#2 Teman Baru?

"Ma-ma-mayat...!"

Rin membatu. Wajahnya pucat, kakinya lemas dan tubuhnya bergetar karna shock. Bagaimana tidak? dia baru saja menemukan mayat seseorang― mayat laki-laki yang nampak sebaya dengannya. Dari kepala laki-laki itu mengalir darah, wajahnya memar seperti habis berkelahi, pakaiannya pun sedikit robek dibagian lengan.

satu.. dua.. tiga menit Rin mematung di tempatnya, pikirannya melayang. Ia membayangkan bagaimana nasibnya besok, jika wajahnya terpampang di koran dan berita televisi dengan headline― Seorang siswi nekat membunuh temannya.

"Tidakk... lagian aku gak salah" pekiknya

Tersadar dari rasa kaget, Rin menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kasar. Berusaha mengendalikan dirinya dan berpikir rasional.

"Pertama.. cek nadinya," ucap Rin meyakinkan dirinya sendiri. Untung saja Rin pernah ikut palang merah remaja atau PMR ketika SMP, setidaknya ilmu itu sekarang berguna.

Berdetak!

wajah Rin berbinar, tanpa sadar ia menghembuskan napas lega yang beberapa detik lalu ia tahan.

"Berdetak, tapi sangat lemah. Wajahnya pun pucat, mungkin karena kehilangan bayak darah." Rin berhipotesis layaknya seorang dokter. Padahal cita-citanya ingin jadi animator handal, pergi ke Jepang membuat anime atau bergabung dengan Walt Disney.

Dengan sigap ia pun menekan luka di kepala laki-laki itu untuk menghentikan darahnya dan mengikat luka itu dengan dasi miliknya.

"Baiklah.. sekarang telpon ambulance, mungkin cowok ini punya handphone." Rin merogoh setiap kantong, mencoba mencari tapi hasilnya nihil. Sedangkan ia sendiri memang tidak punya hanphone.

Tanpa pikir panjang, Rin pun memapah laki-laki itu menuju klinik terdekat. Sendirian? Ya, sendirian karena hari itu sudah mulai malam dan hujan membuat setiap orang enggan keluar. Jangan tanya seberapa beratnya cowok itu, Rin bahkan terbungkuk-bungkuk memapahnya. Jika bukan karena rasa empatinya yang berlebihan, Rin lebih memilih mengabaikan cowok itu namun sayangnya ia tak bisa tega.

°°°°°°
Dokter klinik baru saja keluar dari ruang pengobatan dan menghampiri Rin. Untuk ukuran seorang dokter―ia tergolong masih muda dan tampan, tubuhnya tegap dan gagah dengan seragam kedokteran yang membuatnya tampak berkarisma. Dokter Alan Raditya namanya. Rin akan ingat nama itu, kapan lagi bisa kenal dokter ganteng dan kelihatannya baik.

"Kamu yang bertanggung jawab atas pasien tadi?" tanyanya saat menghampiri Rin dengan tatapan tajam.

"Eh? hmm.. bu-bukan dokter, bu-bukan saya yang membuat dia begitu!" jawab Rin gugup, jangan sampai wajahnya muncul di koran besok karena salah jawab. Dalam hati ia menggerutu, menarik kembali pujiannya pada dokter tadi.

"Iya saya tau itu bukan kamu, maksud saya apa kamu temannya atau keluarganya?" tanya dokter lagi menyelidik. Mata dokter Alan sebenarnya indah kecoklatan, tapi ditatap bagai tersangka seperti itu membuat Rin tak berani menatapnya balik.

"hmm.. i-iya sa-saya temannya dok." jawab Rin ragu, sebetulnya ia hanya kebetulan lewat dan sama sekali tidak mengenal cowok tadi. Terpaksa dia pun harus berbohong demi keselamatannya juga.

"Begitu, baiklah. Kondisi temanmu sudah stabil, meski kehilangan banyak darah tapi luka di kepalanya tidak serius, jadi dia baik-baik saja." Rin lagi-lagi menghembuskan napas lega mendegar penjelasan dokter. Syukurlah ucapnya dalam hati. "Oiya. Saya hanya penasaran saja sih, tapi apa kamu sendirian yang membawa temanmu itu kesini?" kini tatapan dokter Alan sudah tak semenakutkan tadi, hingga Rin berani menjawab sambil menatap lawan bicaranya itu, tak lupa dengan senyuman menghiasi wajahnya meski terlihat dipaksakan.

"Iya pak dokter, saya sendiri yang bawa dia." Dokter Alan membulatkan matanya tak percaya, ia mulai membayangkan  seorang gadis memapah laki-laki yang jelas-jelas dua kali lipat tubuhnya. Dibayangkan saja terlihat mustahil. "Saya belum setua itu untuk kamu panggil pak!" ucap dokter Alan sebelum meninggalkan Rin, sekilas Rin melihat sudut bibir dokter Alan sedikit terangkat. Seperti menyeringai?

"eh? dokter tadi menyindirku? senyumnya kayak meremehkan " batin Rin

Tak mau ambil pusing, Rin lebih baik ia mengecek 'teman baru' nya itu. Wajah pucatnya sudah kembali normal, selang transfusi darah menempel di lengan kanannya, kepalanya yang tadi Rin ikat dengan dasi sudah di perban, begitu pula wajah memarnya, pakaiannya pun sudah diganti dengan baju pasien. 'Teman baru' nya itu masih tak sadarkan diri selama tiga jam di tempat tidur sejak dibawa ke klinik, membuat rasa khawatir Rin muncul kembali. Rin memperhatikan wajahnya lekat, alisnya hitam tebal, bulu mata yang panjang, hidung mancung, dan bibir merah tipis yang sedikit sobek, satu kata pun terlintas di pikirannya "tampan".

"Sayang banget punya muka ganteng tapi dirusak, kalo aku mah udah daftar jadi artis kali."

Kreek..

Pintu terbuka, dokter tadi masuk membawa paperbag yang cukup besar dan memberikannya pada Rin.

"Hey gadis kecil, ini barang-barang milik temanmu." ucapnya yang kini saling berhadapan. Rin menerima paperbag itu dan mengucap terima kasih, tapi ia kesal. Enak saja dia dibilang anak kecil, padahal umurnya sudah hampir 16 tahun. "Namaku Airin, bukan gadis kecil." kata Rin membela diri, wajahnya memberengut  dan itu membuatnya tampak lucu sampai dokter Alan terkekeh melihatnya.

Eh? dokter itu bisa tertawa juga?

"Baiklah Airin, hari sudah malam. Lebih baik kau pulang, biarkan keluarganya yang menjaganya disini." kata dokter Alan yang baru berhasil mengontrol rasa geli melihat Rin tadi.

Keluarga ya? aduh Rin bahkan gak tahu siapa nama teman barunya itu, apalagi keluarganya. Memang benar apa kata orang, sekali berbohong maka akan ada kebohongan lainnya. "hmm.. tapi aku gak tau nomer telpon keluarganya dan orang tuanya sedang keluar kota dok." bohong Rin lagi. Dan parahnya dokter Alan percaya, ia bahkan menawarkan diri menjaga teman baru Rin meski jam jaganya diklinik sudah selesai dan menyuruh Rin pulang, membersihkan diri dan istirahat. Rin memang tampak kacau, Seragamnya yang putih berubah warna coklat kemerahan terkena darah, rambutnya pun berantakan dan lepek terkena hujan. Yaampun betapa malunya Rin yang baru sadar akan penampikannya.

"Terima kasih dokter, kalau begitu saya pamit dulu. Mohon bantuannya." Rin  sedikit membungkuk hormat dan beranjak pulang. Tapi panggilan dokter Alan menghentikannya, ia menengok ke dokter yang sedang nyengir manampilkan susunan gigi serinya yang tersusun rapi. "Jangan lupa administrasinya ya"

Rin tertawa dan mengangguk pergi. Hari sudah gelap, hujan pun telah berhenti kala itu. Lelah dan lapar, itulah yang Rin rasakan. Sesampainya di kosan, jam sudah menunjukkan pukul 21.00 segera ia mandi, mencuci seragamnya, makan dan kembali lagi ke klinik. Rencana awalnya memang seperti itu, tapi tubuhnya menolak bangkit dari tempat tidur kecil yang empuk dan nyaman, justru malah membawanya ke alam mimpi.

°°°°°
Di kamar klinik, dokter Alan sedang mengecek kondisi pasien, teman Rin tentu saja. Mengganti kantong darah dengan kantong infus. Melihat wajah Rin yang khawatir berlebihan seperti tadi membuatnya bernostalgia masa SMA. "Betapa beruntungnya kamu punya teman seperti gadis itu, aah.. aku jadi iri" keluhnya

"Arrggh.."

Suara erangan, membuyarkan lamunan dokter Alan. Pasiennya sudah sadar, matanya mengerjap-ngerjap, tangan kirinya yang bebas tanpa selang infus memegangi kepala yang nampak kesakitan. "Dimana ini?" katanya

"Klinik.. kamu tidak sadarkan diri hampir lima jam. Temanmu sudah pulang satu setengah jam yang lalu Budi." jelas dokter. Ya, Rin asal memilih nama untuk teman barunya itu saat mengurus administrasi. Daripada ribet, jadilah iya memilih nama Budi yang sering dipakai di buku sekolah dasar untuk belajar membaca.

"Budi? siapa itu?"

"Kamu. Nama kamu Budi kan? temanmu sendiri yang tulis di bagian administrasi tadi."

"Kei―Kei Nugraha Putra. Itu nama saya," kata Budi dengan nada tidak sukanya. "Tadi dokter bilang teman? siapa dia?" Matanya memicing menuntut penjelasan lebih.

"eh? Kei toh. Oke tenang Kei, tidak perlu menatap saya seperti itu. Jika kamu butuh penjelasan, tanyakan saja langsung pada Airin yang mengaku temanmu besok. Sekarang istirahatlah." Tak lama dokter Alan meninggalkan Budi, teman Rin yang mengaku bernama Kei  setelah melakukan pengecekan ulang.

"Airin? siapa dia?" ucap Kei penasaran.

°°°°°

Semoga kamu menikmati ceritanya ya..
😄

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top