga dikatakan ia seperti melamun, tatapannya terlihat kosong menerawang menatap kertas namun tangannya bergerak dengan lihai menggoreskan pensilnya disana. Sampai tidak sadar bel pergantian jam sudah berbunyi jika Marsya teman sekelasnya tak memberitahu.

"Yaampun, apa-apaan yang ku gambar ini? Kenapa jadi gambar ini sih?!"

"Rinn.. ada apa?" Rin yang menyadari Marsya masih berada didekatnya mendadak salah tingkah. Ia menggeleng dengan cengiran aneh sebagai jawaban. "Yaudah aku duluan ya Rin."

"Eh? iya duluan aja Sya, aku beresin alat dulu."

Setelah Marsya sudah menghilang dibalik tembok, Rin menghela napas lega. Entahlah kenapa, rasanya ia tak ingin ada seorang pun yang melihat gambarnya. Rin panik, mau menggambar ulang tapi tak ada waktu. Tapi kalau gak dikumpulin nilainya jadi taruhan, Rin sebisa mungkin mempertahankan nilainya tidak ada yang jelek guna menghindari pencabutan beasiswa. Rin masih berdebat dengan dirinya, ia mondar mandir mengacak rambutnya frustasi. Tanpa dia sadari, ada yang memperhatikan tingkahnya dari jendela di lantai dua sambil menahan tawa.

'cewek aneh. Pfft'

°°°°°

Waktu terus berjalan hingga akhirnya tiba waktu pulang. Tapi tidak untuk Rin, hari ini ia latihan volly dengan anggota lain. Sekolahnya mewajibkan setiap siswa untuk mengikuti ekstrakulikuler, dan pilihan Rin jatuh pada volly. Dan disinilah dia, lapangan volly indor sekolah, mengenakan baju olahraganya dengan rambut dikuncir kuda.

"Rinn.."

"Eh Dito, baru datang?"

"Iya nih, tadi dicegat Chacha ngambek minta cariin taksi. Untung belum mulai, rusuh emang tuh anak."

Rin terkekeh membayangkan Chacha ngambek dengan pipi menggelembung menarik-narik Dito yang menggerutu. Ada sebersat perasaan iri yang selalu dirasakannya melihat keakraban kedua temannya itu. "Enak ya punya saudara, jadi pengen."

"Uuu.. cup cup cup jangan sedih gitu dong, sini abang peluk." goda Dito sambil merentangkan tangannya. Lelaki itu tahu Rin seorang diri di Jakarta, dia juga anak tunggal. Menggoda Rin merupakan salah satu cara Dito menjauhkan air mata dan kesedihan gadis itu. Biar deh badan dia penuh tato bekas cubitan Rin, daripada melihatnya sedih. Dito tidak rela. "Gue serius Rin, udah siap nih. Lo gak mau masuk kepelukan gue? awas lo ntar nyesel."

Wajah Rin memerah, tangan terlipat di depan dada dengan mata bulatnya yang semakin membulat, bibirnya manyun macam bebek. Lucu sekali. "Iiiih Ditoo. Apa banget sih."

"Dih, ekspresi lu jelek tau hahaha. Yaudah kalo gak mau ntar nyesel gak nanggung ya. yok latihan, udah mau dimulai tuh."

Latihan dimulai dengan warming up, meregangkan otot tubuh yang dilanjutkan dengan lari keliling lapangan dua putaran. Sesi latihan pertama, anggota baru hanya perkenalan dan memperhatikan senior latihan serta bertugas memungut bola. Sedangkan sesi kedua mereka baru bisa berlatih. Para senior memang baru aktif latihan pekan ini, jadi mereka baru bisa saling berkenalan. Volly putra dan putri memiliki struktur organisasi terpisah, meski dengan coach yang sama. Ketua volly putri adalah Tania dari kelas XI IPS 2, sosok yang tegas, disiplin dan agak judes kalau bicara tapi murah senyum.

"Maaf coach saya telat, ada rapat OSIS dadakan." suara berat cowok menginterupsi jalannya latihan, semua mata beralih pada cowok itu penasaran. Terutama cewek-cewek anggota baru yang selanjutnya malah bersorak kegirangan. Kecuali Rin yang hanya menengok dan kembali asik dengan bolanya, berlatih passing dengan Dito.

"Ampun deh ketua malah telat! Kamu tau kan Gat konsekuensinya?" tegur coach.

"Lari sepuluh kali keliling lapangan coach." ucap Gatra dan mulai berlari.

"Kyaa.. jadi bener kak Gatra masuk tim volly, beruntungnya gue! jadi dia ketua volly cowok. Gantengnyaaa.." bisik-bisik siswi anggota baru ketika Gatra melintas di dekat mereka, yang langsung disambut dengan omelan Tania. Sedangkan Gatra berusaha menahan tawanya melihat kejadian itu, ketua tim putri memang sadis gak pandang bulu kalau sudah ngomel. Gatra aja gak berani ngebantah deh kalau sama Tania. Masih terkekeh, sudut mata Gatra menangkap sosok Rin. Gadis yang merusak suasana di kantin tadi siang, kali ini juga nampak tak terusik dengan kehadirannya juga keadaan sekitar dan sibuk berlatih. Tanpa sadar sudut bibir Gatra tertarik berlawanan arah mebentuk senyuman. Kini ia tahu alasan Kei tersenyum sepanjang hari kayak orang kesambet.

°°°°°

Pukul 17.00 latihan selesai, langit mulai mendung dan angin dingin mulai berhembus. Tampak akan segera turun hujan. Sekolah pun mulai sepi, tinggal beberapa anak yang mengikuti ekskul saja yang tersisa. Anggota volly yang lain pun sudah pulang, begitu juga Dito. Cowok itu ada janji makan malam keluarga dengan rekan bisnis ayahnya. Dan tersisalah Rin sendiri di ruang ganti, mengganti baju olahraganya yang basah kena keringat. Rin pulang naik kendaraan umum, tak sopan rasanya jika ia tetap mengenakan baju basah dan bau keringat.  Bayangkan saja kalian sedang duduk berdesakan di bis dan ada bau asem keringat orang. Uurgh.. pasti jijik bukan?

Selesai dengan aktivitasnya, Rin bergegas pulang. Cuaca sore itu sungguh tidak nampak bersahabat, awan mendung sudah berubah gelap seperti malam, angin bertambah kencang dan hujan pun turun dengan derasnya. Whoossh.. angin kencang menerpa tubuh Rin, membuat rambut gadis itu berkibar menutupi wajahnya.

"Huuaah.." teriak seseorang, suaranya berat terdengar dari arah samping. Rin menengok sambil membenarkan rambutnya yang berantakan.

"Gila! gue kira penampakan, jangan bikin kaget orang dong." ucap orang itu memegangi dadanya berusaha mengatur napas. "Maaf.." kata Rin tulus. Gadis itu menatap lurus ke wajah orang tadi, seketika ia tercengang. Matanya membulat, suaranya tercekat seperti ada yang menyangkut di dalam tenggorokannya. Sedikit berlebihan memang, tapi itulah yang dirasakan Rin. Sadar gadis disampingnya membeku, cowok itu pun menepuk jidat Rin hingga terdorong mundur selangkah.

"Au." rintihnya sambil mengusap jidat.

"Ngeliatnya biasa aja, nanti suka loh! ya gue akuin tampang ganteng gue emang suka bikin kaum hawa terpikat." ucap cowok itu membuat Rin memutar bola matanya. Ternyata ada yang lebih narsis dari Dito. Ah Rin jadi teringat dokter Alan yang narsis pake baget juga.

DUAARR!! suara petir menggelegar kencang seketika. Rin terlonjak memeluk lengan cowok disampingnya erat.

"Kan modus. Baru juga gue bilang." lanjut cowok itu, tapi Rin tidak peduli ia tetap memeluk tangannya seakan itu adalah penyanggah satu-satunya, limited edition yang jika dilepaskan maka ia akan jatuh dan tamatlah riwayatnya.

DUAARR!! petir kembali menggelegar. Tubuh Rin bergetar, tanganya mulai dingin, matanya terpejam menahan rasa takutnya. Rin suka hujan, namun ia tidak suka hujan badai seperti saat ini. Mengingatkan Rin akan kesendirian dan kesedihan setelah orang tuanya pergi. Menyadari gadis disampingnya begitu ketakutan, cowok itu pun mendekapnya kedalam pelukan. Berusaha membuatnya tenang. Lama mereka dalam keadaan begitu, tak ada yang saling bicara, hanya sesekali Rin meringis saat ada petir.

"Lo gak perlu takut, ada gue disini." ucap cowok itu membelai lembut rambut Rin yang berada dalam pelukannya. Mendengar kata-kata cowok tadi membuat tubuh Rin berhenti bergetar, entah mengapa dia merasa aman dan nyaman dalam dekapan cowok dihadapannya ini. Menyadari ia tidak sendirian membuat gadis itu tenang dan melepaskan pelukannya.

"Ma-maaf," ucap Rin gugup berusaha mengatur napasnya.

"Gak masalah, lo udah nolong gue tempo hari. Anggap aja kita impas... Airin."

Rin mendongak begitu namanya disebut, ya dugaan dia benar. Wajah itu, wajah penuh luka yang belum kering. Wajah orang yang diharapkan Rin tidak pernah bertemu lagi, malah berada tepat dihadapannya. Dan anehnya Rin merasa lega, setidaknya ia tidak dipeluk orang asing yang tak dikenalnya.

"Jadi kamu sekolah disini, ternyata aku gak salah liat. Orang di kantin tadi itu bener kamu, yang sialnya kakak kelas aku? terus aku harus panggil kamu Kak dong. Eh tunggu, kamu tau namaku darimana? kamu nguntit aku ya?!"

"Hahaha.. ge'er banget lo, ogah kali gue nguntit lo berasa kayak penjahat. Panggil gue Kei aja, gak usah formal-formal buat orang yang udah mukul jidat gue pake stempel." ucap Kei sambil menjentulkan kepala Rin dengan telunjuknya. Rin cemberut merasa tersindir. "Ish..."

Hujan sudah sedikit reda dan tidak terdengar suara petir yang menggelegar lagi. Sepertinya badai telah berlalu. Rin merogoh tasnya, mencari benda yang tidak pernah absen dari tasnya tersebut. Payung merah kesayangannya, benda yang paling ia butuhkan saat ini. Kesayangan karena hanya itulah payung yang ia miliki dan sekarang.. tidak ada! Rin panik mengecek isi tasnya sekali lagi, bahkan sampai ia keluarkan isinya ke lantai. Tapi tetap tidak ia temukan. Kebimbangan menghantuinya, menunggu hujan yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti atau berlari menerobosnya dengan resiko terkena flu. Dan ia pilih opsi kedua, asalkan sampai di kosan langsung mandi dan minum obat persentase terserang flu sangat kecil. Daripada ia harus menunggu di sekolah yang sepi. Setelah merapikan isi tasnya, Rin mengambil ancang-ancang. 

satu..

dua..

ti-ga.. HAP! tangannya ditarik hingga Rin hampir terjatuh bila tidak tahan. Kei menghentikan tekad bulatnya menerjang hujan. Rin bahkan hampir lupa dengan keberadaan cowok itu karena sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Lo bodoh atau nekat sih? hujan masih deras gitu mau diterobos. Sakit baru tau rasa lo!" Kei begitu kesal, setelah ia merelakan pelukannya untuk Rin, gadis itu mau pergi seenaknya tanpa pamit. Dan sekarang gadis itu malah merutukinya, sungguh menyebalkan. Kei menghela napas, berharap rasa kesalnya berkurang dan mulai merogoh tasnya mengeluarkan payung lalu membukanya. Rin tertegun melihat payung itu.

"Itu kan pa―"

"Iya ini payung lo, kemarin ketinggalan di klinik," jelas Kei singkat, padat dan jelas hingga Rin hanya membulatkan mulutnya membentuk O. Kei mulai melangkah keluar dari loby sekolah dengan 'payungnya'. Sadar Rin tidak mengekori, Kei menoleh ke belakang. "Heh. Lo gak mau pulang?"

Mendengar ajakan Kei, Rin pun segera berlari menghampirinya dan mereka menerobos hujan di bawah payung yang sama. Kei memanggil taksi yang lewat di halte bus dekat sekolahnya, ia paling malas berdesak-desakan di bis. Begitu mendapatkan aksi, ia segera masuk. Lagi, ia mendapati Rin hanya diam. "Yaelah ni anak malah diem aja, ayo cepatan masuk!" perintahnya sambil menarik tangan Rin kasar hingga ia tersentak memasuki taksi, yang tak lama kemudian melaju meninggalkan sekolah.

°°°°°
"Hallo ini aku Chacha, terima kasih sudah mau membaca End of Rain dan.. jangan lupa vote dan commentnya ya. Siapa tau ada yang mau tanya-tanya soal aku mungkin. haha" 😉

"Kalo gue sih ogah nanya-nanya cewek rempong macam lu"

"Iiiihh.. Diiiittttoooo!" 😡

"Gue tau kok gue ganteng, baik hati dan tidak sombong, gak usah teriak-teriak gitu dong lu boleh kok selfie bareng gue. haha
See you next chapter ya" 😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top