Happy CEO 36 - Akhir Ular Berbisa

WRITTEN BY AstieChan

Mysha merasakan kelegaan yang luar biasa mendengar penjelasan dokter. Jika Olivia tidak hamil seperti yang dikatakan dokter, artinya jatuh dari tangga bukanlah masalah berarti. Tidak ada bayi yang mungkin mati karenanya.

"Oh Tuhan, syukurlah... syukurlah," bisiknya berulang-ulang.

Axel mempererat dekapan tangannya di bahu Mysha, menenangkan dan meyakinkan gadis itu bahwa semuanya baik-baik saja. Semua sudah berakhir. Kekalutan, ketakutan, dan keraguan yang sempat ada di antara mereka telah lenyap.

Axel berusaha tetap tenang di depan Mysha, agar wanita berkacamata itu merasa aman di sisinya. Padahal amarah di dalam dadanya begitu menggelegak. CEO yang selalu bersikap analitis itu mencoba mengambil sisi positifnya. Paling tidak masalah kehamilan Olivia sudah selesai tanpa harus ia bersusah payah menyelesaikannya.

Meski begitu, Axel harus mengadakan perhitungan dengan Olivia agar wanita ular itu benar-benar menyingkir dari hidupnya. Axel sadar, wanita seperti Olivia bisa saja menggunakan seribu cara lain untuk kembali memisahkannya dan Mysha.

"Terima kasih, Dok. Apa kami sudah bisa menjenguk Miss Crawford?" tanya Axel. Kali ini dengan intonasi yang lebih terkontrol.

"Tentu. Tunggulah beberapa saat lagi sampai Miss Crawford sadar kembali," jawab dokter itu dengan ramah. Ia kemudian pergi meninggalkan Axel dan Mysha yang masih berdiri di depan ruang rawat IGD.

Axel segera memburu ke dalam IGD ketika dilihatnya tangan Olivia mulai bergerak. Ia tak akan membuang-buang waktu lebih lama untuk mengakhiri segala hal yang berhubungan dengan super model itu.

"Axel...?!" sebut Olivia ketika pandangannya mulai fokus selepas siuman. Hatinya membuncah melihat Axel berdiri di hadapannya, meski tubuhnya terasa sakit.

"Aku – Aku di mana?" tanyanya bingung. Olivia memijit kening dengan sebelah tangannya. "Oh... tanganku? Apa yang terjadi?" ucapnya sambil membolak-balik lengannya yang dibalut perban.
Olivia mengerjap, mengumpulkan kepingan ingatannya. Perlahan kesadaran mulai merayapi otak wanita yang baru saja terjatuh dari tangga itu. Ia mulai mengingat. Pertengkarannya dengan Mysha Natasha, wanita yang kini memenuhi benak Axel, tamparannya yang meleset, rasa sakit pada perut, punggung, bokong, dan tangannya saat terguling di tangga dan menabrak paving block.

Mysha harus merasakan balasannya! Pikirnya kesal.

"Kau sudah sadar?" tanya Axel dengan suara dalam dan tegas. Ketenangan dalam suaranya menunjukkan betapa terkontrol emosi pria itu sekarang. Axel menekan dalam-dalam amarahnya. Ia memerlukan kepala dingin untuk menghadapi ular berbisa di hadapannya.

"Oh, Axel. Wanitamu itu... dia menyerangku! Kau lihat apa yang terjadi padaku. Oh Tuhan, bagaimana aku akan menjalankan pekerjaanku dengan tubuh penuh memar begini?!" erang Olivia manja. Ia berusaha memutar balikkan fakta agar Axel bersimpati.

"Sudahlah Olivia, tak perlu bersandiwara lagi! Aku sudah tahu semuanya," geram Axel.

Olivia terbelalak. Kemudian melanjutkan aktingnya.

"Apa yang kau tahu? Kau hanya mendengar cerita wanita itu saja, bukan? Kau tidak ada di sana, kau tidak lihat bagaimana dia mendorongku! Demi Tuhan, aku hanya ingin bicara dengannya, sebagai sesama wanita." Olivia menitikkan air matanya.

"Tak usah membawa nama Tuhan. Kau sendiri yang menyebabkan dirimu celaka. Kalau saja kau tidak menyerang Mysha dan dengan ceroboh memakai stiletto saat hamil, tentu kau tidak akan berada di sini," pancing Axel.

Astaga! Olivia memucat. Ia lupa jika mengaku sedang hamil. Efek terburuk orang hamil ketika jatuh dari tangga adalah keguguran. Apa Axel sudah tahu bahwa ia berbohong?

"Dengar Axel, sebaiknya kau tinggalkan gadis kampungan itu! Kalau kau masih bersikeras tetap bersamanya, aku akan menuntutnya atas tuduhan penyerangan hingga menyebabkan cedera," ancam Olivia.
Wanita tinggi semampai itu berusaha mengalihkan perhatian Axel dari kehamilannya yang tidak nyata. Ia sudah terpojok hingga tak mampu berpikir jernih. Ancaman itu justru menjadi bumerang baginya.

"Kau yang sebaiknya dengarkan aku, Olivia!" Axel berkata dengan dingin. Ia sengaja memberi jeda sejenak. "Apa yang pernah ada di antara kita sudah berakhir. Dulu aku memang menyukaimu, tetapi sekarang hanya ada Mysha di hatiku. Aku mencintainya. Kuharap kau mengerti," lanjut Axel tenang.

Rahang Olivia berubah kaku. Ancamannya sama sekali tak dihiraukan. Ia merasa dicampakkan. Air mata pura-puranya berubah menjadi kesedihan yang sesungguhnya.

"Kenapa Axel? Kenapa kau lebih memilihnya daripada aku?! Apa kelebihannya?"

Axel menatap Olivia. Tentu saja ia masih kesal dengan apa yang telah diperbuat super model itu, tetapi melihat kesedihan di matanya tak urung membuat Axel iba. Bagaimana pun Olivia pernah menjadi bagian dalam hidupnya. Axel menarik napas panjang, ia harus menguatkan tekad agar tidak terpengaruh dengan perubahan sikap Olivia. Axel harus ingat, ia punya Mysha yang juga harus dijaga perasaannya.

"Tak perlu ada alasan untuk cinta. Kau dan dia sama-sama memiliki kelebihan. Ini hanya masalah hati, Liv," jawab Axel diplomatis.

Olivia menghapus air matanya dengan kasar. Buat apa ia menangis untuk orang yang tak lagi memikirkannya.

"Bagaimana dengan hatiku, Ax? Kau tak peduli, bukan?! Dengar, aku akan tetap mengajukan tuntutan terhadap kekasihmu! Mungkin saja Mysha tersayangmu akan mendekam di penjara."

"Silakan tuntut. Tapi kuperingatkan, kau tidak akan pernah menang di pengadilan mana pun! Kredibilitasmu diragukan. Kau telah berbohong dan memfitnahku dengan mengaku tengah mengandung anakku. Dan aku telah memegang surat keterangan dari dokter yang menyatakan kau tidak hamil. Sekali pengadilan tahu kau berbohong, maka kesaksianmu tidak lagi relevan," urai Axel tegas.

Wajah Olivia kian pucat. Namun berusaha untuk tetap tenang seolah-olah dirinya sama sekali tidak merasa terintimidasi.

"Aku bisa saja melaporkanmu atas tuduhan pencemaran nama baik. Paparazi tentu akan senang mendapatkan berita sensasional ini. Mereka akan mengerubungimu bagai burung pemakan bangkai. Dan namamu seketika akan hancur. Tidak ada lagi produsen yang akan menjadikanmu bintang iklan, tidak ada lagi desainer yang akan menjadikanmu model pada peluncuran busana terbaru mereka. Kau akan tamat, Oliv!" ujar Axel dengan memberi tekanan di setiap akhir kalimatnya.

Axel melengkungkan sedikit bibirnya ke atas. Kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga Olivia. Mata biru miliknya menatap wanita cantik itu penuh kemenangan.

"Kecuali kau berjanji akan menjauh dari kehidupanku dan Mysha, aku tidak akan melaporkanmu. Akan kuanggap masalah ini tidak pernah ada. Kau dan aku bisa menjalani kehidupan kita masing-masing dengan tenang."

Olivia terperanjat. Senyum yang biasanya selalu menghiasi wajah cantiknya tak lagi terlihat. Olivia telah kalah. Ancaman yang semula ia tujukan pada Axel berbalik menjadi senjata yang menyerangnya. Ia tahu sudah waktunya menyerah, wanita berambut pirang itu takkan menang melawan Axel Delacroix.

"Baiklah, kau menang. Tolong pegang janjimu, rahasiakan masalah ini," tukas Olivia.

Mysha mondar-mandir di selasar ruang IGD. Terkadang ia mengintip dari jendela kecil yang terletak di bagian pintu yang membatasi ruang itu. Ia benar-benar penasaran dengan apa yang Axel dan Olivia bicarakan.

Gemuruh amarah masih bertalu-talu di dada Mysha. Sungguh ia tak habis pikir jika ada wanita seperti Olivia Crawford, yang rela melakukan apa pun untuk mendapatkan Axel. Mengaku-aku hamil untuk memperoleh perhatian Axel sampai mengancam orang yang dianggap mengganggu jalannya. Wanita itu cantik - sangat cantik bahkan - super model, kaya, berbakat, ia pasti dengan mudah mendapatkan laki-laki lain yang mungkin jauh lebih hebat dari Axel.

Rasanya Mysha ingin melabraknya. Meski Mysha kasihan melihat kondisinya ketika terguling di tangga, ia masih belum bisa memaafkan wanita yang telah membuatnya patah hati hingga menangis berhari-hari itu. Terlebih lagi karena wanita itu membuatnya salah sangka terhadap Axel.

Tadinya Mysha ingin masuk menemui Olivia, tetapi Axel mencegahnya. Pria itu tidak ingin Olivia menyakiti Mysha lagi walau hanya lewat kata-kata. Kini ia menyesal telah menuruti Axel, menunggu membuatnya penasaran.

Mysha segera menghampiri Axel dan memburunya dengan pertanyaan ketika pria itu keluar dari ruang IGD.

"Bagaimana kondisi Olivia? Apa saja yang kalian bicarakan?"

"Kau pasti lelah, sebaiknya kuantar kau kembali ke apartemen. Nanti kita bicarakan di mobil," ujar Axel tanpa mengindahkan pertanyaan Mysha.

Pria bermata sebiru langit itu merangkul Mysha dan membimbingnya ke lobi rumah sakit. Dengan layanan valet, ia mengambil mobil hitam berdesain futuristik miliknya.

"Apa kata Olivia?" Mysha kembali bertanya saat mobil Axel mulai meninggalkan gerbang rumah sakit.

"Olivia berniat menuntutmu atas tuduhan tindakan tidak menyenangkan yang mengakibatkan cedera," jawab Axel tenang.

Mysha terkesiap. Kemarahannya terhadap Nenek Sihir yang belum reda itu semakin memuncak. Dengan segera ia mengeluarkan ponsel pintarnya.

"Aku harus menghubungi seseorang."

"Mau menelepon siapa?" tanya Axel menjulurkan tangannya untuk mengambil ponsel itu.

"Tentu saja Michael. Jika si Ular Betina itu ingin menuntutku, maka dia harus berurusan dengan pengacaraku. Aku percaya Mike akan membereskan semuanya."

"Mengapa harus Mike sialan? Apa kau tidak percaya bahwa aku pun mampu menyelesaikan masalah ini sebelum sampai di pengadilan?" Axel tak dapat menyembunyikan rasa cemburu yang merambat di dadanya ketika Mysha menyebut nama Michael.

"Kau ini kenapa? Bukannya aku tidak memercayaimu, aku hanya menempatkan masalah pada jalurnya. Berhubung yang akan dilakukan Olivia menyangkut ranah hukum, tentu saja Michael lebih tepat menanganinya. Apa kau cemburu?"

Mysha menatap wajah Axel yang berubah murung. Lantas meraih tangan pria itu dan menggenggamnya sesaat.

Rahang Axel mengeras, alisnya bertaut menatap Mysha.

"Ya, aku cemburu," akunya.

Mysha tersenyum melihat reaksi Axel. Hatinya melonjak mendengar pengakuan CEO tampan itu.

"Kau lucu," ucap Mysha menahan tawa. "Mike sudah seperti kakak bagiku. Kau tak perlu cemburu padanya," lanjutnya bersungguh-sungguh.

Axel melirik Mysha sekilas sebelum kembali berkonsentrasi menyetir. Seulas senyum tipis terbentuk di wajah pria berahang tegas itu.

"Kau pun tak perlu khawatir berlebihan. Masalah Olivia sudah selesai. Aku balik mengancamnya akan menuntut dengan pasal pencemaran nama baik jika ia berani membawa masalah ini ke jalur hukum. Dia tidak akan menang di pengadilan, kredibilitasnya diragukan karena telah memalsukan hasil USG dan berbohong tentang kehamilannya."

"Benarkah?" tanya Mysha penasaran. Matanya membulat menatap Axel.

"Oh Axel, terima kasih!" serunya tatkala Axel menjawab penasarannya dengan anggukan mantap.

Terbawa luapan kebahagiaan karena masalah-masalah berat di hadapannya telah lenyap, juga didorong oleh rasa terima kasih karena Axel menemani dan mendukungnya melalui masa-masa sulit, Mysha mencondongkan wajahnya. Ia mengecup singkat pipi Axel.

Axel terbelalak melihat Mysha yang masih tersenyum lebar ke arahnya. Aliran hangat terasa memenuhi rongga dadanya. Ia mengelus pipi yang tadi dikecup gadis manis itu.

HWAAAAAA!!! AKU HARUS NGELANJUTIN APAAAH?!!!

Kasih ide dong adegan2 yg bikin diabetes buat chapter senin :'< mumpung si ularnya udah pergi wkakakakaka :'3

Aku lagi hectic berat. Maaf kalau belum balas semua komen :'D Tetap dukung CEO Project dengan vomen ya ^^ akan tetap kubalas di sela-sela kesibukan hehehehe

See you at Monday!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top