Loving CEO 37 - Pengakuan Hati
Axel menyentuh pipi yang dikecup oleh Mysha, merasakan hangat menjalar dari sana hingga ke hati. Sebuah senyum terkembang ketika dirinya menatap Mysha yang tersenyum malu menatapnya.
"Axel?" tanya Mysha ketika pria itu mengarah ke pinggir jalan dan menghentikan mobil mewah itu di sana.
Axel memperlebar senyum, membuat Mysha menahan napas, apalagi ketika Axel meraih jemarinya dan mengecupnya lama. Rasa hangat merayap di pipi Mysha, setengah berharap kalau bibirnyalah yang dicium Axel dengan penuh damba seperti itu.
"Mysh." Axel menarik napas dalam, seakan apa yang akan dikatakan adalah sebuah hal yang berasal dari perasaannya. "Aku akan melindungi dan menjagamu. Tidak akan kubiarkan seorang pun melukaimu dan seumur hidupku, aku akan membuktikan bahwa aku adalah pria yang layak mendapatkan kepercayaan dan cintamu."
Rasa haru menyeruak dari dada Mysha, membuat matanya berair. Axel membelai pipi wanita itu, menghapus air mata sebelum mengecup kulit putih itu pelan.
"Aku percaya padamu, Axel," bisik Mysha pelan, namun jelas. "Dan aku mencintaimu."
Axel tersenyum, menyatukan dahi mereka. Saat ini, dia merasa seluruh semesta berhenti sejenak, memberi mereka waktu untuk saling merasa. Dadanya terasa penuh, dan hidupnya terasa lengkap.
Sebulan berlalu seakan mimpi dan Mysha menikmati setiap waktu yang dia habiskan bersama Axel. Dijemput, makan siang, sesekali makan malam dan diantar pulang oleh Axel adalah rutinitas barunya, rutinitas yang dia tunggu setiap hari. Nyaris tidak ada waktu yang mereka lalui terpisah dan bahkan bila ada hal yang menuntut mereka harus mengutamakan pekerjaan, ponsel pintar mereka tak pernah absen berbunyi untuk sekedar mengucapkan kata salam. Suara bariton Axel adalah yang pertama kali dia dengar di kala pagi dan terakhir sebelum terlelap.
Keberadaan Olivia benar-benar lenyap seperti ditelan bumi. Jika Mysha tidak melihat wajahnya menghiasi sampul majalah, mungkin dia mengira Olivia hanya imajinasi. Ancaman Axel terbukti ampuh. Ambisi Olivia mendapatkan Axel tidak sebesar ambisinya untuk menjaga citra sebagai model papan atas dan Mysha bersyukur untuk itu. Dia tidak ingin waktu-waktu bahagia ini berakhir walau setiap masuk ke CLD, dia harus menghadapi tatapan iri dari para wanita yang hanya bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi kekasih satu-satunya dari Axel Delacroix.
Terdengar ketukan pintu membuat Mysha kembali ke ruangan kantornya, menghadapi laporan tahunan kondisi perusahaan. Beberapa bulan lagi tahun akan berakhir dan data untuk annual meeting sudah mulai masuk ke mejanya. Otomatis senyum Mysha mengembang, menebak Axel mendatanginya untuk makan siang. Dia sudah tidak sabar memandangi senyum tipis dan mata biru Axel yang selalu bisa menghipnotisnya.
"Silakan masuk," ucap Mysha sambil tertawa dalam hati, tidak biasanya Axel mengetuk pintu. Pria itu akhir-akhir ini suka menginvasi ruang kerjanya, dan setengah menganggap bahwa kantor Mysha juga kantornya.
Namun, ketika pintu terbuka, senyum Mysha memudar sejenak, mendapati bahwa William sudah berada dibaliknya. Pria berambut hitam dengan mata tajam itu melangkah masuk ke dalam kantor membuat Mysha langsung duduk tegak dan menampilkan sikap profesional, sementara dalam hati bertanya-tanya mengapa pucuk pimpinan tertinggi CLD sampai datang ke kantornya.
"Mr. Davis, selamat siang." Mysha berdiri dan menyalami atasannya itu. "Ada yang bisa saya bantu?"
Detak jantung Mysha makin kencang. Seingatnya CLD tidak memiliki peraturan yang melarang karyawannya berkencan, dia sudah memastikannya dengan melahap standar prosedur operasional setebal bata. Apakah dia melakukan kesalahan lain yang fatal?
Mysha menelan ludah, namun tetap tersenyum sopan, mendapati bahwa William mengamati ruang kerjanya seakan sedang mencari cacat.
"Mr. Davis?" tanya Mysha sekali lagi ketika William tidak ada tanda-tanda menjawab pertanyaannya.
Pria itu mendesah sebelum akhirnya kembali memandang Mysha. "Maaf sudah mengganggu jam kerjamu." Dia berkata tetap dengan nada datar. Mysha tidak bisa membaca maksud Direktur muda tersebut. "Mrs. Davis, ibuku, tidak akan puas sampai aku mengatakannya langsung. Kami sekeluarga akan mengadakan Thanksgiving di rumah kami dan mengundang dirimu dan Michael untuk datang. Tentu saja Axel diundang, tapi kurasa kau bisa menyampaikannya secara pribadi."
Mysha merasa telinganya memanas karena malu. William tentu tahu hubungannya dengan Axel hingga memintanya untuk menyampaikan undangan.
"Apakah kau dapat hadir?" tanyanya memastikan.
"Tentu saja," jawab Mysha cepat. "Sebuah kehormatan bagi saya, Mr. Davis. Sampaikan salam hangat saya kepada orang tua Anda."
Ucapan Mysha dibalas anggukan pelan dan tanpa basa-basi langsung membalikkan badan menuju pintu. Mysha mengekorinya dengan tujuan mengantar, namun ketika pria itu memegang gagang pintu gerakannya berhenti. "Aku berhasil mendapatkan kopi Luwak kualitas terbaik. Aku harap kita bisa menikmati kopi itu bersama."
Senyum Mysha mengembang ketika mendengar undangan kedua dari William. Namun, sebelum dia menjawab, William sudah menyelanya.
"Dan terima kasih sudah membongkar skandal Miss Crawford sebelum meluas dan menodai reputasi CEO dari CLD."
Pintu tertutup, meninggalkan Mysha menatap kosong ke arah sisa keberadaan William. Direktur CLD itu tahu tentang Olivia. Mata Mysha mengerjap, tidak paham bagaimana William seperti memiliki telinga di mana-mana dan mata menembus tembok. Ingin sekali dia memikirkan hal tersebut, namun pintu kembali terbuka, menampilkan sosok kekasihnya yang masuk dan langsung memeluknya.
"Axel?" ucap Mysha setengah menjerit mendapati bahwa tubuh tinggi dan kokoh itu terasa hangat. "Kau demam?"
Axel tidak menjawab, dia membenamkan wajahnya pada pundak Mysha. Wangi tubuh wanita itu selalu bisa membuatnya lebih tenang. "Biarkan aku seperti ini sebentar lagi."
"Tidak." Mysha melepaskan pelukan Axel dan menyeret sang CEO ke sofa putih miliknya. "Kau harus istirahat."
Axel menurut saja ketika Mysha menumpuk bantal-bantal kecil dan menidurkannya di sana. Rasa hangat memenuhi dada ketika dia melihat Mysha sibuk menelpon OB mengambilkan kompres hangat dan memesan bubur untuk makan. Bukan pertama kalinya dia sakit, tapi ini pertama kali ada seseorang yang begitu telaten merawatnya, memancarkan rasa khawatir yang tulus ketika dirinya tidak berdaya. Seulas senyum muncul ketika Mysha meraba dahinya dengan tangan, mencoba mengukur suhu tubuh.
"Aneh, padahal tadi pagi kau baik-baik saja." Alis wanita itu berkerut sambil merapikan rambut Axel yang kusut.
Terdengar ketukan pada pintu. Mysha segera membuka dan menerima pesanannya dari OB. Segera dia kembali dan meletakkan handuk hangat di dahi Axel, sementara sang pasien tersenyum tipis menerima semua perhatian. Axel melihat Mysha membuka bungkusan bubur dan meniup-niupnya pelan agar segera dingin. CEO itu tidak ingat kapan pastinya dia terakhir kali menerima perlakuan semanis ini. Mungkin sejak dia hidup seorang diri di apartemen. Semua teman kencannya hanyalah penghangat ranjang, tidak satu pun dari mereka yang memiliki cukup waktu untuk merawatnya ketika sakit. Axel biasanya membiarkan dirinya tertidur seharian dan bangun ketika merasa lapar, hanya untuk menyantap makanan cepat saji.
"Buka mulutmu," ucap Mysha dengan sendok terulur membuat Axel terkesiap. Namun hatinya kembali menghangat.
Rasanya aneh membiarkan seseorang menyuapi dirinya, tapi Axel memilih diam dan menikmati momen yang ada, membiarkan dirinya dimanja. Mysha dengan telaten memastikan lidah Axel tidak terbakar dengan meniupi bubur putih dengan kaldu ayam agar lebih dingin dan pria itu asik memperhatikan wajah Mysha dari dekat. Sesekali Mysha mengambil tisu untuk mengelap sisa nasi yang tersisa di dagu Axel, hingga akhirnya makanan itu tandas. Pria itu tersenyum lembut. Sepertinya akan menyenangkan bila waktu-waktu ini terus berlanjut.
Mengamati Mysha yang sibuk membereskan perlengkapan, membuat Axel membayangkan bagaimana bisa setiap pagi dia melihat wanita itu menyediakan sarapan dan menyambutnya dengan wangi makanan. Mungkin Axel akan memeluk pinggang ramping itu dari belakang, mengganggunya memasak. Lalu setelah hari yang panjang, alih-alih mengantar Mysha untuk berpisah, mereka dapat saling berpelukan di depan perapian hangat, bercerita tentang kejadian lucu atau membahas tentang masa depan.
Rasa hangat memenuhi benaknya, hingga sebuah senyum muncul di wajah. Axel hanya ingin menikmati saat-saat bersama dengan Mysha. Sesederhana itu keinginannya.
"Mungkin lebih baik kamu izin." Suara Mysha membawanya kembali. "Aku akan menghubungi Will--"
Terdengar jeritan kecil keluar dari bibir berlipstik merah muda tersebut ketika Axel menarik Mysha dalam pelukannya.
"Sudah kubilang aku hanya membutuhkan dirimu," bisik Axel ketika kepala Mysha bersandar di dadanya.
Jantung Mysha berlompatan ketika merasakan otot-otot kencang Axel bergerak ketika bernapas. Wangi musk yang menggoda membuat imajinasinya melanglang, namun tak lama kemudian deru napas Axel menjadi teratur. Matanya terpejam rapat tanda dia terlelap. Mysha berusaha untuk melepaskan diri tapi pelukan kekasihnya malah makin erat. Sambil berharap agar tidak ada orang yang memergoki mereka, Mysha membuat dirinya nyaman dalam pelukan Axel dan mendengarkan detak jantung Axel memberikan rasa aman, menjadi pengiringnya ke alam mimpi.
Mysha merasakan kesadarannya mengumpul. Wangi Axel dan rasa hangat membuatnya enggan untuk bangun, namun ketika dia ingat bahwa dirinya masih di kantor, membuat mata Mysha langsung terbelalak.
Berapa lama dia tertidur?!
"Morning, sweetheart." Suara bariton menyapanya, menggoda karena jelas ini masih siang. Jantung Mysha terlonjak, nyaris keluar dari dada.
Mysha mendongak dan menyadari bahwa wajahnya dan Axel begitu dekat. Bahkan dia dapat merasakan bulu-bulu halus di dagu Axel bergesekan dengan pipinya. Detak jantungnya kembali menggila. Dekapan erat pria itu pada pinggangnya membuat Mysha sadar mereka masih berbaring bersisian di atas sofa. Tubuh mereka menyatu tanpa ada jarak.
Demi Tuhan, ini masih jam kantor.
Mysha langsung mendorong Axel menjauh dan melepaskan diri dari pelukan pria itu, berusaha mengatur napas dan detak jantung. Sedikit menyesal kehilangan rasa hangat dan menyenangkan yang diberikan oleh dekapan Axel yang kokoh.
"Ba-bagaimana keadaanmu?" tanya Mysha masih belum berani memandang Axel.
Axel tidak menjawab, dia menatap Mysha dengan lekat dengan sebuah senyum yang kembali membuat jantungnya lepas kendali. Bibir Axel selalu menggoda untuk dicium dan Mysha berusaha tidak membayangkan bagaimana bila dia yang pertama kali memulainya. Selama ini Axel benar-benar menjaga diri untuk menghormati Mysha yang ingin hubungan mereka berdasarkan cinta, bukan nafsu, dan itu membuat Mysha makin sadar bahwa Axel serius dengannya. Wajah Mysha memerah ketika menyadari bahwa dia lagi-lagi jatuh cinta pada Axel dan segala usahanya untuk membuat Mysha nyaman.
"Lebih baik." Akhirnya Axel menyahut sambil bangkit dan menghampiri Mysha, mengecup lembut dahi wanita itu, walau sebenarnya dia lebih ingin mendorong Mysha ke atas sofa dan bercumbu di sana. "Sudah kubilang, aku hanya butuh dirimu."
Pukulan lembut mendarat di dada pria itu disambung dengan senyum malu-malu Mysha, membuat Axel harus ekstra keras menahan diri.
Mengapa kekasihnya ini begitu menggoda?
Axel berdehem untuk menyembunyikan usahanya mengalihkan pikiran sekaligus menenangkan rasa gugup ketika dia menyentuh kotak kecil yang tersembunyi di balik saku jasnya, berisi hal yang dia siapkan berhari-hari lamanya.
"Mysh, nanti malam, aku akan mengajakmu ke suatu tempat."
Mysha mengerjapkan matanya, bertanya-tanya.
Aku masih hectic sangat tapi suprisingly bisa ngetik 600 kata lebih banyak dari biasanya. Jangan protes kependekan ya. Kebanyakan gula ga bagus lho :p
Akan segera membalas semua komen :') tetap dukung CEO Project dengan voment ya ^^
Sampai jumpa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top