#6 Kehebohan
Pagi yang indah dan damai, Rin tidak terlambat hari ini. Justru sebaliknya ia datang pagi-pagi sekali. Dan kini, gadis itu tengah duduk manis di kursinya dan menghadap keluar jendela. Menghirup udara pagi Jakarta sebelum dipenuhi polusi kendaraan sambil melamun. Pandangannya fokus ke gerbang sekolah, dimana mobil-mobil mulai berdatangan. Nampak disana murid-murid lain turun dari kendaraan mereka, diantar supir dan orang tua masing-masing. Wajah Rin mendadak mendung melihat hal tersebut. Bukan karena mobil mewah yang mereka gunakan, tapi orang tua merekalah yang membuat Rin sendu. Gadis itu merindukan orang tuanya yang tidak akan bisa ia temui lagi. Kedua orang tua Rin telah meninggal sejak ia duduk di kelas satu SMP akibat kecelakaan, mereka ditabrak mobil sepulang dari membajak sawah. Pengendara mobil itu bertanggung jawab dengan memberi Rin uang tunai dalam jumlah yang cukup bayak untuk biaya hidupnya, juga tak lupa meminta maaf. Tapi kata maaf dan uang tak akan bisa menghidupkan kedua orang tuanya lagi bukan? teringat kejadian pilu membuat Rin menitikan air mata, rasa sesak dan sakit di dadanya kembali muncul. Rasa benci dan balas dendam sempat terlintas dibenaknya, tapi apalah guna, nasi telah menjadi bubur yang perlu dilakukannya hanya mengikhlaskan meski itu sulit. Penabrak itu pun tidak pernah memunculkan wajahnya lagi dihadapan Rin, hanya selembar kartu nama yang ditinggalkannya. Entah apa yang akan Rin perbuat jika ia bertemu pembunuh orang tuanya lagi. Ia hanya berharap Tuhan tidak akan mempertemukan mereka dalam skenario apapun yang dibuat oleh-Nya.
Langkah kaki mulai terdengar di sepanjang koridor, dengan cepat Rin menghapus air matanya. Ketauan menangis dipagi hari, apalagi di sekolah itu terdengar cukup memalukan baginya.
BRAKK! suara pintu terbanting membuat Rin terlonjak kaget. Di depan pintu kelasnya berdiri seorang cowok dengan wajah cemas dan napasnya terengah-engah berjalan menghampiri Rin.
"Lo gak apa-apa Rin?" tanyanya
"Di-Dito?! kamu ngapain ke sini?" Ya, cowok itu Dito sepupu Chacha sekaligus sahabatnya.
"Harusnya itu pertanyaan gue buat lo, ngapain lo nangis disini pagi-pagi? lo sakit?" ujarnya khawatir, tangan kanannya terulur menyentuh kening Rin, sekedar untuk memeriksa suhu tubuh gadis itu.
kok Dito tau kalo aku nangis? apa terlalu berisik ya tadi suaranya?
"A-aku gak nangis, dan aku sehat-sehat aja Dit. Jadi lepasin tangan kamu, aku gak demam." ucap Rin
'Gak mungkin gak apa-apa, cewek kalo bilang begitu pasti ada apa-apanya' pikir Dito namun ia tak mau memaksa Rin untuk berbicara jika gadis itu tak ingin. Dito pun melepaskan tangannya dari kening Rin, tatapannya tajam menyelidik membuat gadis dihadapannya itu gugup dan memalingkan wajahnya. Jelas sekali Rin itu berbohong padanya, mata sembab dan hidung merahnya sudah cukup menjadi bukti. Dito sangat peduli dengan Rin, sejak awal bertemu dengannya ia merasa memiliki kewajiban melindungi gadis itu, entah kenapa tapi hatinya berkata demikian.
"Bagus deh kalo lo beneran baik-baik aja, gue ngeliat lo tadi dari bawah lagi nangis. Jadi gue buru-buru kesini deh." jelasnya
"Aku cuma kelilipan. Ya, kelilipan Dit." ucap Rin asal
"Diiiitttoooo! kok ninggalin sih, kamu pikir aku pembantu apa bawa-bawa tas kamu!" kesal Chacha yang baru saja tiba di kelas sambil melempar tas Dito ke lantai.
"Gue gak pernah mikir gitu kok. Lo sendiri yang nyebut diri lo pembantu gue kan Cha," ucapnya dengan wajah datar―sedatar triplek dan itu menyebalkan. "Gue balik ke kelas ya Rin, elap tuh ingus biar gak netes." lanjutnya sambil mencubit hidung Rin dan mengacak rambutnya lalu pergi menuju pintu. "Bye pembantu gue, belajar yang bener ya!" ledek Dito pada Chacha yang merajuk, pipinya menggembung membuat Dito gemas untuk mencubit pipi tersebut sebelum akhirnya hilang di balik pintu.
"Ampun deh punya sepupu nyebelin gitu!" rutuk Chacha yang sudah duduk di bangkunya disamping Rin, tanpa bertanya sebab mata Rin yang sembab walau ia tau betul pasti Rin habis menangis.
°°°°°
Waktu sudah menunjukkan pukul 06.20 bel masuk hampir berbunyi. Seharusnya gerbang sekolah sudah mulai sepi, tapi sepertinya hari ini ada pengecualian. Banyak siswa-siswi bergerombol di sana, membentuk barisan di sepanjang jalan menuju loby sekolah. Para siswi berteriak histeris, meneriakkan kekaguman macam ada idol lewat saja.
"HOT NEWS! TRIO KEMBALI.. LIAT KE ARAH GERBANG!"
"KYAAA.. BENERAN GANTENG!"
"GILA.. MACAM BOYBAND!"
Hampir satu sekolah gempar saat melihat ke arah gerbang. Trio, yang menurut gosip cowok-cowok cerdas nan bringas yang baru saja kembali dari dinas rumahnya alias skorsing. Kehebohan juga tampak di kelas Rin, teman-temannya saling berebut posisi untuk melihat ke jendela, membuat Rin juga penasaran dengan sosok tersebut. Tiga orang cowok tampak berjalan di tengah kerumunan. Tubuh mereka tinggi tegap, satu diantaranya berambut coklat keemasan dengan wajah oriental yang membuatnya terlihat tampan tapi cendrung imut, berjalan paling depan sambil melambaikan tangan ke arah gadis-gadis. Di belakangnya, cowok dengan tampang tak kalah tampan tengah tersenyum manis, dengan headphone berukuran sedang tersampir di lehernya. Dan Salah satunya yang berjalan paling belakang memakai topi dan sunglass membuat wajahnya sulit dikenali, apalagi dari lantai tiga. Dibalut blazer hitam sekolah yang sangat pas di tubuh mereka, menambah karisma tiga cowok tersebut.
"Waah.. gantengnya, aku gak nyangka mereka seganteng itu!"
"Cha, emangnya mereka siapa sih, artis?" Chacha memutar bola matanya mendengar pertanyaan Rin yang menurutnya gak bermutu. Wajar saja sebenarnya pertanyaan Rin itu, mengingat betapa hebohnya antusias murid satu sekolah pada tiga cowok yang saat ini menjadi sorotan. Padahal Chacha sudah pernah menceritakan hal yang kemungkinan terjadi saat ini beberapa hari lalu. Tapi memang dasar Rin yang terlalu cuek dan masa bodoh dengan gosip terkadang membuat Chacha kesal juga.
"Gini nih kalo punya teman cueknya kebagetan. Mereka itu Trio, kakak kelas yang aku ceritain waktu itu di kantin."
"Oh.. kirain artis mau syuting. Lebay banget sih pake disambut begitu, bukannya kamu bilang waktu itu mereka berandalan ya?"
"Ya. Dan aku juga bilang mereka cowok posisi teratas di sekolah ini, ganteng pula. Jadi wajar aja dong disambut. "
Rin mengernyitkan dahinya. Punya wajah tampan ternyata mampu melunturkan persepsi buruk yang melekat pada diri seseorang. Masih ingat jelas Rin kata-kata Chacha yang bilang Trio otaknya gak singkron, berandalan, tukang bolos dan gak disiplin, tapi sekarang dia malah terpesona hanya karena wajah tampan mereka. Tapi yasudahlah, bagi Rin hal itu tidak penting. Yang terpenting baginya saat ini adalah belajar di Galaxy dan mencari uang untuk hidupnya di Jakarta, kota yang katanya lebih kejam dari ibu tiri ini hingga lulus SMA.
°°°°°
Sementara itu di gerbang depan... tiga cowok yang disebut Trio masih dikerumuni siswa-siswi yang kelewat antusias melihat mereka.
"Gak nyangka orang abis diskors kayak kalian malah disambut." ucap salah satu dari mereka yang berada di tengah dengan senyum manis sambil melambaikan tangannya ke arah gadis-gadis, yang tentu saja makin teriak histeris.
"Ya jelaslah, mereka tuh pada terpesona sama kegatengan gue. Skorsing mah gak ngaruh." sahut cowok yang paling depan, tidak hanya tersenyum dan melambaikan tangan ia bahkan sesekali mencium pergelangan tangan gadis yang ia jumpai disana macam pangeran negeri dongeng. Dan itu sukses menambah kehebohan, tak hanya para gadis kini para pria yang ada disana pun bersorak kesal.
"Mending lo berdua cepetan jalannya gua pusing denger teriakan gak jelas kayak gini." keluh satunya dengan wajah datar dibalik topi dan sunglass yang ia kenakan, sorot matanya menatap ke atas. Menangkap sosok yang juga sedang menatapnya darisana dengan ekspresi seolah mengatakan 'gak-penting-deh-lo' pada mereka lalu pergi menghilang di balik kerumunan. 'ternyata Jakarta itu sempit' batinnya.
"Oi, tadi suruh buru-buru. Sekarang lo malah diem sambil senyum-senyum gak jelas!"
"Gue baru aja nemu sesuatu yang menarik."
"Eeh?"
"HEI KALIAN! BEL SUDAH BUNYI, KENAPA KALIAN SEMUA MASIH DI LOBY? BUBAR!" bentak Pak Zam guru olahraga yang kebetulan sedang piket, guru yang terkenal disiplin dan tegas. Semua murid lari kocar-kacir mendengar suaranya, begitu Trio.
"Berhenti kalian bertiga! cepat kemari." Trio yang baru beranjak beberapa langkah terpaksa berbalik. "Lagi-lagi kalian buat keributan. Kei Nugraha Putra, Joenathan Liem, kalian mau diskors lagi hah? dan kamu Gatra Adinata, sebagai anggota OSIS harusnya kasih contoh yang baik. Kei! lepas itu kaca mata hitam kamu, memangnya kamu pikir sekolah ini pantai apa?!"
"Gua yakin, abis ini Pak Zam bakal ceramah panjang lebar kali tinggi. Apalagi abis liat muka lo yang bonyok itu Kei." bisik Joe pada dua sahabatnya.
Dan benar saja, mulai dari pentingnya disiplin sampai bahayanya pergaulan zaman sekarang dibahas oleh Pak Zam selama tiga puluh menit lebih. Ditambah begitu masuk kekas 2 IPA 2 yang merupakan kelas mereka bertiga, Bu Margareth guru matematika yang sifat sebelas dua belas dengan Pak Zam sudah bertengger manis di kursinya. Dan disinilah mereka bertiga berada di hari pertama sekolah. Mencabuti rumput liar di kebun belakang sekolah. Miris.
°°°°°
"Riinn.. ke kantin yuk, laper nih!" rengek Chacha
"Aku belum selesai nyatetnya Cha, lagian aku bawa bekal. Kamu sama Dito aja gih." Tanpa menjawab, Chacha pun segera pergi meninggalkan Rin dengan wajah cemberut.
Suasana kelas X-2 hampir kosong, hanya ada Rin yang sibuk mencatat materi fisika sambil menyantap makan siangnya. Berbanding terbalik dengan keadaan kantin saat Chacha tiba disana. Hampir seluruh meja penuh, untungnya Dito yang datang lebih dulu berhasil mendapat tempat, meski berada dipojok dan letaknya agak jauh. Banyak murid kelas XII yang biasanya hanya akan muncul di istirahat kedua menampakkan dirinya. Di bagian tengah nampak gerombolan kakak kelas cewek mengerubungi tiga orang cowok. Siapa lagi kalau bukan Kei, Gatra dan Joe.
"Yaampun Kei, muka kamu kenapa?"
"Joe kamu imut banget deh"
"Gatra nanti jalan sama aku yuk!"
Yah begitulah sedikit ucapan mereka yang mampu di dengar Chacha dan Dito.
"Ish.. kok aku jadi risih sih ngeliat kelakuan kakak kelas itu! Jelas-jelas omongan mereka gak ditanggepin, tapi masiih aja―"
"Caper maksud lo?" ucap Dito memotong kalimat sepupunya. Yap Dito bener banget, memang sih Kei, Gatra da Joe itu ganteng tapi cewek juga harus punya batasan dong. Kalau kayak gitu kan terlihat.. murahan?
"Eh Cha, yang di tengah pakai topi itu Si peringkat pertama?" tanya Dito
"Maybe."
BRAKK.. suara meja di gebrak dengan keras disusul bentakan menghentikan aktifitas kantin dan membuat suasana seketika hening. "Woi.. jadi elo yang bikin temen gua bonyok beberapa waktu lalu? adek kelas aja belagu lo!"
Seluruh mata kini tertuju pada satu objek. Meja tengah. Gerombolan cowok kelas XII tampak kesal mengepung meja tersebut, dan cewek-cewek centil tadi pun sudah hilang entah kemana, mungkin lari ketakutan.
"Lo budek hah?!" bentaknya lagi tapi malah tidak ada jawaban dari lawan bicaranya sama sekali. "Heh! gua ngomong sama lo, bodoh!" umpatnya kini sambil menunjuk ke arah Kei.
"Ada perlu apa dengan saya?" ujar Kei tenang dengan tatapan yang tajam.
"Gila, suasana runyam kayak gitu dia masih tenang aja. Kereen." komentar Chacha dari mejanya setengah berbisik tak ingin mengganggu.
"Cowok emang harus gitu, tenang dalam setiap keadaan." sahut Dito.
"Iya memang saya yang udah buat teman kalian yang berengsek itu bonyok. Ada masalah?" Kei masih menjawabnya dengan tenang, Gatra dan Joe malah asik dengan makanan mereka seolah tidak terjadi apapun.
"Ya jelas ada lah. Lo mukul temen gua, berarti lo berurusan dengan gua!"
"Kalian membela cowok berengsek yang beraninya mukul cewek itu? wow!" kata-kata Kei barusan membuat semua orang mulai berbisik dan menatap gerombolan kelas XII itu benci terutama para gadis. Cowok memang lebih kuat dari cewek, oleh sebab itu ia diciptakan untuk melindunginya bukan sebaliknya menyakiti bahkan memukul. Situasi pun berubah. Yang harusnya memojokkan malah jadi terpojok. Hening kemudian tak ada balasan lagi. Sampai langkah seseorang berlari terdengar, memecah keheningan kantin. Melewati meja tengah dengan santai tanpa terprovokasi keadaan.
"Chachaa.. kamu dicariin guru matematika tuh, tugas kamu belum dikumpulin!" ucap Rin begitu sampai di meja yang ditempati Chacha dan Dito sambil berkacak pinggang kesal. Karena Chacha ia jadi terpaksa buang tenaga turun dari lantai tiga ke kantin.
"Hahahapffft..."
"Kenapa sih? emang ada yang lucu ya Dit?" Rin mengernyitkan dahinya bingung melihat Dito tergelak menahan tawa. Berbanding terbalik saat Rin menoleh kearah Chacha, temannya itu malah menangkupkan kedua tangannya menutupi wajah terlihat frustasi. Jari telunjuknya menunjuk ke arah belakang Rin, membuat Rin menoleh kebelakang. Belasan pasang mata menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa ia gambarkan. Membuatnya semakin kebingungan dan salah tingkah.
"Kenapa pada ngeliatin aku begitu sih?" bisik Rin yang hanya didengar Dito dan Chacha. Kedua temannya itu bukannya menjawab malah berdiri, Dito masih menahan tawa sementara Chacha memegang lengan Rin erat. "Uh-um ma-maaf silakan dilanjutkan." katanya terbata lalu menyeret Rin juga Dito kedua pergi dari kantin. Pandangan mata Rin sempat bertemu dengan cowok bertopi ditengah kerumunan, wajah yang familiar baginya itu tersenyum remeh kearahnya.
'Cowok itu. Kayak pernah liat.' batin Rin.
°°°°°
"Ehem.. gaje ya? udah masuk chapter 6 tapi konflik masih samar-samar. Tahap ini sengaja kubuat pengenalan dulu sih memang, semoga kalian suka ya bacanya"
"Iya suka kok, apalagi kalo gue sering muncul thor" Joe muncul tiba-tiba dengan pd-nya.
"Lupain aja dia, sok kegantengan! jangan lupa vomment End of Rain dan tunggu kelanjutannya ya. See next chapter." ujar Dito dan pergi begitu saja.
"Waah.. songong main ditutup aja, woiii gue emang udah ganteng dari lahir! heh bocahh." teriak Joe mengejar Dito.
"Hadeeh.. happy reading deh pokoknya ya. See you next chapter, author pamit dulu." 😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top