Denial CEO 46 - Kenyataan yang Menusuk

Mungkin Axel tidak melihatnya.

Mysha berusaha untuk mencari penjelasan.

Mungkin tunangannya sedang sibuk mempersiapkan banyak hal sehingga pikirannya melayang. Ya benar, Axel pasti sedang terlalu fokus memikirkan pekerjaan.

Mysha berusaha untuk menyemangati diri, namun setiap kali dia melihat ponsel yang sunyi, membuat hatinya kembali merasa gelisah. Tabel dan angka yang berada di depannya menuntut diperhatikan tapi hatinya menolak. Kejadian tadi siang berputar berulang kali dalam kepalanya. Tidak pernah sejak mereka memulai hubungan mereka, Axel mengabaikan dirinya. Mysha berusaha memasukkan perhitungan pada program komputer. Tapi saat ini, bahkan pesan-pesan Mysha tidak dibalas oleh pria itu.

General Manager itu menghela napas. Dia bimbang, apa yang harus dilakukan. Saat keadaan menekannya dari berbagai sisi, tenggat waktu perusahaan dan persiapan pernikahan, Mysha hanya berharap bisa mendengar suara Axel, memberikan semangat dan mengatakan semuanya baik-baik saja. Jari lentik Mysha meraih ponsel pintar dan menekan tombol dial, menunggu beberapa saat sampai mesin penjawab telepon menyapa. Axel lagi-lagi tidak mengangkat panggilan.

"Axel, aku merindukanmu." Mysha berkata dengan bibir bergetar, menahan emosi. "Hubungi aku begitu kau ada waktu. Love you."

Terdengar bunyi beep panjang. Wanita itu menghela napas, tidak ada yang bisa dia lakukan. Maka, dengan segala konsentrasi yang bisa dikumpulkan, Mysha memusatkan pikiran pada perhitungan proyeksi keuntungan CLD setahun ke depan. Angka-angka itu tidak akan menjumlahkan diri mereka dengan sendirinya.

Seminggu berlalu sejak kejadian lift, Mysha masih belum bisa menghubungi Axel. Pria itu benar-benar seperti lenyap ditelan bumi. Setiap kali dia datang ke kantornya untuk mengajak makan siang, Axel sudah menghilang. Percakapan mereka baik lewat telepon dan pesan, berakhir dengan tergesa, seakan Axel sedang dikejar oleh monster raksasa yang menggulungnya dalam kesibukan. Nada suaranya dingin, membuat Mysha bertanya-tanya ke mana tunangannya yang begitu hangat.

Jantung Mysha berdetak kencang, rasa takut dan gelisah mencengkramnya erat.

Apakah terjadi sesuatu pada Axel?

Apakah dia melakukan kesalahan hingga Axel membencinya?

Wanita bernetra emas itu menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran-pikiran buruk. Pertemuan terakhir mereka adalah ketika dirinya membawakan sarapan ke apartemen Axel, jari Mysha saling meremas di atas pangkuan. Ketika itu Axel terlihat sibuk tapi masih berusaha meluangkan waktu untuk menemaninya. Perasaan tidak enak merambat masuk ke relung hati, keraguan merebut cahaya harapan.

Apakah Axel menyesal telah melamar?

Atau pria itu selama ini hanya mempermainkannya?

Air mata Mysha menggenang. Perasaannya kacau. Dia berusaha mati-matian agar masalah ini tidak memengaruhi performanya sebagai seorang general manager, tapi harus diakui, semakin hari, semakin sulit menampilkan topeng bahwa dia baik-baik saja.

Terdengar bunyi pesan masuk.

Sekejap mata, Mysha menyambar ponsel tersebut dan melihat siapa yang mengiriminya. Namun, lagi-lagi balon kebahagiaannya menyusut. Bukan Axel.

"Bagaimana kabarmu?" Mysha melihat kalimat yang terpampang di sana. Dari Michael. Pengacara muda itu sedang sibuk dengan kasus fraud salah satu kasino besar di Las Vegas, namun tetap menyempatkan diri untuk menyapa Mysha.

"Baik," balas Mysha menyadari hatinya menghangat, masih ada orang yang peduli padanya. "Bagaimana kabarmu?"

"Sibuk. Aku baru bisa kembali ke NYC pada malam natal." Michael membalas pesan itu dalam waktu singkat. "Bagaimana persiapan pernikahanmu?"

Hati Mysha kembali dilanda badai. Bagaimana dia akan membalas pesan itu? Berulang kali dia menelan ludah sebelum akhirnya dia mengetik, "Lancar, kau harus datang!"

"Pasti! Maaf aku harus pergi. Sampai jumpa."

Mysha tidak membalas, dia hanya menatap pesan terakhir Michael dengan gamang. Dia tidak bisa memberitahu masalahnya dengan Axel. Michael pasti akan mengambil penerbangan paling awal untuk menghajar Axel bila tahu kalau CEO itu mengabaikannya. Untung saja, orang yang dianggapnya kakak itu hanya mengirim pesan, sehingga dia tidak perlu mendengar suara Mysha yang bergetar menahan tangis.

Satu helaan napas dan Mysha kembali berkutat dengan layar komputer. Dia tidak boleh gelisah dan belajar percaya pada Axel. Sebuah senyum muncul pada bibirnya, mengingat semua hal yang sudah Axel lakukan. Mulai dari melamarnya di bawah lautan bintang, perhatian-perhatian kecil yang membuat dirinya melayang, sampai menjaganya siang dan malam di rumah sakit. Hubungan mereka akan baik-baik saja setelah apa yang sudah mereka alami bersama.

Dengan semangat baru, Mysha mengerjakan pekerjaannya dengan lebih cepat hingga sekretaris William menghubunginya, meminta agar Mysha menjelaskan kepada atasannya tentang proyeksi keuntungan CLD tahun depan, sebelum annual meeting lusa. Wanita itu segera menatap dirinya di kaca rias dan merapikan dirinya, menyapukan bedak lebih banyak pada area mata agar menutupi kantung mata dan bengkak akibat begadang sekaligus tangis. Setelah memastikan dia tampak normal, Mysha berjalan keluar dari kantor.

"Masuk." Seperti biasa suara William yang datar menyambutnya ketika mengetuk pintu.

Mysha berjalan dan melihat sang direktur mengangkat kepala, menatapnya sedikit lebih lama dari biasanya, membuat Mysha gugup. Dia bertanya-tanya apakah William sadar akan keadaannya.

"Mengenai proyeksi keuntungan yang sudah kau buat." William berkata seakan tidak terjadi apa-apa, kembali menekuri tab yang berada di tangannya. "Aku rasa ada data yang belum kau masukkan."

Kalimat itu membuat Mysha kalang kabut dan langsung mengecek sekilas tab di tangannya. Seketika dia menahan napas, merutuki kebodohannya.

"Maaf, Sir!" seru Mysha panik. "Saya akan segera memperbaikinya dengan menambahkan perhitungan proyek kita di Dubai. Maaf, saya tidak memperhatikan jatuh tempo proyek yang tiba di akhir tahun depan."

Terdengar helaan napas samar, membuat Mysha makin takut. Tangannya terasa berkeringat.

"Selesaikan sebelum besok." William berjalan menuju mesin kopinya, mengeluarkan kopi St. Helena dari rak dan menyeduhnya dengan keahlian setara barista. Mysha hanya bisa menatap punggung berbalut kemeja biru itu dalam diam, berdiri kaku sambil terus mengingat-ingat kesalahan apa lagi yang terluput. Berharap bahwa William tidak memecatnya karena masalah sepele ini.

"Kopi?" tawar William sambil menyodorkan salah satu cangkir kepada Mysha.

Tawaran yang tidak bisa ditolak. Salah satu hal yang disukai Mysha dari kantor William adalah berbagai macam kopi eksotis yang bisa dia nikmati di sana. Mysha mengambil benda itu sambil menggumamkan terima kasih dan berusaha tersenyum.

"Aku maklum jika kau sibuk." William membuka pembicaraan. "Tapi aku tetap berharap performa terbaik ketika annual meeting. Banyak kerjasama dan keputusan investor akan ditentukan dari hasil rapat tahunan itu."

Mysha mengangguk penuh rasa bersalah. Pikirannya terbagi banyak hal dan harus dia akui, pekerjaan adalah hal terakhir yang dia ingat. "Ma-maaf ...."

"Ada masalah?" tanya William menyesap kopinya, datar, seakan bertanya tentang cuaca.

Aroma kopi memenuhi rongga penciuman Mysha, membuatnya lebih tenang. William memang tahu sesuatu yang tidak beres. Dia selalu merasa pria itu punya mata-mata di mana-mana, melaporkan banyak hal yang terjadi di perusahaannya. Namun, apakah perlu merepotkan atasannya untuk hal-hal di luar pekerjaan?

Mysha menggeleng pelan sambil tersenyum, berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.

"Axel memang sedang sibuk." William kembali berkata sebelum Mysha membuka mulut untuk menjawab. Pria itu lalu terdiam sejenak, berpikir. "Tapi kurasa aku bisa berbicara dengannya untuk mengatur jadwalnya dengan lebih baik."

Mendengar itu, Mysha langsung terperangah. "Ti-tidak perlu, Sir. Saya sendiri yang akan berbicara dengan Axel."

Pria itu meneguk habis kopinya. "Baiklah."

Walau berkata akan menyelesaikan masalahnya sendirian, Mysha tetap saja gugup ketika berdiri di depan pintu apartemen mewah milik Axel. Bayangan penolakan yang dia alami selama seminggu ini kembali membayangi pikiran, tapi dirinya tidak bisa mundur. Setelah mengirimkan pesan singkat pada Axel semalam, bahwa dia akan datang membawakan sarapan sebelum Axel berangkat ke kantor, akan aneh kalau Mysha tidak muncul hari ini.

Sambil memegang kantung kertas, Mysha menekan bel.

Tidak ada jawaban.

Wanita itu menekan lagi sambil was-was, bertanya apakah ini adalah pilihan terbaik. Dia tidak ingin mengganggu Axel tapi rasa gelisah ini harus segera mendapatkan jawaban. Mungkin melihat wajah kekasihnya dapat melerai semua awan keraguan yang menggantung di hatinya berhari-hari. Mysha mengambil napas, mengingatkan sekali lagi bahwa dia adalah tunangan dari Axel Delacroix. Cincin berlian di tangannya adalah bukti dari statusnya dan dia punya semua hak di dunia untuk meminta waktu Axel.

Bel di interkom kembali berbunyi dan Mysha menunggu. Belum ada jawaban. Apakah pria itu sudah pergi? Nyaris saja dia berbalik pergi ketika dia mendengar pintu terbuka. Senyum yang mengembang di wajah manisnya langsung lenyap ketika melihat siapa yang menyambutnya. Seorang wanita berambut brunette membuka pintu sambil malas-malasan, matanya sayu terlihat mengantuk. Dia memakai kemeja putih kebesaran dan rambutnya berantakan. Mysha dapat mencium wangi parfum Axel menguar dari kemeja putih tersebut.

"Axel, apakah dia salah satu wanitamu?" tanyanya sambil menyingkir dari pintu, berjalan menuju pintu kamar Axel yang terbuka.

"Mungkin." Suara bariton yang dulu selalu bisa membuat Mysha tersenyum kini justru menghunjamkan belati dingin dalam hatinya.

Tak lama kemudian tunangannya muncul, hanya memakai celana dalam dengan kondisi yang sama berantakannya dengan si wanita. Sebelum sempat Mysha berkata apa pun, wanita asing itu memeluk Axel mesra dan tersenyum manja, mengelus dada telanjang itu. Yang membuat Mysha mual adalah wanita itu mengigit bibirnya yang penuh noda lipstik serta menatap Axel dengan gairah, menggoda sang CEO.

"Usir dia, Axel, dan kita bisa melanjutkan malam panas kita."

Axel mengangkat kepalanya dan menatap Mysha yang berdiri terpaku di depan pintu yang terbuka. Tatapan dari netra biru itu dingin, setajam es dan Mysha merasa langit runtuh di atasnya.

BOOM!!! NYAHAHAHAHA!!!

Aku penasaran sama respon kalian silakan komeeeeen~~~

Btw, siap2 marathon ya, semua bagian chap minggu ini akan di up dalam beberapa hari ke depan, supaya jadwal minggu depan kembali normal ^^ semoga wattpad tidak berulah.

See you tomorrow!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top