Dying CEO 54 - Jawaban dari Harapan


Bab ini ditulis oleh AstieChan

Dicopy sama persis ke:
Passionate CEO
Night with CEO
The Wicked CEO

Mysha terperanjat, tak menyangka jika Axel akan langsung menolak permintaan tulusnya. Bagaimanapun Axel adalah orang yang pernah ia sayangi dan cintai. Tak mungkin ia bisa meninggalkan orang yang pernah begitu berharga dalam hidupnya berjuang seorang diri.

"Why?" tanya Mysha getir.

"Aku tak ingin waktu hidupmu dihabiskan untuk merawat dan melihatku menderita." Axel terbatuk lagi. Ia membuang wajah dari iris keemasan yang terpaku menatapnya.

"Kau pengecut!" ucap Mysha tegas.

Ucapannya terbukti mampu membuat Axel kembali berpaling ke arah Mysha.

"Kau bahkan memilih lari dariku daripada membicarakan masalahmu. Membuatku berkubang dalam kesalahpahaman yang sengaja kauciptakan. Kepura-puraanmu adalah bentuk kepengecutanmu karena kau tidak mau aku melihat kelemahanmu. Egomu yang membuat kita berpisah." Mysha membiarkan kalimatnya menggantung. Ia tak mampu membendung air mata yang tertumpah akibat gumpalan emosi yang begitu menyesakkan dadanya. "Atau sejak awal kau memang tidak pernah mencintaiku? Karena mencintai sejatinya adalah memercayai."

Axel kembali mengusap air mata Mysha yang berderai. Tampak sekali pria yang dulu kukuh itu mengerahkan segenap tenaga untuk mengangkat tangannya.

"Aku... Kondisiku hanya akan membuatmu sedih. Aku tidak akan sanggup memenuhi janjiku untuk selalu membuatmu bahagia. Maafkan aku, Mysh."

Mysha menatap netra biru yang dulu selalu berbinar penuh semangat kini begitu redup. Suara bariton yang dulu begitu meyakinkan dalam bernegosiasi, kini terdengar sengau tak jelas. Axel menjadi sulit bicara karena seluruh penjuru mulutnya penuh dengan sariawan.

"Axel Delacroix, kau benar-benar tidak mengenalku!" Mysha tertawa satir. "Kau pikir dengan pergi tanpa penjelasan itu akan membuatku bahagia? Aku menderita, dari hari ke hari berusaha melupakanmu, berusaha melanjutkan hidup. Aku sama sekali tidak bahagia," ucapnya pedih.

"Setidaknya kau menjalankan peran sebagai CEO dengan luar biasa. Aku selalu mengikuti berita tentangmu dan CLD." Axel memuji Mysha dengan tulus. Pria yang kini kurus kering itu mengatur napasnya, menatap wajah Mysha yang masih dipenuhi tanda tanya.

"Setidaknya CLD layak mendapatkan loyalitas dan kepercayaanku. Tidak seperti kau!" Mysha berkata penuh sarkasme. "Kau tidak tahu apa itu kepercayaan, padahal aku selalu berusaha percaya padamu. Setiap kali kau menjauh, aku masih tetap percaya padamu. Saat kau mengabaikanku, berpura-pura tidak melihatku, tak peduli dengan semua pesan dan teleponku, aku masih percaya bahwa kau mencintaiku. Semua akan baik-baik saja dan kita akan segera menikah." Mysha memberi jeda. Seolah kalimat yang ia katakan berikutnya akan sama menyakitkan.

"Tapi kau malah memamerkan selingkuhan pura-puramu dan pergi tanpa kabar. Kau menghancurkan kepercayaanku." Dada Mysha naik turun karena emosi. Satu tarikan napas ia embuskan untuk menenangkan hatinya yang mulai memanas. Dia harus tenang.

"Justru karena kau terlalu percaya padaku, aku memilih cara itu. Aku ingin kau menjauh dan membenciku. Maafkan aku." Jemari tangan Axel yang lemah terangkat, menyentuh lembut pipi Mysha. "Aku bersyukur mengetahui bahwa aku menderita AIDS tepat sebelum kita menikah," ucap Axel getir. "Sehingga aku tidak mungkin menulari virus itu padamu atau anak-anak kita kelak. Jika pun aku harus mati nantinya, aku akan mati dengan bahagia."

"Kau masih saja berpikir bahwa pernikahan adalah soal seks semata. Seandainya waktu itu kau bicara, kita pasti bisa melewatkan semua ini bersama-sama. Kau tidak akan semenderita ini. Kita- "

"Ssshh..." Axel menggelengkan kepalanya, memotong ucapan Mysha. "Tidak perlu berandai-andai. Karena kata andai hanya menimbulkan penyesalan. Semua memang salahku!" Axel menerawang. Kalimat terakhir yang diucapkannya membuka kembali daftar penyesalan yang selalu ia rasakan dalam setahun belakangan ini.

"Aku menyesal dengan semua arogansiku terhadap wanita, membuat mereka laksana budak seks bagiku, padahal sebenarnya akulah yang diperalat nafsuku sendiri." Axel terbatuk. Mysha membantunya meminum lagi beberapa teguk air.

"Aku menyesal karena tidak pernah mau berurusan dengan dokter dan menjalani pemeriksaan rutin. Semua sudah sangat terlambat ketika aku mengetahui virus apa yang bersarang di tubuhku," ucap Axel terbata. Pandangan matanya meredup kala ia menatap tangan kurusnya yang dipasang selang infus.

"Kau berhak mendapatkan cinta dari lelaki yang setia, yang jauh lebih baik dariku. Mysh, aku tahu betapa tangguhnya kau mempertahankan prinsipmu..." Lagi-lagi Axel berhenti. Satu tarikan napas panjang terdengar. "Itulah yang membuatku tertarik padamu. Meskipun aku melihat tatapan mendamba di matamu setiap kali kita bersama, kau selalu bisa mengendalikannya."

Mysha mengeratkan pegangan tangannya di jemari Axel. Ia tak ingin menghakimi, bagaimanapun Axel telah menyesali kesalahannya. Tuhan, seandainya bisa sungguh wanita berhati lembut itu ingin mengurangi penderitaan pria yang pernah dicintai dan menjadi bagian penting dalam hidupnya.

"Maafkan aku, Mysh. Sebaiknya kau pulanglah. Aku lelah." Axel memejamkan mata. Ia tak ingin melihat reaksi Mysha atas pengusirannya barusan.

Mysha menatap wajah pria yang tampak tirus itu dengan saksama. Namun Axel sepertinya sudah tak menginginkan dirinya di situ.

"Istirahatlah. Aku akan menemanimu sampai kau tertidur."

Axel ingin membantah, tetapi tenaga yang dimilikinya takkan mampu mengalahkan kekeraskepalaan Mysha Natasha.

Mysha terus menunggui Axel, kadang bersenandung, kadang bercerita. Ketika mantan CEO itu terlelap, Mysha mengecup singkat kening Axel lalu meninggalkannya.

Mysha meninggalkan kamar tidur utama apartemen mewah di pinggiran kota New York itu dengan perasaan gamang. Semua teka-teki yang dulu mengganggu tidurnya memang telah terjawab. Namun hal itu justru menimbulkan pertanyaan lain yang berkecamuk di dalam hatinya. Axel seakan-akan sedang menghukum dirinya sendiri.

"Sudah selesai?" tanya William datar ketika Mysha muncul di ruang tamu.

Mysha mengangguk. "Aku tak menyangka..."

"Sudahlah," potong William sambil menepuk lembut bahu Mysha. "Tidak ada yang bisa kita lakukan lagi. Aku sudah berusaha memanggil dokter spesialis terbaik di New York, tapi sejauh ini terapi yang mereka berikan tampak tidak banyak berpengaruh. Sudah sangat terlambat, virus itu sudah mereplika dirinya dan menggerogoti sistem tubuh Axel." William menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan, dalam hitungan detik ia telah menguasai dirinya kembali. Memasang wajah datar yang sulit dibaca.

"Aku tahu semua ini berat untukmu, tapi kau- kita harus kuat. Demi Axel." William kembali menyemangati Mysha.

William mengajak Mysha keluar dari apartemen Axel, membimbingnya berjalan menuju tempat parkir. Sebelum mengendarai mobilnya, ia mengeluarkan ponsel dan menekan fast dial untuk menelepon seseorang.

"Ya, kami sudah selesai. Segeralah kembali."

Pria bermata emerald itu berkata tegas sebelum menutup sambungan telepon.

"Apa dia perawat yang menjaga Axel?" tanya Mysha penasaran.

William hanya mengangguk menjawab pertanyaan Mysha. Wanita dengan rambut perak yang berkilauan itu mendesah lega. Ia bersyukur ada profesional yang menjaga dan merawat Axel.

Kesibukan kembali mendera Mysha seiring waktu yang terus bergulir. Annual meeting sudah di depan mata. Banyak hal yang harus dipersiapkan, mulai dari laporan, rencana pengembangan sampai target yang harus disusun.

Seperti biasa, kota New York selalu bersolek menyambut Natal. Papan-papan reklame menampilkan iklan bernuansakan Natal. Begitu pula dengan toko-toko dan pusat perbelanjaan. Santa Claus dengan kereta rusanya yang membawa hadiah bagi anak-anak baik. Andai Mysha juga bisa memohon hadiah natalnya, ia ingin Tuhan mengirimkan mukjizat bagi kesembuhan Axel.

Mysha hanya bisa berdoa dan berusaha untuk menepati janjinya. Meski akhir-akhir ini wanita berusia 29 tahun itu sering bekerja lembur, tetapi ia menyempatkan diri mengunjungi Axel di akhir pekan. Tentu saja William ikut menemani. Pria yang telah mengenal Mysha sejak kecil itu tak mungkin membiarkan Mysha berkendara sejauh itu sendiri. Apa lagi musim dingin di New York termasuk ekstrim, badai salju bisa saja datang tiba-tiba.

Kondisi pria yang dulu selalu menjadi incaran setiap wanita itu masih tak jauh berbeda dari pertama kali Mysha melihatnya. Axel pun masih berkeras tidak mau dirawat oleh Mysha, meskipun ia tidak menolak kunjungan wanita bermata keemasan itu.

Udara dingin melingkupi kota New York. Musim gugur memang sudah beralih ke musim dingin, pucuk pohon dan atap gedung berwarna putih, tertutup salju. Mobil-mobil pembersih salju bekerja menyingkirkan tumpukan salju dari jalan agar bisa dilalui kendaraan.

Minggu yang sibuk bagi Mysha hampir berakhir. Dia sudah menyelesaikan seluruh laporannya, hanya ada beberapa hal yang harus direvisi setelah diperiksa oleh William. Annual meeting akan berlangsung dua hari lagi. Setidaknya Mysha masih punya waktu untuk mempersiapkan diri lebih baik menghadapi agenda tahunan terbesar CLD itu.

Mysha baru saja membereskan mematikan laptopnya ketika pintu ruang kerjanya diketuk.

"Masuk!"

"Have you finished?" tanya suara datar di balik pintu yang baru saja kembali tertutup.

"Will...," sapa Mysha seraya mendongak. "Wait a minute. Aku baru saja akan membereskan barang-barangku."

William menunggu dengan tenang, meski sebenarnya pria dengan rambut sewarna tanah liat itu sedang terburu-buru.

"Kau mau makan malam dulu atau langsung pulang?" tanya Mysha santai. Mood-nya sedang bagus hari ini. Meeting internal bersama para manajer tadi berlangsung dengan baik.

William melirik arlojinya. Tak akan sempat jika mereka harus makan dulu. Apalagi prakiraan cuaca malam ini akan turun salju.

Pimpinan CLD itu hanya diam, mengambil tas laptop dari tangan Mysha dan membimbingnya keluar kantor.

Tanpa kata William terus melajukan mobilnya menembus kepadatan lalu lintas kota New York. Ia hanya mampir membeli makanan cepat saji melalui lantatur. William menyuruh Mysha memakannya selagi hangat, kemudian menikmati setiap gigitan sandwich sembari menjaga konsentrasi menyetir.

Berkali-kali Mysha bertanya tentang tujuan mereka, tetapi hanya hening yang didapatnya. Mysha pun diam, membuang pandangannya ke luar jendela. Jalan yang mereka lalui semakin sepi, ke arah pinggiran kota New York. Mysha mengenal jalan yang mereka lewati, jalan menuju Greenwich Village.

"What happen with Axel?" Wanita berkacamata itu menatap lurus William. "Will, kumohon katakanlah! Apa yang terjadi?"

"Tenanglah, Mysh. Aku pun belum tahu pasti. Sebaiknya kita berdoa, semoga Axel baik-baik saja," ujar William tanpa ekspresi.

Salju mulai turun ketika mobil William tiba di Astor Place. Butiran-butiran putih dan lembut itu melayang-layang di udara sebelum jatuh menyentuh permukaan tanah. Pria tanpa ekspresi itu memarkir mobilnya di dekat akses lift apartemen berlantai 21 itu.


William menempelkan kartu pass-nya untuk membuka pintu. Mysha langsung menghambur ke kamar utama, tempat Axel terbaring lemah. Matanya terpejam, napasnya tersengal-sengal dibantu selang oksigen yang dihubungkan ke hidungnya.

"Axel...!" panggil Mysha di depan tubuh yang tergolek tak berdaya.

"Apa yang terjadi? Axel tidak apa-apa, kan?" Rentetan pertanyaan keluar dari mulut Mysha ketika dilihatnya perawat laki-laki berdiri di tepi ranjang Axel.

"Tenanglah, Miss. Sebaiknya kujelaskan di luar." Perawat itu menggiring Mysha dan William ke ruang tamu.

Tak lama kemudian ketiganya sudah duduk di sofa ruang tamu apartemen Axel. Jendela tanpa tirai memberikan pemandangan salju nan sendu.

"Mr. Delacroix dalam keadaan kritis. Dokter tadi datang memeriksa dan memberikan beberapa tindakan, tapi kondisi Mr. Delacroix terus menurun. Aku tidak tahu sampai kapan ia mampu bertahan, dokter memperkirakan ia tidak akan mampu melewati malam ini." Perawat itu menatap William dan Mysha bergantian.

"Ooh, Tuhan!" pekik Mysha. "Will... " Mysha merasakan tubuhnya melemas. Gelombang kecemasan menghantamnya. Air mata menetes tanpa bisa dibendungnya.

"Tenanglah," bisik William seraya mendekap Mysha ke dadanya. "Kita akan menemaninya sampai akhir. Hapus air matamu, kau tak mau Axel melihatmu menangis, bukan," bujuk William lembut.

Mysha menurut, dengan punggung tangan ia mengelap air mata yang tersisa. Setelah Mysha bisa mengontrol emosinya, William menuntun wanita itu ke kamar Axel.

Mereka menatap tubuh Axel yang begitu lemah di atas ranjang. Selang-selang yang menempel di tubuh ringkih itu lebih banyak dari yang terakhir mereka lihat pada kunjungan sebelumnya.

Axel membuka matanya perlahan. Ia mengerjap beberapa kali untuk memfokuskan pandangannya.

"Mysh... Kau datang." Suara bariton Axel terdengar sangat lemah.

Mysha mengangguk. Tangannya meraih jemari Axel lalu menggenggam tangan yang terasa dingin.

William menyentuh tangan Axel lalu menepuk lembut bahu Mysha.

"Take your time," katanya seraya keluar meninggalkan mereka berdua.

"Apakah salju turun malam ini?" Dengan kalimat terpatah-patah Axel bertanya. "Aku ingin melihat salju bersamamu."

Mysha tersenyum mengangguk. Dia bangkit untuk membuka gorden yang menutupi kaca jendela besar di kamar Axel. Cahaya temaram lampu jalanan memperlihatkan butir-butir salju yang turun bagai kapas melayang.

Axel berterimakasih. Bibirnya melengkungkan senyum yang sangat jarang diperlihatkannya. Wajah tirusnya berseri-seri.

Mati-matian Mysha menahan air matanya. Kondisi Axel begitu lemah seperti mengisyaratkan bahwa kaki kematian telah mendekati ranjangnya.

Lama Axel terdiam, ia mengumpulkan kekuatan untuk bicara. Jemari tangannya yang dingin menekan telapak tangan Mysha.

"Maafkan aku, Mysh," ucap Axel dengan napas tersengal. Kembali ia diam, memberi jeda di setiap kalimat yang diucapkannya dengan lemah. "Aku ingat hari ini adalah hari di mana aku memutuskan pertunangan kita."

"Sudahlah, kumohon jangan membahas hal itu lagi." Mysha tak ingin mengingat kenangan menyakitkan yang memisahkan mereka, apalagi di saat kondisi Axel yang sedang kritis.

Axel mengangguk lemah. Matanya memandang salju yang turun di luar jendela, membuat pikirannya menerawang.

"Andai penyakit ini tidak ada...," ucapnya terbata. "Saat ini kita pasti sudah menikah dan bahagia." Lagi-lagi ia terdiam sejenak, mengatur napasnya.

Mysha tersenyum. Jemarinya mempererat genggaman tangan Axel.

"Kau benar. Saat ini mungkin kita sedang duduk di depan perapian, menatap salju berdua. Menantikan Natal tiba sambil menantikan kelahiran anak kita," ujar Mysha menanggapi khayalan Axel.

Mata Mysha memandang salju di luar yang semakin tebal. Mysha tak ingin Axel kelelahan karena bicara. Untuk itu ia mengambil alih obrolan, bercerita mengingat kembali kenangan-kenangan indahnya bersama Axel. Lamaran istimewa di planetarium, gaun pengantin yang sangat indah.

"Mysh, lanjutkanlah hidupmu. Bahagialah," ucap Axel dengan napas tersengal.

Mysha memeluk tubuh kurus yang terbaring di atas ranjang. "I will," ucapnya getir.

Desahan napas Axel makin tak teratur, lalu matanya terpejam. Bibirnya perlahan bergerak mengucapkan terima kasih tanpa ada suara yang terdengar.

Mysha terus bicara sambil mengelus lengan Axel. Mengungkapkan kenangan-kenangan yang sudah lama dikuburnya.

Perlahan jemari tangan Axel yang tergenggam di bawah tangan Mysha semakin melemah dan terasa dingin. Desah napasnya berhenti. Sebuah senyuman terukir di wajahnya.

"Axel," panggil Mysha.

Tak ada jawaban terdengar.

"Axel...!" pekik Mysha diiringi tangisan yang pecah. Ia memeluk tubuh Axel berusaha membangunkan pria itu. Namun pria itu tetap diam dalam tidur paling damai.

MASIH ADA EPILOG
MASIH ADA EPILOG
MASIH ADA EPILOG

MASIH ADA GIVEAWAY

Jadi stay tune!

Salut sama Asti yang udah nulis cerita seindah ini :')

Sesuai janji kami memberikan happy ending bagi Axel. Karena bahagia tidak selalu berbicara tentang dua kekasih yang bersatu

Masih ada epilog untuk penutup kisah manis ini. Sampai jumpa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top