Controlled CEO 15 - Emosi yang Terkendali
WRITTEN BY AstieChan
Selesai menutup telepon dari William, Axel segera membereskan dokumennya. Slide presentasi telah siap. Profitabilitas, Payback Period, Break Even Point, dan Return on Investment sudah dihitung dengan cermat. Analisis investasi juga telah dibuat selengkap-lengkapnya. Menurutnya kali ini CLD benar-benar mempertaruhkan citranya demi menggaet Nathanael Walker. Namun jika proyek ini berhasil, CLD akan menjadi kekuatan bisnis properti dunia yang lebih disegani. Axel dan William yakin, proyek ini akan sukses.
Dokumen-dokumen sudah di-copy ke dalam CD yang berisi proposal investasi lengkap, mulai dari company profile, struktur organisasi, produk yang akan dikembangkan, target market, sampai dengan analisis investasi dan profitabilitasnya. Seharusnya Axel merasa lega, karena di balik emosinya yang sedang menggelegak, ia dapat mengendalikan semua pekerjaannya dengan baik. Namun entah mengapa, masih ada ganjalan di hatinya.
Sepertinya ia terpengaruh dengan kata-kata William sebelum mengakhiri pembicaraan teleponnya. Tidak, masalah ini tidak boleh sampai mengganggu konsentrasinya saat presentasi nanti. Ia harus menyelesaikannya segera.
Axel pun mendatangi kantor William.
"Hi, Will!" sapa Axel.
William terdiam sejenak melihat penampilan Axel. Pria yang rumornya selalu digilai para wanita itu terlihat berantakan. Wajah pria itu tampak kusut dan rambutnya tidak serapi biasanya. CEO tampan itu sepertinya tidak sempat merapikan diri.
"Oh, halo, Axel. Please have a seat." William mempersilakan Axel untuk duduk.
"Kau memanggilku untuk bicara tentang Michael dan Mysha. Apa maksudnya?" tanya Axel langsung ke pokok permasalahan yang mengganggunya sejak tadi.
William mendengus, menatap Axel sejenak, lalu kembali memasang ekspresi wajah datarnya.
"Kau, Michael, dan Mysha, kalian adalah tanganku dalam menjalankan CLD. Kalian ujung tombak kemajuan CLD. Sebelum berangkat ke Bangkok, kau dan Michael berseteru tentang Mysha. Aku tidak ingin hal itu berimbas pada hubungan kalian saat ini."
Axel terkejut mendengarnya. Ia sama sekali tak mengira jika perselisihannya dengan Michael saat ini bisa sampai ke telinga William.
"Tidak, kurasa kau berlebihan, Will. Aku, Michael, dan Mysha baik-baik saja. Meskipun sejujurnya aku kecewa karena kau lebih mendukung Michael daripada aku," jawab Axel menutupi rasa kesal yang masih menohok dadanya.
"Kau tahu alasanku mendukung Mike saat itu, Axel. Aku hanya memutuskan sesuai dengan skala prioritas perusahaan. Dengar, Axel, aku hanya tidak ingin urusan pribadi memengaruhi kinerja kalian yang selama ini sempurna di mataku," tegas William.
"Ya ... Aku tahu. Aku selalu memisahkan urusan pribadi dengan pekerjaan, itu yang selama ini membuatku berhasil memenangkan negoisasi kita."
"Lalu, ada apa sebenarnya? Kudengar dari Mr. Vijitpongpun kau langsung kembali ke New York begitu selesai meeting. Kau bahkan menolak tawaran entertain darinya. Itu bukan kau, sama sekali bukan," pancing William.
Kali ini Axel tak terkejut. William pasti terus memantau pekerjaannya di luar negeri. Sebelum dia melaporkan pun, ia pasti sudah mencari tahu. Apalagi jika berkaitan dengan investasi besar yang menentukan masa depan perusahaan.
"Apa kau menelepon Mr. Vijitpongpun?" tanya Axel. Penasaran, ia ingin tahu siapa yang memberi laporan pada pria workaholic di hadapannya.
"Sebelum kutelepon, ia sudah meneleponku lebih dulu. Mr. Vijitpongpun benar-benar khawatir kau tak berkenan dengan jamuan mereka. By the way, congratulations for you, tender kita di Thailand berhasil. Kau memang brilian. Tapi aku masih penasaran, apa yang membuatmu langsung kembali ke NY hari itu juga?" Pria dengan rahang tegas dan bibir yang jarang tersenyum itu mengulang kembali pertanyaannya.
"Mysha," Axel refleks menyebutkan nama itu. "Ti ... tidak. Maksudku, ya. Eh, aku tak mengerti kenapa sikapnya bisa sangat ramah dan bersahabat kepada Michael tapi dingin terhadapku," kata Axel cepat-cepat menjelaskan agar William tidak salah paham.
William tampak tak terpengaruh sedikit pun dengan pengakuan Axel secara refleks. Hanya kernyitan singkat di dahi yang tertangkap mata biru Axel.
"Apa kau pernah mencari tahu bagaimana pendapat orang lain tentang perlakuanmu terhadap seseorang?" tanya William dengan santai.
Kedua alis Axel seolah menyatu ketika dia mengernyitkan keningnya. "Maksudmu?"
"Seseorang diperlakukan berdasarkan perlakuannya kepada orang lain. Jika Mysha dingin terhadapmu, bisa jadi karena kau yang membuatnya begitu. Apa kau melakukan kesalahan kepadanya?"
Axel mengangkat bahu. Kesalahan? Satu-satunya kesalahanku adalah menginginkannya. Suara batin Axel berteriak. Tentu saja ia tak mungkin mengatakannya kepada William.
"Aku tidak tahu masalah apa yang kauhadapi dengan Mysha, Michael, atau siapa pun. Pastikan masalah itu tidak akan mengganggu kinerja perusahaan kita."
Axel hampir saja lupa jika pria di hadapannya ini sedingin es di Kutub. Segala yang berpengaruh bagi William hanyalah yang menyangkut masalah perusahaan. Tak urung ia mengangguk, memastikan atasannya tahu jika ia tak perlu khawatir.
"Mari kita lihat presentasi yang akan kaujelaskan, Axel," kata William menyeret Axel kembali pada kenyataan.
Setelah puas dengan bahan presentasi yang telah disiapkan Axel, William mengajak CEO tampan yang selalu sanggup meluluhkan calon investor itu ke ruang meeting yang tepat berada di samping kantornya. Mereka berniat menyambut Nathanael Walker di tempat itu, sehingga mereka harus mempersiapkan segala detailnya.
"Siapa yang membuat analisis finansial dan investasi di presentasi ini?" tanya William.
"Aku mengambil analisis dari data yang diolah oleh Mysha," jawab Axel. Ketika ke Bangkok, ia menyerahkan beberapa pekerjaan untuk dikerjakan oleh Mysha.
"Hubungi Mysha! Kita perlu mengajaknya meeting kali ini. GM yang melakukan pengolahan data dan analisis tentu lebih baik dalam memberikan penjelasan bagi pihak Walker Enterprise."
Axel segera mengangkat telepon di ruang meeting dan menghubungi line telepon kantor Mysha.
Axel hanya menyuruh Mysha untuk segera ke ruang meeting utama di samping ruang kerja William. Ia tidak mengatakan lebih detail.
Begitu menutup telepon dari Axel, jantung Mysha berdegup cepat. Ia tak tahu apa yang akan dilakukan CEO itu dengan menyuruh Mysha ke ruang meeting utama. Semoga saja bukan masalah hadiah tadi pagi, bisik batin Mysha.
"What's wrong, Mysh?" tanya Michael yang masih berada di ruang kerja Mysha.
"Tak ada apa-apa. Mr. Delacroix memintaku ke ruang meeting utama," jawab Mysha.
"Kenapa wajahmu jadi pucat begitu? Apa ada masalah?" tanyanya tampak khawatir.
"Tidak, tak perlu khawatir. Aku tak apa-apa. Sorry, aku harus menemui Mr. Delacroix. Apa kau tak masalah jika kutinggal?" Mysha tak enak hati meninggalkan Michael.
"It's ok. Aku akan mengurus beberapa masalah legal. Bagaimana jika pulang kerja kujemput?" tawar Michael. Lelaki itu berharap dapat mengajak Mysha makan malam.
"Thanks, Michael. Tapi aku bawa mobil hari ini."
Mysha segera menuju ruang meeting utama. Sekretaris William tersenyum menyambut dan mempersilakannya masuk.
"Mr. Davis dan Mr. Delacroix sudah menunggu Anda di dalam," katanya sopan.
Mysha tersenyum singkat dan mengucapkan terima kasih sebelum masuk ke dalam ruang meeting besar yang setara dengan aula yang mampu menampung hingga dua ratus orang.
Jantung Mysha berdebar kencang, hingga rasanya Mysha dapat mendengar detaknya. Telapak tangannya terasa dingin dan berkeringat. Wajahnya memucat, ia benar-benar tegang. Pagi tadi saat ia menolak pemberian Axel, CEO itu tampak begitu marah dan terluka. Mysha dapat melihat tatapan matanya. Mata biru itu mengelam sepekat malam. Ragu-ragu Mysha melangkah.
"Hai, Mysh. Saat ini kami butuh bantuanmu untuk mengikuti meeting investasi dengan Walker Enterprise. Kau cukup memperhatikan saja, dan menjawab jika William atau aku memerlukan dukungan analisis investasi dari pengolahan data yang kaubuat sebelumnya," jelas Axel dengan penuh ketenangan. Tentu saja Axel telah menekan emosinya kuat-kuat, menyembunyikannya hingga tak tampak di luar.
"Wal... Walker Enterprise?!" tanya Mysha tergagap. Ia tak pernah membayangkan bisa berhubungan dengan perwakilan perusahaan multinasional terbesar di Amerika.
Namun, yang lebih menakutkan dari itu semua, Mysha bisa melihat betapa tenangnya Axel saat ini. Seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Apa Axel sungguh-sungguh tidak marah?
Ataukah pria itu hanya seperti tarikan ombak kembali ke dalam lautan sebelum tsunami menghempas pantai?
HO HO HO HO
Bagaimana nasib Mysha selanjutnya yah?
Minggu ini akhirnya kami tidak jadi memprivate chapter apapun karena ga tega hahahaha
Minggu depan baru akan dimulai ^^ demi keamanan cerita ini dari plagiator dan mirror web :'D silakan follow kami terlebih dahulu ;D
Dukung terus CEO Project dengan voment ya ^^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top