Reunited CEO 53 - Pertemuan Dua Hati
Bab ini ditulis oleh Shireishou
Dicopy sama persis ke:
Passionate CEO
Night with CEO
The Wicked CEO
William masih tak mengucap sepatah kata pun menghadapi cecaran pertanyaan Mysha. Pria itu tetap menyetir tanpa ada perubahan mimik wajah berarti meski Mysha sempat menaikkan nada kepadanya karena kesal.
Toh pada akhirnya ketenangan William yang menjadi pemenang. Mysha pun menyerah dan memutuskan diam seraya membuang pandangan ke luar jendela. Mobil yang ditumpangi mereka menerobos lalu lintas padat New York entah menuju ke mana.
Sepanjang perjalanan yang ternyata memakan cukup banyak waktu itu, Mysha tak henti berpikir tentang bagaimana ia harus bersikap jika bertemu Axel. Apa dia akan mengamuk? Apa ia akan bahagia? Atau justru dirinya akan jatuh dalam tangis tak berkesudahan?
Namun, dari semua ada satu pertanyaan yang menggantung di kepala. Mysha ingin memastikan perasaannya. Apakah ia masih mencintai Axel seperti dulu?
Satu tahun sudah ia berjuang-sangat keras-untuk melupakan eksistensi seorang Axel Delacroix. Menghilangkan semua kepahitan yang telah ditimbulkan pria itu padanya. Namun, rasa sakit itu masih terasa nyata. Ia belum sepenuhnya bisa mengikhlaskan seluruh pengkhianatan yang Axel lakukan kepadanya.
Apa karena Mysha kini dendam pada Axel?
Mysha menarik napas panjang. Embusan yang dilakukan menimbulkan debas yang cukup keras. William meliriknya sedikit. Ada binar kekhawatiran melintas, tapi pria itu tetap terlihat tenang. Ia sudah berjanji dan William adalah orang yang selalu berpegang teguh pada ucapannya.
Udara dingin harusnya tak mampu memasuki mobil berpenghangat ini. Namun, Mysha tak bisa memungkiri jemarinya bergetar. Gigil menyergapnya tanpa ragu. Pasti bukan suhu rendah yang jadi penyebabnya.
Mysha mengerjapkan mata beberapa kali melihat mobil bergerak, menjauhi wilayah perkotaan menuju tepian kota New York.
Greenwich Village.
Sebuah kota di tepian New York yang masih terkesan begitu klasik. Banyak gedung dengan dinding berwarna terakota, krem, dan putih-gading berdiri dengan gagah. Mobil tak banyak yang berlalu lalang. Orang lebih senang berjalan kaki, atau menaiki taksi.
Namun, di tengah nuansa klasik itu, berdiri sebuah gedung pencakar langit yang sangat mencolok dengan bentuk asimetris. Dibangun setinggi 21 lantai dengan kaca berwarna biru secerah langit. Warna yang mengingatkan Mysha pada mata Axel yang menyilaukan. Satu desahan kembali terdengar.
"Ya, kau boleh menunggu di kafe. Aku sepuluh menit lagi sampai." William menerima telepon dengan headset yang tersangkut di telinganya.
"Siapa?" Mysha penasaran.
"Hanya orang yang menjaga di apartemen." William membelokkan kemudinya dan memasuki wilayah gedung.
William memarkirkan mobilnya dengan cekatan. Astor Place di jalan Lafayette ini terlihat sangat mewah dengan nuansa keperakan di bagian teras menuju ke pintu masuk utama. Mysha tersenyum sinis membayangkan kehidupan glamor yang tak akan bisa dilepaskan Axel. Bahkan untuk wilayah pinggiran seperti Greenwich Village, ia tetap memilih apartemen paling mewah di sini.
William menggesekkan kartu pass-nya dan seketika itu juga kaca tebal bergeser terbuka. William menggerakkan tangan kanannya mempersilakan Mysha masuk lebih dulu sebelum akhirnya ia menyejajari wanita itu bergerak menuju lift.
Ruangan berhias kayu yang dipelitur mengilap begitu dominan di dalam. Aroma hutan yang khas. Mysha merasa sedikit tenang.
William menekan angka 17 dan seketika itu juga Lift bergerak perlahan menjauhi permukaan bumi.
Mysha merasakan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia benar-benar gugup.
"Take a deep breath." William mengeluarkan sapu tangan dan mengelap pelipis Mysha perlahan. "Semua akan baik-baik saja. Kau wanita kuat. Aku tahu."
"Thank you." Mysha memejamkan mata sejenak. Ia mengosongkan pikirannya serta menarik napas panjang dan dalam. Sayang, tubuh Mysha tak banyak menuruti keinginannya.
Debar jantung Mysha semakin kencang. Berulang kali wanita itu berjuang menentramkan batinnya yang bergemuruh. Ia tak boleh jatuh. Ia harus tegar! Hanya satu yang bisa dirinya dan Axel bicarakan hari ini.
Alasan Axel menjauh darinya secara tiba-tiba. Titik.
Di depan sebuah ruangan, William berhenti. Rahangnya mengeras sejenak, tapi ia sudah sangat terbiasa menekan kembali semua emosi yang sempat naik ke permukaan. Dengan gerakan efisien, ia kembali menggesekkan kartu dan pintu pun terbuka.
Langkahnya masih tak kalah tenang saat mempersilakan Mysha mengikutinya. Ruangan apartemen Axel luar biasa mewah. Ruang tamu dengan sofa krem dan jendela kaca tanpa gorden yang menghalangi cahaya matahari sebagai penerangan utama. Bufet kayu juga tampak menghias manis di tepian.
Tumpukan buku di atas meja utama membuat Mysha sedikit terkejut. Apa kini Axel menghabiskan waktunya untuk membaca? Ke mana dia? Apa sedang keluar dan dirinya lagi-lagi harus menunggu kedatangan pria itu?
William berbelok dan tiba di depan sebuah pintu berwarna cokelat gelap. Dengan gerakan yang sangat hati-hati, dibukanya ruangan yang ternyata merupakan kamar tidur utama.
"Take your time."
Tanpa menunggu Mysha menyetujui kepergiannya, William meletakkan tangan di atas pundak wanita itu selama beberapa detik. Seolah ia mengatakan akan selalu mendukung apa pun keputusan Mysha nanti. William kemudian berbalik dan meninggalkan Mysha dalam kegamangannya.
Masih di depan pintu, Mysha bergeming. Semua kata-kata yang ingin ia tanyakan menguap lenyap dalam air bah pertanyaan baru di kepalanya.
Di ruangan yang didominasi furnitur kayu itu, sesosok pria terbaring di atas kasur. Selang infus tertanam di tangan kirinya. Matanya terpejam erat. Tak terlihat kilau semangat yang biasa terpancar di sana. Cahaya matahari dari jendela berkaca lebar terhalang gorden berwarna cokelat muda.
Mysha mendekat tanpa sadar. Keingintahuannya membuat langkah kaki terdengar perlahan di atas lantai kayu. Separuh hatinya menyangkal dan berharap sosok yang kini terbaring lemah itu bukan seperti dugaannya.
Namun, separuh hatinya yang lain meyakini bahwa rambut pirang yang telah kehilangan kilauannya itu adalah milik pria itu.
"Axel?" Mysha lagi-lagi bertindak tanpa perlu banyak berpikir.
Kelopak mata itu bergerak perlahan sebelum akhirnya memamerkan iris biru yang menawan. Mysha bisa melihat kebingungan menerpa Axel sesaat. Pria itu menatap dirinya lekat-lekat seolah meyakinkan bahwa yang berdiri di sampingnya benar-benar Mysha Natasha.
Tangan kiri berselang infus itu terulur perlahan. Gemetaran. Berusaha menggapai Mysha yang langsung menyambutnya hangat. Piyama berbahan lembut ikut bergerak kala tubuh yang tak juga bangkit duduk itu agak memiringkan posisinya. Selimut putih tebal membungkusnya rapat meski udara di ruangan ini terasa begini hangat.
Ke mana hilangnya tubuh atletis yang dulu sangat mengagumkan? Ke mana hilangnya semangat yang tak pernah lepas dari jiwanya? Satu tahun mengubah segalanya. Kini Axel tampak begitu menderita. Terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya. Lingkar matanya terlihat cekung dan menghitam. Pipinya tirus, serta jemari yang terkesan begitu rapuh.
"Dia tepat janji." Axel terengah. "Tak kusangka kau datang."
Mysha merasakan dadanya tercabik mendengar suara bariton khas yang kini terdengar samar. Begitu lirih dan membuatnya ingin merengkuh pemilik suara itu. Namun, Mysha nenahan diri sekuatnya. Bukankah ia sudah berusaha melupakan Axel? Bukanlah selama setahun terakhir keinginannya hanya untuk mengubur nama Axel Delacroix jauh dalam palung hatinya?
Namun, ketika tangan pucat dingin itu menyentuh kulitnya, Mysha sadar, ia tak bisa membenci Axel.
"Tolong," bisik Axel lagi. Tangan kirinya meraba-raba tepi ranjang berusaha mengambil pengendali kasur agar bisa ditegakkan.
Mysha hanya mengangguk lemah dan melakukan permintaan pria itu, sebelum kemudian ia duduk di tepi ranjang. Wanita itu berusaha sekuat tenaga untuk tetap terlihat tenang. Namun, ia tak bisa menahan gelombang duka yang terus mendesak air matanya untuk tumpah.
"What happened?"
Axel berusaha tersenyum. Sebuah tarikan bibir yang bagi Mysha terlihat seperti sebuah lengkungan kepedihan.
"Thank you ... for coming." Axel seolah tak memedulikan pertanyaan Mysha.
"Kenapa tak pernah memberi kabar?" Mysha menarik napas berusaha menahan isakannya.
Saat itulah Mysha merasakan jemari Axel menghapus air mata yang tumpah. Mysha bisa melihat Axel seolah mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk melakukannya. Meski tangan itu terasa dingin, Mysha merasakan kehangatan di hatinya.
Inikah alasan Axel tiba-tiba menjauhinya? Pelukan di rumah sakit, Axel yang keluar dari laboratorium darah, sebenarnya penyakit apa yang menggerogoti tubuhnya hingga menggerus semua keperkasaan yang dulu pernah hadir?
"Wil, memaksaku...."
"What?!" potong Mysha penuh keterkejutan. Netra keemasan itu membeliak lebar. Ia mencoba tak percaya jika William tega membuat Axel berpisah dengannya.
Melihat amarah di mata Mysha, Axel menepuk punggung tangan wanita itu lembut. "It's not like that." Axel mengatur napasnya. "He forced me ... to let you know." Ada embusan napas panjang menjeda. "A-aku tak mau. Tapi ... Will...."
Axel menghentikan kalimatnya ketika batuk membuatnya kesulitan bicara. Mysha tergesa mengambil air hangat dari dalam dispenser dan membantu Axel meminumnya. Perhatian yang begitu tulus. Tanpa ada sengatan listrik seperti sebelumnya, tanpa debar gugup, dan pikiran liar yang tak dikendalikan. Kasih yang platonik.
Mysha sangat ingin mengetahui apa yang telah terjadi. Namun, Axel terlihat kelelahan hanya dengan bicara beberapa kalimat singkat. Dirinya harus bisa menahan diri.
Axel berdeham berusaha menyusun seluruh kekuatannya untuk lanjut bicara. "Will terus memaksa. Dia keras kepala, ya?" Mata Axel melembut. "Atau karena kasihan padaku?" Axel terkekeh lemah. Bahunya yang tertutup piyama putih terlihat begitu kurus saat bergerak naik-turun. Lengan yang semula terpahat otot yang begitu menawan, kini seolah hanya tulang berbalut sedikit daging dan kulit.
Mysha tak bisa ikut tertawa. Padahal itu tawa langka yang sangat jarang Axel tunjukkan selama mereka pernah mengenal. Tawa yang sama sekali tak terlihat bahagia. Lebih seperti satir yang menyesakkan jiwa.
Axel melirik sejenak ke arah jemari Mysha. Kosong. "Kau belum bisa melupakanku?"
Mysha berusaha menutupi jemari tangan kirinya gugup. Harus ia akui, alasan Axel mendadak meninggalkannya memberikan beban tersendiri. Sesuatu yang membuat wanita itu tak bisa melanjutkan hidupnya. Rasa kecewa, dikhianati, juga ingin tahu yang tak pernah bisa dilepaskan. Apa dia ingin Axel kembali ke sisinya? Mysha menyangsikan hal itu. Bahkan ketika melihat Axel terbaring tak berdaya seperti ini, Mysha tak memiliki keinginan untuk menawarkan pilihan agar mereka rujuk kembali.
Bukan karena ia tak ingin merawat Axel yang telah kepayahan seperti ini. Tetapi, lebih kepada Mysha tak mau memberi Axel kesempatan ketiga. Ia tak ingin disakiti lagi, bahkan oleh pria yang untuk buang air saja harus dilakukan di atas kasur.
Mysha melirik ke arah kateter urin yang tergantung di sisi ranjang. Ah ... jadi penelepon William tadi adalah perawat yang menjaga Axel selama ini. Axel harus tinggal seorang diri di sini. Apa kedua orangtuanya mengetahui keadaannya?
Axel kembali terbatuk ringan. "Ini hukumanku."
Mysha melihat Axel menarik napas. Berusaha terlihat baik-baik saja. Namun wanita itu bisa membayangkan badai macam apa yang kini ada di benak Axel.
Mysha tak juga tahu harus mengatakan apa. Semua yang ada di kepalanya terlalu rumit untuk diucapkan dengan kata-kata.
"Apa bisa sembuh?" Akhirnya hanya itu yang bisa terucap.
Axel mengangkat bahu kurusnya bimbang. "Hanya Tuhan yang tahu," balasnya suram.
Tanpa sadar, air mata Mysha kembali menetes. Mysha masih tak memahami kenapa Axel tak mau memercayai dirinya untuk bisa berjuang bersama. Bahkan meski akhirnya mereka harus kalah, setidaknya mereka bisa menjalaninya bersama. Menghadapi badai dengan saling meneguhkan.
"Aku ... iri." Axel berujar lemah.
"Eh?"
"Wil...." Axel kembali berusaha tersenyum. "Dia mengenalmu sejak lama."
"Aku tak ingat," balas Mysha lemah.
Axel mengangguk perlahan. "Kau penyelamatnya."
Mysha tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia menyelamatkan William? Bagaimana bisa?
Axel memutar mata mengenang pembicaraan semalam suntuknya dengan William. "Kau ... mengajarkan kesetiaan padanya." Axel kembali menarik napas. Mysha membantu Axel kembali meminum beberapa teguk air putih hangat.
"Aku ... hanya diperalat nafsu, tanpa tahu cinta hingga begini." Axel terbata menatap tubuhnya sendiri. Seolah kalimat yang baru saja dikatakan tersangkut di tenggorokan.
"Andai kita bertemu lebih awal," desahan pendek terdengar. "Tapi aku bersyukur." Lagi-lagi senyuman perih tersungging. "Cinta yang kuanggap dongeng hadir darimu." Axel mendongak. "Namun, cinta itu kini telah kuhapus dari matamu." Axel menatap netra keemasan itu tak berkedip.
"Axel...."
Mereka bersitatap. Sangat lama. Seolah berusaha memahami alasan masing-masing. Mysha berusaha memahami keputusan Axel, tapi ia masih tak jua mengerti. Apa Axel tak percaya bahwa dirinya cukup tegar untuk bisa berbagi derita? Apa di mata Axel ia wanita yang selemah itu?
Axel mungkin tak akan mengatakan alasannya saat ini. Namun, Mysha yakin, Axel akan berterus terang kelak.
Lalu sampai saat itu tiba, "Aku akan merawatmu mulai sekarang." Mysha kembali merengkuh tangan Axel lembut.
"NO!" Axel menarik tangannya paksa.
JENG JENG JENG JEEEEENG!
Akhirnya ketahuan Axel kemana aja selama setahun :')
Gimana menurut kalian? Apakah Mysha kejam? Apakah Axel pantas mendapatkan penyakitnya?
Share dong! XD
Beberapa chapter lagi dan cerita ini tamat ^^ tetap ikuti sampai akhir yah!
Btw aku blm sempet balas komen :'/ soon ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top