12. The right time to give up
Sampai pukul sebelas malam masih belum ada tanda-tanda Kak Ethan ingin mengajakku berbicara walaupun kami berpapasan beberapa kali. Dia bersikap sangat dingin. Aku tidak pernah menyangka Kak Ethan tersinggung dan sakit hati karena ucapanku.
Tiga puluh menit kemudian, aku memutuskan tidur, sedangkan Kak Ethan menonton televisi sambil mengobrol dengan Nenek.
Aku ingin memejamkan mata dan mencari posisi tidur di ranjang tetapi usahaku gagal. Ingatanku kembali berkelana, kamar yang kutempati dua tahun lalu ini masih tetap sama. Satu tahun setelah kepergian Kak Ethan dan bertepatan terakhir aku patah hati, aku memutuskan tinggal bersama orang tuaku yang kembali ke Jawa setelah Ayah dimutasi kerja di Kota Malang.
Aku menghela napas panjang dan merasa putus asa lalu memutuskan bangkit dari tempat tidurku untuk mengambil minuman.
Aku pun membuka lemari es di dapur dan saat menuangkan air dingin ke gelas di meja. Tiba-tiba, sesuatu menyentuh bahuku dan membuatku tersentak kaget. Ketika hendak berteriak, sebuah tangan malah membungkam mulutku.
"Ini Kakak, Ria. Nenek sudah tidur, jangan berteriak!"
Aku mengangguk paham dan Kak Ethan melepaskan tangannya dari mulutku. "Kak Ethan mengagetkanku saja. Kupikir maling!" seruku mendengus kesal.
"Kamu sendiri, kenapa minum tidak menyalakan lampu?"
"Yah, nggak apa-apa dong, Kak. Hemat energi!"
Kak Ethan menghela napas panjang lalu menyalakan lampu dan duduk di meja bar yang ada di depan lemari es.
Selesai menenggak air dingin, aku melangkahkan kaki menghampiri dan berusaha memperbaiki hubungan kami. "Masih jet lag, Kak?"
"Hmm, mungkin. Tapi waktu Australia tidak jauh berbeda dengan di sini."
Keheningan menyusup di antara kami. Kepalaku sibuk mencari bahan obrolan tetapi nihil. Aku tidak tahu apa yang sebaiknya menjadi topik pembicaraan yang cocok dalam situasi ini. Setelah tenggelam dalam pikiran, otak yang berkapasitas IQ 115 itu pun memberikan solusi. Apa aku harus meminta maaf untuk kejadian siang tadi?
"Kak."
"Ria."
Kami berkata dengan suara bersamaan lalu Kak Ethan tertawa kecil. "Kamu dulu saja, Ria."
"Kak, aku minta maaf atas kata-kataku tadi siang."
"Tapi, kamu nggak salah kok, Ria. Kakak memang sudah tua seperti katamu."
Aku mengernyitkan alis. Kenapa sifat Kak Ethan yang sabar dan bijak berubah menjadi pendendam dan mudah tersinggung hanya dalam waktu tiga tahun?
"Kak, jangan marah lagi please..." Aku memohon dan memasang wajah sememelas. "Kakak, sudah tidak cinta sama aku lagi? Padahal aku sudah sabar menunggu selama tiga tahun."
Kak Ethan menatap sekilas ke arahku lalu mendesah napas. "Memangnya kamu masih memiliki perasaan yang sama seperti tiga tahun lalu?"
"Aku tadi sengaja ngomong seperti itu karena aku kesal sama Kak karena selama tiga tahun ini Kak sama sekali nggak menghubungiku. Kak nggak tahu bagaimana sakitnya menjadi orang yang dicampakkan. Seperti kata Kak saat itu aku memang masih belum dewasa, mungkin juga sekarang, membuatku bertindak gegabah dan tanpa pikir panjang. Di sisi lain, karena aku belum memiliki pengalaman jadi saat Kak sama sekali nggak menghubungiku aku merasa dicampakkan..." Suaraku entah kenapa mulai bergetar dan mataku pun tiba-tiba memanas. "Aku merasa seperti gadis yang benar-benar tidak berguna."
Hening.
Aku menggigit bibir yang bergetar, menahanemosi yang sedang berkecamuk di dalam hatiku. "Kalau Kak memang tidak bisamemaafkanku, mulai sekarang...." Aku menghapus cairan bening yang mulai merembes,"aku akan melupakan Kak Ethan untuk selamanya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top