Hampir tiga jam kami dipaksa mendengar ceramah panjang Nenek—yang kupikir tidak akan pernah berhenti sampai fajar menyingsing—setelah itu aku yang sudah tidak berkeinginan lagi melanjutkan tidur, hanya menatap langit-langit kamar dengan berbagai pikiran yang membuat kepalaku berputar-putar dan pening.
Pukul empat pagi, kuputuskan untuk mandi dengan air dingin dan berharap cairan itu dapat menyegarkan isi kepalaku tetapi rupanya tidak berdampak banyak.
Aku menghabiskan waktu dengan melamun sampai alarm ponsel berbunyi dan aku pun bergegas ke dapur untuk membantu Nenek yang sedang menyiapkan sarapan sederhana ala barat, dengan roti tawar, telur mata sapi, keju, irisan tomat dan selada.
"Pagi, Ria!"
Kak Ethan menyapaku dengan suara sejernih kicauan burung gereja di musim semi ketika aku menaruh irisan tomat dan selada di meja. Aku menoleh dan menemukan senyum lebar tersungging dalam wajah pria yang basah oleh peluh keringat.
Pria yang mengenakan tank top putih dan training hitam itu menyeka keringat di wajahnya dengan handuk kecil—yang tergantung di lehernya—lalu mengambil segelas air, meneguknya dengan cepat dan duduk di kursi dekat tempatku berdiri.
"Hari ini kamu ada berapa mata kuliah, Ria?" tanyanya, menyadarkanku dari perasaan de javu yang sangat familier.
Perasaanku meluap-luap, antara tidak percaya dan terharu luar biasa karena dapat menyaksikan pemandangan pagi yang selama ini hanya dalam bunga tidur yang segera lenyap tatkala aku terbangun.
Aku berdehem pelan, berusaha mengendalikan luapan perasaan yang membuat bibirku terasa bergetar. "Cuma dua, dari jam satu siang sampai jam lima sore."
"Oh, kalau gitu nanti Kakak antar jam dua belasan, gimana?"
Aku menggeleng pelan. "Nggak usah, Kak. Aku berangkat jam sepuluh bareng Kak Ulfa."
"Eh? Bukannya kamu dan Ulfa beda universitas, ya?" tanyanya, seolah memastikan sesuatu.
"Iya, Kak Ulfa di Unair sedangkan aku—"
"Daripada merepotkan Ulfa, mending kamu diantar Ethan, Ria," sela Nenek yang datang membawa irisan daging tipis dan menaruhnya di meja makan.
"Tapi aku sudah—"
Nenek kembali menyela, tidak membiarkanku menyelesaikan kalimat dan bertitah, "Biar Ethan yang mengantarmu."
Aku menghela napas panjang lalu mengangguk pasrah dan duduk di samping Kak Ethan. Tidak ada gunanya berdebat dengan Nenek karena pada akhirnya beliau yang akan selalu menang. Daripada mengeluarkan tenaga sia-sia dan tidak bermanfaat, lebih baik aku diam dan duduk manis menikmati sarapan pagi.
Kami pun memulai sarapan dengan obrolan ringan dan tidak ada satu pun dari kami menyinggung insiden kemarin malam—setidaknya itulah keinginanku—sampai Nenek kembali bersuara dan mengajukan pertanyaan. "Ethan, apa kamu sudah memutuskan kapan kalian menikah?"
"Eh?"
Apa aku tidak salah dengar? Nenek menyuruh Kak Ethan menikahiku?
"Kenapa kamu terlihat sangat terkejut, Ria?" tanya Nenek menuntut.
"A—apa pernikahan tidak terlalu cepat?" tanyaku yang belum bisa menyembunyikan keterkejutanku.
Sebelumnya aku memang meminta Kak Ethan untuk segera menikahiku tetapi itu hanyalah sebuah candaan. Aku tidak pernah berpikir Nenek mengajukan topik pernikahan secepat ini. Aku memang ingin menikah dan itu hanya sebatas keinginan. Aku tidak memiliki pandangan konkret tentang pernikahan dan tentu saja pertanyaan Nenek sangat mengejutkanku.
Nenek menyipitkan matanya dan menatapku tajam. "Terlalu cepat? Apa yang sekarang kamu tunggu kalau Ethan sudah menerima perasaanmu dan Daria, kamu harus ingat umur Ethan sudah hampir tiga puluh tahun, Ethan. Sudah tidak muda lagi."
Karena terlalu syok, aku kehilangan kemampuanku untuk berdebat dan untungnya Kak Ethan yang sigap segera mengambil alih pembicaraan.
"Nek, sebaiknya pembicaraan ini kita tunda dulu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top