7. Overestimated

Keesokan paginya, aku memutuskan berangkat ke sekolah sebelum Kak Ethan sarapan sehingga aku tidak perlu bertemu dengan pria yang sering kali mengantarku ke sekolah itu dan untuk memuluskan rencana, aku meminta Nouval menjemputku di rumah.

“Tumben pagi-pagi sudah siap,” ucap Nenek saat melihatku berjalan dengan seragam rapi dan menenteng tas sekolah.

Aku hanya tersenyum masam. “Hari ini ada ujian lari jarak jauh, Nek,” ucapku berbohong karena tidak ingin wanita yang cerewetnya minta ampun itu kembali menasehatiku lebih panjang. “Daria berangkat dulu ya, Nek.”

“Sarapan dulu!” Nenek bertitah.

“Nggak. Daria nanti telat!” Aku mengelak.

Nenek tersenyum sinis, “Sudah telat? Memang jam berapa sekarang?”

Sindiran Nenek yang sama sekali tidak bisa terbantahkan membuatku terpaksa menurutinya.

Semua itu kulakukan agar aku tidak terdepak dari kehidupan SMA di kota ini. Tentu, aku lebih memilih taat dan tunduk pada Nenek daripada diusir dan harus ke tempat kedua orang tuaku yang jauh dari peradapan modern.

Aku menghela napas panjang dan saat aku sedang mengoles selai, suara langkah kaki yang familier terdengar di telinga, segera mengalihkan seluruh perhatianku.

Secara refleks jantungku berdebar sangat kencang hingga dadaku terasa sesak mendapati pria yang paling tidak ingin kutemui sudah siap dengan pakaian kerjanya—kemeja kotak-kotak dan celana hitam.

Kak Ethan tersenyum kecil, salah satu kebiasaannya yang tidak pernah berubah saat dia menyapa dan mengambil tempat duduk di depanku.

“Tumben sudah rapi, Ri?” tanya Kak Ethan sebelum memasukkan roti dan telur mata sapi ke mulutnya.

Aku mengernyitkan alis, tidak mengerti dengan tingkah yang tidak sesuai dengan dugaanku sebelumnya.

Seharusnya Kak Ethan bersikap berbeda atau paling tidak menjadi canggung setelah kejadian kemarin malam.

Jangan-jangan bagi pria dewasa seperti Kak Ethan menganggap ciuman adalah hal biasa? Atau jangan-jangan ciumanku kemarin malam belum bisa disebut sebagai ciuman kalau hanya sekadar menempelkan bibir?

Tak lama kemudian cuplikan ciuman film yang seharusnya tidak boleh kutonton memenuhi otakku dan saat aku mengalihkan perhatian dari pikiran kotor, sialnya mataku malah menangkap lidah Kak Ethan sedang menjilat bibir bawahnya.

Gerakannya mirip adegan slow motion yang—“Wajahmu merah sekali, apa kamu sakit, Ria?”

Pertanyaan Nenek langsung mendepakku dari fantasi liar lalu bencana beruntun mulai menimpaku.

Akibat terkesiap kaget, aku terhenyak dari tempat duduk lalu secara tidak sengaja entah kenapa aku malah menggigit lidahku sendiri hingga jeritan lolos dari mulutku.  “Argh…!!!”

“Kamu nggak apa-apa, Ri?” tanya Kak Ethan dengan nada cemas.

Dia langsung bangkit dan menuangkan segelas air. Malangnya saat Kak Ethan memberikannya kepadaku, air tersebut tumpah ke atasan seragam putih.

“Ah, maafkan aku…” Kak Ethan yang panik lalu mengambil tisu dan menyeka tumpahan itu—“Ethan, apa yang kamu lakukan?!” tukas Nenek dengan suara menggelegar.

“Eh?”

Secara bersamaan, kami—aku dan Kak Ethan—menatap Nenek dengan pandangan bingung dan penuh tanda tanya. Nenek memejamkan mata lalu menghela napas kasar, “Daria, kamu ganti seragam dulu di atas.”

Aku mengangguk lalu menuruti perintah Nenek. Sepertinya Nenek berniat membicarakan sesuatu dengan Kak Ethan dan aku tidak diperkenankan untuk ambil bagian dalam pembicaraan tersebut.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top