Broken Hearted CEO 29 - Kepercayaan yang Hancur
Dia terlihat bodoh.
Mysha tahu hal itu, tapi tidak bisa menghentikan air mata yang mengalir membasahi pipinya. Matanya buram dan pikirannya hanya satu, kembali ke kantornya secepat mungkin. Bayangan bagaimana Axel mencium wanita itu terputar jelas dalam benak, membuat dadanya berdenyut nyeri. Firasatnya benar, Axel tertarik pada wanita lain.
Demi Tuhan, baru beberapa hari yang lalu pria itu berjanji akan membuktikan dirinya adalah orang yang berbeda, tapi hari ini Mysha melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa semua yang diucapkan oleh Axel adalah kebohongan besar. Mysha merasa bodoh karena telah mempercayai Axel.
Hatinya hancur berkeping-keping dan kepercayaannya tumbang tak bersisa. Hanya tersisa rasa sakit dan kepedihan yang menggantung sesak. Langkahnya terseok hingga dia tiba di depan pintu ruangan bertuliskan namanya.
"Mysha?" tanya seseorang, membuat wajah wanita itu terangkat.
Dia mengenali suara itu. Suara hangat yang selalu bisa menenangkan hatinya.
"Astaga, Mysh. Apa yang terjadi?" tanya Michael mengambil langkah panjang dan langsung menggenggam pundak rapuh itu sebelum Mysha sempat melarikan diri.
Kepala Mysha menggeleng pelan, tapi Michael tidak percaya pengakuannya. Dengan lembut pria berkaca mata itu membuka pintu ruangan dan masuk sambil menggiring Mysha, menghindari tatapan selidik dan tembok yang bertelinga. Didudukkannya Mysha di atas sofa sebelum Michael menyodorkan sapu tangan.
"Ceritakan padaku, apa yang terjadi?" tanya Michael tetap tenang walaupun dalam hati dia menetapkan hati untuk menghajar siapa pun yang membuat wanita di hadapannya menangis.
Mysha tidak menjawab, malah air mata mengalir makin deras. Setiap denyut jantungnya menghunjam nyeri, seperti sebuah pisau ditancapkan di sana. Michael yang melihat hal tersebut merasakan dadanya ikut sakit dan menarik Mysha dalam pelukan, membiarkan wanita itu menumpahkan segala kesedihan. Amarah menggelegak dalam dirinya, darahnya mendidih perlahan, didekapnya Mysha erat, membungkus wanita itu dalam kehangatan dan keamanan kedua lengannya.
Sepuluh menit. Tangis itu akhirnya reda dan cerita yang keluar dari bibir Mysha membuat rahang Michael mengeras dan matanya menyipit penuh kemarahan. Ingin sekali dia menghajar sumber segala bencana yang dialami Mysha, hanya saja pria itu sadar bahwa saat ini wanita berambut perak itu lebih membutuhkan perhatiannya.
"It's okay, Mysh," ucap Michael membelai bahu Mysha hangat. "Jangan terlalu kamu pikirkan. Aku akan memastikan pria brengsek itu tidak akan pernah mendekatimu lagi."
Mysha tergugu. Pikirannya kalut dan kosong. Emosinya terkuras habis dan fisiknya lelah. Dengan lembut, Michael menghapus sisa air mata yang tersisa dengan sapu tangan yang tak sempat diambil, menenangkan Mysha dengan tepukan lembut di punggung.
"Jika kamu ingin beristirahat, aku bisa mengantarmu kembali."
Mysha menggelengkan kepalanya yang masih bersandar pada dada bidang Michael. Dia tidak boleh izin lagi. Selain karena masih banyak pekerjaan yang tertunda, sebelum ini dia sudah izin setengah hari karena Axel memaksanya beristirahat.
Axel.
Air mata kembali menggenang, namun kali ini Mysha mati-matian menahannya. Dia tidak boleh terpuruk. Untung saja dia tahu segalanya ketika hendak memulai, tidak bisa dibayangkan bila dia tahu setelah hubungan mereka lebih lama. Ini mungkin cara Tuhan memberi tahu bahwa hubungan ini tidak akan berhasil.
"Aku akan menemanimu di sini bila mau," lanjut Michael ketika Mysha cukup kuat untuk kembali duduk. "Kebetulan aku membawa laptopku dan pekerjaanku yang urgent sudah selesai. Bila kamu ingin kembali, aku bisa mengantarmu."
Senyum Michael membuat luka di hatinya seakan dibalut oleh kehangatan. Walau sebenarnya dia tidak ingin merepotkan seseorang yang telah begitu baik padanya, Mysha harus mengakui bahwa dirinya membutuhkan seseorang untuk menjaganya. Dia belum siap bila harus bertemu dengan Axel hanya berdua dan butuh teman berbicara agar pikirannya teralih. Maka dengan sebuah anggukan dari Mysha, Michael segera mengeluarkan laptop dari tas berwarna hitam.
Shit. Shit. Shit!
Axel mengumpat berkali-kali dalam hati sementara kaki panjangnya melangkah kembali ke kantornya.
Apa-apaan Olivia itu?! Berani menciumnya di depan lobby CLD. Apa dia tidak berpikir kalau ada wartawan yang meliput mereka?! Dan yang paling membuat Axel khawatir adalah bagaimana bila kejadian tadi sampai didengar Mysha?
Masalah ini pelik. Axel membanting pintu kantornya, membiarkan sekretarisnya terlonjak kaget. Dia harus membereskan masalah ini sebelum makin besar. Olivia menolak menggugurkan kandungannya dan mengancam akan membeberkan skandal ini pada media bila Axel menolak bertemu. Si Brengsek itu!
Sebenarnya Axel tidak ingin membunuh nyawa tak berdosa.
Anaknya.
Hati Axel berdesir menyebutkan kata itu. Ada makhluk yang membawa sebagian dirinya hidup. Pikiran itu membuat rasa hangat muncul dalam dadanya, bila seandainya Olivia tidak keras kepala atau, bila seandainya Mysha lah yang mengandung.
Sebuah senyum muncul di wajah Axel, pertama kalinya setelah beberapa hari berat yang dia alami. Dia membayangkan wajah lembut Mysha tersenyum bahagia sambil membelai perut yang membesar, membuat Axel berpikir memiliki anak sepertinya tidak terlalu buruk. Axel mengerang, masalahnya kali ini anak itu berada di kandungan yang berbeda.
Tunggu.
Bagaimana Olivia yakin kalau itu adalah anaknya?
Axel berjalan mondar-mandir dalam kantornya yang luas. Pria itu berani bertaruh kalau dirinya bukan satu-satunya pria yang tidur dengan super model yang satu itu, jadi ada kemungkinan kalau Olivia hanya menjebaknya. Sebuah seringai muncul di wajah Axel. Secercah harapan untuk keluar dari masalah ini muncul. Sekejap, hatinya terasa lebih ringan dan kabut dalam benaknya lenyap, dia akan memaksa Olivia membuktikan siapa sebenarnya pemilik janin itu.
Dengan pikiran yang lebih santai, Axel teringat pada Mysha. Sudah berapa lama dia tidak berbincang dengan wanita itu? Rasanya seperti sudah bertahun-tahun sejak percakapan mereka di dalam mobil dan Axel harus mengakui, dia ingin mendengar Mysha memanggil namanya, seperti di dalam lift waktu itu.
Segera, Axel mengeluarkan telepon selulernya yang berlapis emas dan menekan fast dial nomor satu. Terdengar nada dering, namun segera dialihkan. Siapapun di seberang menolak panggilannya. Berapa kali pun Axel mencoba, hal yang sama terjadi, membuat pria itu bertanya-tanya ada apa dengan Mysha.
Rasa khawatir menggelayuti benak, membuatnya merasa harus menemui Mysha segera, setelah dia menyelesaikan presentasi untuk calon investor dari Hongkong. Axel segera menyalakan laptopnya dengan perasaan was-was.
Belum pernah hari terasa sepanjang ini. Rapat jarak jauh dengan penanam modal sudah selesai dan waktu menunjukkan pukul lima sore. Tanpa membuang waktu, Axel segera membereskan meja dan menolak panggilan dari Olivia yang entah keberapa. Nanti saja dia membereskan nenek sihir pengacau itu. Seluruh pikirannya tertuju pada Mysha yang sama sekali tidak mengangkat telepon, panggilannya berulang kali masuk ke mesin penjawab otomatis. Apakah wanita itu baik-baik saja?
Dengan langkah tegap, Axel berjalan menuju kantor Mysha. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat Michael keluar dari ruangan tersebut, disusul oleh Mysha. Pengacara itu merangkul pundak Mysha dan membawakan tas pink pucat wanita itu, berjalan membelakangi Axel yang merasakan darahnya baik ke ubun-ubun.
Dalam sekejap, Axel tiba di belakang mereka berdua dan menarik tangan Michael agar lepas dari Mysha, membuat kedua orang itu tersentak kaget.
"Aku akan mengantarmu pulang." Axel langsung menggandeng tangan Mysha. Namun betapa terkejutnya dia ketika Mysha malah menepisnya kasar. Ketika dia ingin meraih tangan itu lagi, Michael menahan pergelangan tangannya.
"Mysha sudah setuju pulang denganku." Michael berkata sedingin es. Selama Axel mengenalnya, belum pernah dia melihat Michael begitu murka. "Benar 'kan, Mysha?"
Mysha mengangguk pelan, membuang muka, sama sekali tidak melihat ke arah Axel, membuat pria itu tertegun. Dadanya terasa sesak dan ketidakpercayaan membuat dia diam. Raut khawatir Mysha atau tatapan takut-takutnya jauh lebih baik daripada diabaikan seperti ini.
"Apa maksudnya?" tanya Axel tidak terima. "Mysha!"
Dia berusaha melawan, tapi genggaman Michael makin kuat. Axel mengebaskan tangan Michael, membuat pria berkaca mata itu mundur selangkah tapi dengan cepat Michael memasang ancang-ancang siap melayangkan tinju. Dia tidak keberatan bila harus menghajar pria brengsek di hadapannya sekarang, bahkan itu isi kepalanya selama beberapa jam terakhir.
"Ayo, Mike," gumam Mysha pelan sebelum membalikkan badan.
"Aku pasti akan menghajarmu saat ini bila tidak ingat saat ini kita masih berada di CLD dan Mysha lebih membutuhkan aku," ancam Michael. "Jangan pernah sekalipun berbicara dengannya lagi," lanjutnya sebelum berbalik dan merangkul pundak Mysha, meninggalkan Axel yang masih tertegun.
Ada sesuatu yang tiba-tiba lenyap dari hati Axel, meninggalkan lubang yang menganga di sana. Hidupnya terasa kosong dan hampa, merasakan bahwa sesuatu yang penting sedang terlepas dari genggamannya, tapi bukan Axel bila dia menyerah.
Axel melangkahkan kaki mengejar sosok yang makin jauh itu, menarik pundak Mysha untuk berbalik dan merasakan rasa sakit menerjang pipi kirinya.
AKHIRNYA NIGHT WITH CEO TEMBUS TOP TEN ROMANCE!!!!
Astaga!
ASTAGA!!!!!
Aku speechless hahahaha kukira tembus top ten romance hanya mitos hahahaha YA AMPUN! Makasih banyak buat semua reader yang sudah mendukung proyek ini dari awal sampai sekarang. Tanpa kalian cerita ini ga akan ada :')
Tetap dukung CEO Project dengan voment ^^
Love you all!!!
Aku sedang berusaha membalas SETIAP KOMEN kalian XD semoga bisa terus berlanjut heheheh
See you
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top