02. First Kiss
Aku menyeringai. Akhirnya sudah tidak ada lagi suara cerewet. Aku melanjutkan aksiku untuk menyerang bibirnya dengan membabi buta dan dengan segala gerakan yang bisa membuatnya melupakan cara untuk bersuara.
Bibirku mulai menekan, mencecap. dan bahkan menggigit lembut bibirnya. Dia membuka mulutnya seakan hendak mengatakan sesuatu dan tanpa pikir panjang aku memasukkan lidahku ke sana dan menggunakan semua teknik yang sebelumnya berada hanya dalam angan saja.
Ya, ini adalah ciuman pertamaku. Gila, bukan? Ciuman pertamaku kulakukan bersama adik tiruku, bukan kekasihku, apalagi Ryan. Oh, enyahlah pria jahanam itu.
Kuakui ini memang aneh. Walaupun aku dan Ryan sudah bertunangan dan hampir saja menikah, kami tidak pernah bermesraan dan melakukan skinsip. Bergandengan tangan saja bisa dihitung jari, apalagi ciuman.
Pertunangan kami sebenarnya diatur oleh keluarga besar ayahku. Aku yang tidak mau berdebat dengan orang-orang kolot itu pun menerima perjodohan tersebut. Toh, Ryan adalah pria baik yang memiliki masa depan cemerlang sebagai seorang pengacara berbakat. Namun semuanya hancur.
Ryan merusak pernikahan Violet dan membawa kabur calon pengantin wanita tersebut hingga keluarga Aryasha, keluarga calon pengantin pria, menuntut Ryan dan pernikahanku pun dibatalkan.
"Kak..." gumamnya di antara napasnya yang kini terdengar berat. Suara serak yang terdengar sangat seksi itu membuatku bersemangat menjelajahi tubuh pria itu.
Aku tersenyum bangga ketika mendapati desahan lolos dari mulut itu.
"He—hentikan Kak..."
"Hmm... yakin mau berhenti?" tanyaku sambil menciumi pipinya yang ternyata sedikit kasar.
Walaupun wajahnya sekilas terlihat bersih dari jambang, tetapi setelah tanganku menjelajahi wajahnya dengan seksama kurasakan rambut-rambut kecil mulai tumbuh.
"Kak... Cukup... Hentikan." Ray menggumam tapi tidak benar-benar mendorongku.
Seharusnya sebagai seorang pria kalau dia benar-benar membenci ciumanku, dengan mudah dia bisa mendorongku atau pun menghentikanku dengan tenaganya yang lebih besar. Namun kenyataan berkata lain. Ray tidak membenci ciumanku dan sepanjang ciuman itu dia ikut menikmatinya dengan tangan memeluk pingangku dan menghelaku ke dalam dekapannya.
Aku kembali menyeringai. Ray ternyata munafik juga, ya? Aku mempererat pelukan dan mempersempit jarak di antara kami hingga aku duduk di atas pangkuannya dengan tangan bergelayut manja pada lehernya dan melanjutkan percumbuan panas itu.
Kedekatan ini. Jarak ini. Benar-benar membuatku bergairah lalu aku merasakan sesuatu terbangun di bawah tempatku duduk. Kutatap wajahnya yang pias karena menahan malu dan berusaha menghindari tatapan mencemooh yang kulayangkan kepadanya.
Aku mengulum senyum miring. Ray benar-benar sangat menggemaskan dan aku ingin menciumnya. Jadi, kukecup kembali bibirnya sebentar lalu memperdalam ciuman memabukkan itu dan mengabaikan semua aturan yang selama ini membatasi kami.
Hanya insting yang menuntun. Hanya gairah yang memandu dalam setiap gerakanku. Candu yang penuh kenikmatan ini terlalu sulit untuk ditinggalkan.
"Kak..." ucap Ray sembari berusaha menghentikan ciuman liar kami yang panas membara.
Kali ini dia mencengkram kuat bahuku dan menahan gerakanku di sana. Aku mengernyit dan menatapnya kecewa.
"Kenapa? Tidak suka?" tanyaku dengan sorot terluka dan berpura-pura sedih seperti anak kecil yang tidak diperbolehkan membeli mainan.
Ray menggeleng pelan lalu dengan suara serak yang seksi dia menggumam, "Sebaiknya kita pergi ke hotel."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top