6. First Kiss

“Sampai kapan kamu merengut, Ria.”

Kak Ethan menghampiriku yang tengah duduk di teras rumah mengamati hujan, salah satu kebiasaan di kala aku kesepian merindukan orangtuaku yang berada di tanah Papua.

Terhitung sudah lima tahun ini aku tinggal di rumah Nenek yang terletak Kota Surabaya. Ayah dan ibu terpaksa meninggalkanku di sini karena Nenek mencemaskan pendidikanku di tanah Papua.

Nenek berkata, “Aku tidak ingin pendidikan putrimu terganggu hanya karena kalian ingin tinggal bersama di luar pulau. Tinggalkan dia di sini, aku akan mengasuh putrimu di Surabaya.”

Ucapan Nenek menjadi perintah absolut yang tak terelakkan. Akhirnya dengan berat hati, Ayah dan Ibu pun pergi ke Papua tanpa mengajakku, meninggalkanku bersama Nenek dan Kak Ethan.

“Dalam agama tidak boleh sesama saudara tidak bertegur sapa selama tiga hari berturut-turut.” Kak Ethan duduk di samping tempat dudukku sambil tersenyum kecil.

Senyumannya yang indah itu dengan mudah meluluhkan hatiku. Tetapi karena harga diri dan egoku yang tinggi tidak membiarkanku bertekuk lutut begitu saja.

Aku memasang wajah jutek dan tidak akan terbujuk oleh senyum malaikatnya. Apalagi Kak Ethan benar-benar keterlaluan dengan menganggapku anak kecil  walaupun aku sudah memakai seragam putih abu-abu.

Kak Ethan terlalu naif kalau menganggap anak SMA jaman sekarang sepolos dengan jaman SMA dirinya dulu. Anak SMA sekarang ini bisa dengan mudah dapat mengakses segala informasi yang dulu dibilang tabu. Bahkan, bukan rahasia umum sebagian besar dari mereka pernah melakukan ciuman. Meski aku bukan dari kalangan itu.

“Ria, kalau merengut, cantiknya hilang.”

Kak Ethan hendak menyentuh bahuku seolah ingin mencoleknya tapi langsung kutepis tangannya.

“Masih dua hari!” seruku dengan nada tinggi dan mungkin terdengar kasar.

Aku tidak tahu ke mana kesabaranku kini berada. Ah, mungkin ini karena pengaruh hormon—menurut kalender dua atau tiga hari aku akan menstruasi. Tawa Kak Ethan yang terbahak-bahak lalu menyadarkanku dari lamunan.

Aku menyipitkan mata untuk menunjukkan kekesalanku padanya dan tindakan itu cukup efektif untuknya.

Kak Ethan berdehem pelan lalu menghentikan tawanya. “Jangan marah, Ria. Masa di saat-saat Kakak mau pergi kamu marah terus.”

Kak Ethan memasang tampang wajah memelas. Seperti anak anjing yang terabaikan.

Merasa sedikit bersalah dan keterlaluan, aku pun mengalah dan mulai tersenyum meski sedikit terpaksa. “Nah, begitu senyum... Kan cantik.”

Mendengar ucapannya, aku memicingkan mata, menatapnya sebal. “Jadi kalau nggak senyum nggak cantik?”

“Cantik tapi nggak banyak.” Kak Ethan kembali tertawa.

Aku berusaha mengabaikannya dan mengalihkan perhatianku pada suara hujan yang menentramkan.

Rasa sepi yang menenangkan mulai menjalar, memenuhi hatiku. Bagai terbalut kesunyian dalam kehampaan tidak berujung, hujan selalu mengantarkan rasa sendu bagi penikmatnya.

“Aku benar-benar sayang Kakak.” Kata-kata itu keluar begitu saja tanpa bisa kukendalikan. “Aku tahu hati Kak Ethan masih bersama Kak Rumi. Tapi Kakak nggak bisa curang terus bilang kalau perasaanku ke Kak Ethan itu main-main hanya karena usiaku terlalu dini.”

Hening.

Kak Ethan tidak berkomentar atas pernyataanku. Penolakan tanpa kata lebih menyesakkan daripada penolakan dengan kalimat kasar. Cinta pertamaku pun pupus sebelum berkembang.

Baru beberapa langkah aku meninggalkan Kak Ethan, tangannya yang kuat menahanku, menghentikan langkahku.

Kak Ethan tiba-tiba mencengkram pundakku lalu memaksa tubuhku berputar hingga kami berhadapan. Kulihat manik hitam jelaga Kak Ethan menatapku tajam dan secara refleks membuatku mundur.

“Ria, Kakak bukannya menganggap perasaan kamu itu main-main.”

Kak Ethan berkata dengan suara pelan dan terkendali tetapi entah kenapa suaranya malah terdengar mengintimidasi.

“Tapi karena ada banyak hal yang belum kamu lalui dalam hidup. Mungkin perasaan itu ada karena hanya Kakaklah pria yang kamu kenal sejak kecil. Percayalah ada pria lain yang baik bila tiba waktunya.”

Aku menyeringai, tersenyum miring mendengar penjelasannya yang sama sekali tidak masuk akal.

Jelas sekali Kak Ethan hanya ingin memutar balikkan fakta. Kak Ethan tidak ingin menjadi penjahat dalam masalah ini. Dia menginginkanku untuk mundur secara sukarela.

“Jadi, Kakak pikir aku nggak cukup baik untuk Kakak?”

Kak Ethan mengacak rambutnya frustrasi lalu menatapku dengan tatapan yang tidak mampu kujelaskan. “Kok kamu berpikir seperti itu sih, Ria. Kakak tadi sudah bilang kalau kamu perlu banyak pengalaman hidup untuk bisa mengatakan kalau perasaan kamu itu nyata.”

“Intinya Kakak nggak percaya sama perasaanku yang sekarang!”

Katakan saja kalau Kakak menolakku, tidak memiliki perasaan yang sama denganku. Kenapa harus menggunakan usia sebagai alasan?

Tangannya kembali mengacak rambut, Kak Ethan semakin terlihat frustrasi lalu mengucapkan kalimat terlarang, “Susah sekali ngomong sama anak kecil yang keras kepala.”

A—apa dia bilang?

Kak Ethan bilang aku anak kecil yang keras kepala?!

Aku mencengkram tanganku sendiri, menahan gejolak emosi yang menyesakkan dada.

Ok, kalau Kak Ethan menganggapku anak kecil yang keras kepala, akan kubuktikan bagaimana keras kepalanya anak kecil yang sedang dimabuk cinta.

Dikendalikan amarah yang memuncak, aku melangkah perlahan kemudian terdiam sejenak tepat di hadapannya lalu mendongak, menatap Kak Ethan yang terlihat merasa bersalah.

Aku menyunggingkan senyum dan secepat kilat berjinjit lalu menarik kerah Kak Ethan. Pria itu masih membelalakkan mata tidak percaya ketika aku memagut bibirnya. Rasanya bibirku membentur giginya.

“Akan kubuktikan perasaanku ke Kakak tidak main-main. Aku nggak akan pernah melupakan Kak Ethan seumur hidup!” teriakku lalu melarikan diri—atau lebih tepatnya berlari ke kamarku yang berada di lantai dua—meninggalkan pria yang masih membeku di tempatnya bagai manekin tanpa nyawa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top