Desperate CEO 31 - Dibekap Rindu

Axel menahan senyum ketika melihat wajah Olivia yang memucat. Ular betina ini sepertinya memang mempermainkan dirinya. Baguslah, ini berarti hubungannya dengan Mysha masih bisa diselamatkan.

Axel tetap memasang wajah dingin dan datarnya ketika dia berkata, "Ada masalah? Aku hanya mulai menjalankan peranku sebagai ayah yang baik, setelah meyakinkan diri bahwa janin itu memang milikku."

"Tidak, tidak ada masalah." Olivia kembali menata wajahnya seakan tidak terjadi apa-apa, bahkan dia sempat menyunggingkan senyum yang dulu pernah membuat Axel ingin mencecap bibirnya. Sayangnya, kini hal yang sama justru membuat Axel ingin menampar pipi bersapu blush-on itu. "Sayang sekali, selama beberapa hari ke depan aku akan sangat sibuk. Kamu tahu, aku masih bekerja, ada jadwal pemotretan yang tidak bisa ditunda."

Ingin sekali Axel melemparkan piring keramik ke wajah yang pura-pura memelas itu, namun sebagai gantinya dia justru mencondongkan tubuh dan berkata pelan, membuat kata-katanya menjadi setajam pisau. "Kamu tidak boleh terlalu capek, Sayang. Bagaimanapun juga, kamu sedang mengandung."

Sebuah seringai muncul di wajah Axel, membuat ekspresi Olivia menjadi dingin. Semua kesan sensual dan menggoda dari gerak-geriknya hilang.

"Aku akan menghubungimu lagi, Sayang. Untuk membuat janji dengan dokter kandungan. Pastikan pada saat itu, kamu mengaktifkan telepon genggammu." Axel berdiri dan mengusir pelayan yang hendak berjalan ke arah mereka membawa pesanan mereka, meninggalkan Olivia yang terpaku ketika pelayan menata makanan yang terlalu banyak bagi dirinya.

Esok paginya, Axel sudah menunggu di depan apartemen Mysha, berusaha mencari celah agar bisa menemui wanita yang membuat pikirannya berputar-putar. Olivia sementara ini bisa dibungkam. Sejak semalam, ular berbisa itu tidak lagi menerornya dengan panggilan dan pesan singkat. Ini waktu yang tepat untuk menjelaskan segalanya pada Mysha. Hati Axel dibelit rasa rindu yang amat sangat, seluruh panggilannya dialihkan dan pesannya tidak dibaca. Ini pertama kalinya dia ingin bertemu seorang wanita hanya untuk mendengarnya berbicara dan tersenyum. Hanya itu. Bukan rindu dengan bagaimana tubuh mereka bersentuhan. Axel mengacak rambutnya yang sudah dia tata sedari pagi. Dirinya pasti sudah gila berpikiran seperti itu.

Lamunan Axel terpecah ketika dia mendengar suara ban mobil berdecit dan melihat Michael keluar dari mobil putihnya. Tidak perlu waktu lama sampai tatapan mereka bertemu dan pria itu mendekati Axel dengan aura membunuh.

"Untuk apa kamu kemari?" tanya Michael dingin.

"Untuk bertemu dengan General Manager CLD," balas Axel tajam. "Apakah ada peraturan perusahaan yang melarang hal tersebut?"

Michael mendengkus. "Sayang sekali yang bersangkutan menolak untuk bertemu denganmu, apakah ada perkataan kemarin yang kurang jelas."

"Aku hanya ingin menjelaskan kesalahpahaman." Suara Axel melunak. Tidak mempercayai dirinya nyaris memohon agar diizinkan bertemu dengan Mysha.

"Tidak ada yang perlu dijelaskan." Michael berjalan menaiki tangga menuju pintu utama apartemen Mysha. "Lebih baik kamu pergi sebelum aku keluar bersama Mysha atau dia akan melihatku menghajarmu."

Axel terdiam sesaat. Ingin sekali dia melawan, tapi dia tahu bahwa itu bukan strategi yang tepat. Sebagai seorang CEO dia tahu kapan harus maju dan kapan harus mundur dan saat ini, walau dengan berat hati mengakui, adalah saat terbaik untuk mundur. Tanpa berkata apa pun, Axel kembali masuk ke dalam mobil dan menyetir menuju CLD.

Beberapa hari ke depan adalah neraka bagi Axel. Bila selama ini dia merasa Olivia menerornya adalah kejadian terburuk, Axel harus mengakui bahwa hal itu salah. Tidak berbicara atau bertemu dengan Mysha adalah neraka sesungguhnya. Sementara Olivia menghilang ditelan bumi, pikiran Axel dipenuhi oleh Mysha dan bagaimana mencuri waktu agar bisa menjelaskan masalahnya. Michael menempel seperti benalu dan pergi ke manapun Mysha pergi, menjemput dan mengantar pulang, bahkan pada saat jam makan siang makhluk itu tidak lepas dari wanitanya. Axel meradang. Pada saat jam kerja, Mysha benar-benar menghindarinya dan mengurung diri di kantor. Seluruh laporan dilakukan melalui surel atau melalui sekretaris Axel. Pintu kantor Mysha selalu terkunci. Axel merasakan keputusasaannya memuncak. Belum pernah seumur hidupnya dia merasa tidak berdaya, hanya karena satu wanita menolak menemuinya. Hanya ada satu pilihan terakhir yang belum dia lakukan.

Sore itu, Axel menunggu di depan kantor Mysha dan sesuai dugaan, Michael keluar bersama dengan Mysha. Melihat bagaimana senyum Mysha kembali ketika berbicara dengan Michael membuat Axel makin merana. Apakah Mysha benar-benar sudah melupakannya dan memilih bersama dengan pengacara itu? Axel menguatkan hati dan melangkah ke arah mereka.

"Kamu lagi," geram Michael, mulai mengangkat tinjunya. Mysha menahan tangan Michael, membuat pria itu kembali tenang.

Axel melihat sentuhan mereka dan emosinya makin bercampur aduk. Kapan terakhir kali Mysha menyentuhnya seperti itu? Dilihatnya wajah Mysha yang datar, membuat Axel bingung harus memulai dari mana. Terlalu banyak kisah yang harus dia bagi pada Mysha, namun dibatasi oleh waktu. Tentang Olivia, tentang petualangannya bersama para wanita sebelumnya, tentang penyesalan dan berbagai macam hal.

"Tolong minggir." Suara Mysha membuat Axel kembali mendarat, mengingatkan akan tujuannya di sana.

"Tidak," balas Axel teguh. "Kita harus berbicara, Mysh. Izinkan aku untuk menjelaskan semuanya. Apa pun yang kamu lihat atau dengar, Mysh."

Air mata menggenang di wajah Mysha membuat hati Axel kembali terlilit rasa pedih. "Mr. Delacroix, aku melihat Anda mencium gadis itu di lobi. Apalagi yang perlu dijelaskan?"

"Mysh?" Michael langsung menyodorkan sapu tangannya, mengusap lembut bahu Mysha untuk menenangkannya. "Abaikan dia."

"Itu salah paham!" seru Axel kehilangan ketenangannya. "Dia yang menciumku! Jika kamu melihat dengan mata kepalamu sendiri, kamu akan tahu apa yang terjadi, Mysh! Bahkan setelah itu aku mendorongnya pergi. Tidakkah kamu melihat itu?" Axel terdiam sejenak. Ada luka di mata birunya. "Atau sebegitu brengseknya aku di matamu?"

Mysha terdiam dan memandang Axel dengan wajah ternganga, tidak menyangka Axel akan membalasnya dengan kata-kata yang terdengar begitu putus asa. Mulutnya membuka ingin berkata sesuatu, namun Michael menariknya pergi dari sana.

"Jangan biarkan pria brengsek itu membuatmu bimbang," bisik Michael ketika mereka meninggalkan Axel di belakang.

Mysha tidak menjawab, namun tidak bisa menahan diri untuk menoleh ke belakang. Harus diakui dia begitu merindukan Axel. Selama beberapa hari terakhir ini, senyum Axel yang membayanginya, menemani saat-saat bimbang apakah dia harus melepas atau menjaga perasaannya pada pria itu. Melihat wajah sendu pria yang biasanya arogan itu sekali lagi membuat perasaannya goyah. Rasa cinta dan rindu meruak keluar tanpa terkendali dan ingatan tentang kebersamaan mereka serta perlakuan Axel yang manis hanya untuknya kembali terputar dalam benak.

Haruskah dia memberikan Axel kesempatan untuk menjelaskan?

Mysha tidak yakin.

Bagaimana bila Axel berbohong?

Wanita itu menutup mata, ekspresi Axel yang terluka menghunjam jantungnya dengan rasa pedih. Lagipula, Mysha kembali memutar ingatannya, kejadian yang di lobi itu benar sesuai dengan pembelaan Axel. Ya, Mysha melihat wanita berambut pirang itu yang mencondongkan tubuhnya dan berjinjit kecil untuk mengecup bibir Axel. Pria itu hanya berdiri tegak dan menjaga jarak.

Perasaan bimbang memenuhi benak Mysha ketika dia berada di dalam mobil Michael, membelah kota New York. Wanita itu tidak merasakan bagaimana dirinya bisa berada di dalam kamar. Semua kejadian setelah pertemuannya dengan Axel seperti mimpi dan Mysha mendapati dirinya sudah memegang telepon genggam, mengamati nama Axel dan pesan-pesan yang pria itu kirimkan. Pesan singkat penuh nada putus asa dan kerinduan, membuatnya goyah. Mysha mungkin akan menyesali keputusan ini, tapi dia tidak bisa menghentikan jarinya mengetikkan pesan untuk membalas Axel.

Kita perlu berbicara.

Hai readers! Ketemu denganku yang menggantikan Shirei untuk up hari ini :D

Terima kasih atas dukungan dan doa kalian yah! Kondisi Shirei sekarang sudah makin membaik dan dia sudah bisa cao dari RS :3 semoga penyembuhannya berjalan lancar dan dia dapat segera kembali menulis bersama kami ^^

Jangan lupa untuk voment CEO Project sebagai dukungan dan rabu depan akan ditulis oleh Asti :3

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top