Angry CEO 47 - Pertanyaan yang Terjawab
Bab ini ditulis oleh Shireishou
Dicopy sama persis ke:
Passionate CEO
Night with CEO
The Wicked CEO
So, jangan lagi ada pertanyaan di antara kita :3
Suara tamparan kembali terdengar. Mysha tanpa sadar melayangkan tangan kanannya ke pipi Axel sekuatnya hingga meninggalkan bekas kemerahan di sana. Tak menunggu reaksi berikutnya, Mysha langsung berlari meninggalkan semua sumber dukanya di belakang.
Mysha tak mampu lagi berpikir. Semua yang ada di kepalanya seperti kepingan kaca penyimpan kenangan. Tak ada lagi yang tersisa utuh di sana. Bersetai-setai.
Napasnya memburu ketika membanting pintu mobil dan mengempaskan tubuhnya ke jok. Dadanya bergemuruh dengan gabungan rasa pedih yang tak bisa dijelaskan. Kepalanya berdentam dan Mysha tak bisa lagi menahan setiap bulir air mata yang mengalir keluar.
Setidaknya ia tak menangis di hadapan mereka. Mysha berusaha sekuatnya untuk tidak terlihat lemah di hadapan wanita itu apalagi Axel.
"Why?" bisiknya lirih pada diri sendiri.
Dengan semua pusaran yang meruntuhkan semua pertahanan hatinya, Mysha butuh waktu untuk menenangkan diri. Namun, di manakah tempat yang nyaman untuk berpikir? Apartemennya? Ah, ia bahkan belum mengajukan cuti. Lagi pula ia tak akan bisa absen di saat tumpukan pekerjaan sedang berada di titik maksimal.
Dengan kasar, wanita bermata keemasan itu melepas kacamatanya. Ia langsung menyeka bulir duka dengan lengan kemeja dan mengenakan kacamatanya kembali.
Lalu secepat itu juga, Mysha melajukan mobilnya menuju kantor.
Mysha lagi-lagi hanya bisa menghempaskan diri ke atas kursi empuk bersandaran tinggi. Laptop yang memulai proses booting sama sekali tak singgah dalam pikirannya. Kepala wanita itu memutar semua peristiwa di apartemen Axel. Mungkinkah peristiwa yang baru saja ia alami adalah igauan yang terlambat?
"Ouch...." Mysha merasakan sakit saat mencoba mencubit lengannya sendiri. Ia tak bermimpi.
Siapa wanita itu?
Apa mereka berdua baru saja berhubungan intim?
Mengapa?
Bagaimana dengan pernikahan Axel dengannya?
Apa selama ini Axel berselingkuh?
Entah berapa puluh pertanyaan silih berganti menghunjam kepala Mysha. Setiap pertanyaan menambah denyutan menusuk di pelipis kanannya.
Mysha berharap semua ini hanya mimpi buruk. Ketika ia membuka mata, ada Axel duduk menunggunya sembari mengeluarkan senyum tipis yang hangat. Namun, Mysha tahu, semakin banyak ia menolak kenyataan, maka masalah akan semakin rumit.
Harus Mysha akui, ia sama sekali tak bisa konsentrasi. Semua pekerjaan yang harusnya selesai sore ini, tak ada kemajuan.
Setiap kali Mysha melihat komputernya, ia mengingat pertama kali Axel mengajaknya makan dengan dalih pekerjaan.
Setiap wanita itu melihat deretan angka, ia teringat bagaimana Axel dengan ajaib membelikan gingseng ukuran raksasa padanya.
Setiap ia melihat pintu ruangannya, Mysha seolah melihat bayangan Axel masuk dan bergerak lugas ke arahnya.
Ya, Tuhan! Apa yang harus ia lakukan?! Apakah ia harus bertemu kembali dengan Axel dan menanyakan semua baik-baik dengan kepala dingin?
Kepala dingin? Yang benar saja! Yang ada di kepala wanita itu saat ini hanya rasa sakit tak terperi. Dadanya yang terus berdenyut menusuk seolah mengatakan bahwa ia harus hidup dengan menanggung semua rasa pedih.
Merasa tak bisa berpikir, Mysha bergerak menuju meja kopinya. Air matanya tak kunjung bisa dihentikan. Napas yang tersengal dan hidung memerah, membuatnya tampak kacau. Wanita itu bermaksud menyeduh kopi untuk menentramkan hati. Namun, semua kekalutan yang membuat tangannya gemetar, justru mengakibatkan gelas kaca lepas dari genggaman.
Umpatan kecil terdengar. Mysha menarik napas. Ia tak boleh terbiasa mengumpat. Wanita itu teringat Mom pernah berkata hatinya akan sekotor ucapannya kelak. Seberat apa pun masalahnya, ia harus mampu bersikap tegar. Sekali lagi Mysha berjuang keras mengatur napasnya.
Untung saja ia belum menuang kopi panas ke sana tadi. Belum sempat Mysha berjongkok dan membereskan kekacauan itu, terdengar panggilan telepon.
William melalui sekretarisnya memanggil Mysha ke kantor.
Mysha mencari dompet riasnya. Sial! Tertinggal di mobil. Pikiran Mysha kini seperti layang-layang putus benang hingga ia sampai bisa lupa membawanya naik.
Lagi-lagi sesuatu yang berat menghantam kepalanya. Ia harus kuat! Ia harus bersikap profesional. Urusan perkerjaan dan pribadi harus bisa ia pisahkan dengan baik.
Mysha mematut dirinya ke cermin. Kacau balau! Bahkan penebal garis mata anti air yang dikenakannya bisa luntur menghadapi air mata sederas itu. Ataukah karena ia kerap menggosok mata kala berjuang untuk menghentikan alirannya?
Dengan tergesa Mysha menuju kamar mandi di ujung lorong sebelah kanan kantornya. Untung ia selalu menyiapkan sabun cuci muka di laci kerja. Daripada riasan yang setengah-setengah, ia memilih menghapus semuanya sekalian. Ia terpaksa melakukannya daripada ia harus ke tempat William dengan wajah seperti The Crow.
Satu tarikan napas Mysha menepuk-nepuk pipinya. "Ayo senyum!"
Mysha pun melangkah menuju ruang direktur utamanya.
William lagi-lagi memandang Mysha lamat-lamat saat wanita itu masuk dan mengangguk kecil padanya. Namun, tak ada perubahan ekspresi berarti dari pria berambut kecokelatan itu.
"Apa revisi laporan yang kuminta sudah selesai?"
Mysha gelagapan. Ia benar-benar lupa! Bahkan setelah Wiliam memintanya memasukkan proyeksi keuntungan proyek di Dubai, ia masih tak melakukannya dengan benar. William memberi tenggat sebelum makan siang hari ini. Namun, bahkan satu angka pun belum ia sempat ketikkan.
"Have a seat." Tanpa nada khusus William justru bangkit setelah mempersilakan Mysha duduk. Dengan cekatan pria itu kembali menyuguhkan kopi yang aromanya selalu membuat hidung tergoda.
"Thank you, Sir." Mysha mati-matian berusaha menjaga agar getaran tangannya tidak menimbulkan efek buruk seperti sebelumnya.
"Aku tak ingin ada masalah yang mengganggu kinerjamu di kantor." William yang sudah duduk kembali, kini menyesap kopinya seraya memandang Mysha lurus.
Mysha merasa rikuh. Dibandingkan Axel yang menatapnya penuh gairah, Michael yang perhatian, William menatapnya seperti rongga kosong yang tak terbaca. Sungguh ia tak paham apa yang ada di kepala pemimpinnya itu.
"I'm so sorry, Sir. Akan saya kerjakan dengan segera."
"Are you sure?"
Meski tanpa nada, Mysha merasa keyakinannya langsung runtuh mendengar pertanyaan sederhana itu. Mysha menggeleng lemah.
"Mau menjelaskan?"
Mysha mendongak mendengar intonasi yang sedikit memaksa. Hanya selintas hingga Mysha tak yakin dengan apa yang didengarnya.
"Bukan hal besar." Mysha kembali menundukkan pandangan. Disesap kopi di genggamannya sedikit tergesa. Suara batuk justru akhirnya memecah kesunyian.
William menghela napas sangat perlahan. Nyaris tak terdengar.
"Tidak masalah kalau tidak mau. Aku menanyakan ini bukan untuk ikut campur urusan pribadimu. Aku hanya tak ingin masalahmu membawa dampak buruk bagi perusahaan yang menjadi tanggung jawabku."
Mysha mendongak. Saat itu ia tak lagi bisa menahan duka yang ditekan kuat-kuat. Mysha kembali terisak tanpa bisa terhenti. Tangannya terlihat gemetar kala susah payah meletakkan cangkir porselen mahal ke atas meja. Sekitar lima menit Mysha tak mampu mengontrol dirinya. Namun, kesadaran lain bahwa ia sedang berada satu ruangan dengan pucuk tertinggi Crown Land Developer membuatnya mengumpulkan sisa ketegaran yang tercerai-berai.
"Feel better?" Masih dengan wajah sedatar meja yang mereka hadapi, William bertanya.
Mysha mengangguk. "Sorry, Sir."
"Masih tak mau menjelaskan?"
Tanpa sadar cerita Mysha meluncur sejak minggu lalu. Hari-hari yang menyiksa bagai di neraka, hingga puncaknya saat ia menemukan wanita lain di apartemen Axel.
Mysha terlalu sibuk bercerita hingga tak memerhatikan jemari William memutih kala menekan cangkir yang di genggamnya kuat-kuat.
"I don't know what to do," isak Mysha mengakhiri pembicaraan.
William menarik napas dengan sangat halus dan mengembuskannya tak kalah perlahan. Wajahnya masih tak menampakkan ekspresi apa-apa.
"Apa yang sudah kau lakukan untuk menyelesaikan ini?"
Mysha menggeleng. "Nothing, Sir. Saya baru tahu pagi tadi dan pikiran saya kacau balau."
"Kapan mau kauselesaikan?"
Mysha lagi-lagi menatap William keheranan. Dirinya baru saja mencurahkan seluruh perasaannya dan direkturnya justru nenanyakan tenggat penyelesaian masalah? Luar biasa! Mysha sungguh tidak bisa memahami isi kepala dan juga hati pria bernetra emerald itu.
"Hari ini, saya mau mencoba bicara dengannya. Kalau bisa secepatnya." Mysha berbisik ragu.
"Pergilah ke apartemen Axel sekarang. Aku juga ingin bicara dengannya. Kalau masalah kalian sudah selesai, tolong sampaikan padanya aku ingin bicara mengenai surel yang dia kirim pagi tadi."
Mysha mengerutkan kening. Namun, William tampak tidak tertarik untuk melanjutkan.
"Kalau begitu, saya permisi." Mysha mengangguk dan berjalan menuju pintu. Apa reaksi Axel jika ia datang kembali ke sana? Apa nanti ia dan wanita itu masih berasyik-masyuk berdua? Apa dirinya bisa kuat untuk berbicara pada Axel dalam kondisi begini?
Tiba-tiba Mysha merasakan nyeri di dahinya diiringi suara keras kepala menubruk pintu kayu.
Melihat itu semua, William akhirnya bangkit meninggalkan cangkirnya di atas meja.
"Aku akan mengantarmu."
Mysha tergeragap menyadari kebodohannya yang bisa menabrak pintu keluar.
William masih tak mengeluarkan ekspresi apa pun saat menyambar kunci mobilnya dan bergerak ke arah pintu.
"But Sir, saya bisa menyetir sendiri."
William menoleh. "Kondisimu tak mungkinkan. I'll drive."
Mysha langsung berusaha mengejar direkturnya dengan tergesa.
Tiba-tiba langkah Wiliam terhenti. "Di mana kau letakkan alat riasmu?"
"Ke-ketinggalan di mobil, Sir."
"Ambillah dulu. Aku tak ingin kau ke tempat Axel dalam kondisi seperti itu."
Mysha tak bisa membantah. Ia tahu betapa kacaunya dirinya. Akhirnya setelah beberapa saat merapikan diri di dalam mobilnya sendiri, Mysha menyusul William.
Tak lama, keduanya melaju ke apartemen Axel.
Wajah malas Axel muncul ketika membuka pintu untuk kedua tamunya. Berbeda dengan tadi pagi, kini Axel sudah rapi dengan kaus putih polos yang lengannya digulung hingga ke siku. Kaus cukup ketat itu memperlihatkan lengan sempurna yang pernah mendekap Mysha penuh kasih. Celana panjang hitam juga sudah dikenakan. Aroma sabun masih menguar. Pesona CEO CLD itu semakin bertambah dengan rambut pirang cerahnya yang masih terlihat segar setelah keramas.
"Bicarakan masalah kalian. Aku tunggu di bawah."
Belum sempat William berbalik, Axel memanggil namanya.
"Kau tak perlu pergi. Tidak ada yang perlu dibicarakan. Temani saja wanita ini."
Wanita ini? Axel bahkan tak sudi menyebut namanya? Mysha merasakan lantainya bergoyang. Namun, ia tak akan tumbang. Ia harus mengetahui kebenaran.
Lamaran di planetarium, juga binar mata yang memohon agar Mysha memaafkannya dipenuhi kejujuran. Wanita itu sama sekali tak percaya Axel bisa berubah sikap dengan begitu cepat. Pasti ada kesalahpaham. Pasti ia terlalu mengkhayalkan yang tidak-tidak.
"Siapa wanita tadi pagi?" Mysha bertanya lirih.
Axel mendengkus. "Kurasa tak ada yang harus kujelaskan. Dia adalah salah satu wanitaku, dan asal kau tahu, kami mengalami malam yang luar biasa." Cebikan terlihat jelas di wajah angkuhnya.
"Axel, apa kau sungguh-sungguh?" Hanya terdengar isakan lirih dari bibir Mysha yang semakin memucat. Wanita itu tak lagi mampu mengumpulkan ketegaran yang benar-benar sudah tersapu ombak kepedihan.
Axel menelengkan kepala dengan seringai dingin yang mengerikan. "What do you expected?"
"Bagaimana dengan pernikahan kita?"
Axel memasukkan tanganya ke saku celana. Langkahnya tegap dan penuh percaya diri saat mendekati Mysha. Tubuh tinggi Axel sedikit membungkuk ketika mereka berhadapan nyaris tanpa jarak. Ia mendekatkan bibir ke telinga Mysha yang masih terisak lirih sembari berujar, "Dibatalkan."
Axel bangkit dan berbalik memunggungi Mysha. "Sejak awal, aku hanya bermaksud untuk membalaskan dendamku. Kau akhirnya bertekuk lutut padaku." Axel memutar badannya menatap William dan Mysha bergantian.
Tatapannya kembali dingin. "Itu hukuman karena wanita ini berani menampar dan menolakku!"
Sekali lagi sebuah tamparan keras terdengar. Sama seperti sebelumnya, Mysha memilih meleburkan rasa sakit dalam pelariannya.
Wiliam berbeda. Wajah yang biasanya datar itu kini mengeras. Matanya menyipit dengan rahang yang berkedut sekali.
"Setelah ini, kita harus bicara!" desis William. Tangannya tanpa sadar mengepal keras di kedua sisi tubuh. Pria bermata hijau itu menancapkan ancaman lewat kilatan tajam matanya.
Axel bisa merasakan tengkuknya meremang bahkan ketika William tergesa mengejar Mysha yang terus menjauh pergi.
WHAHAHAHAHAHA! BOOM! (lagi)
Dengan ini lengkap sudah penderitaan Mysha :3
Tolong jangan rajam kami, nantikan saja sampai cerita ini selesai, semua ada alasannya
Maaf blm bisa membalas komen di part sebelumnya :'D aku ga menyangka tembus 600 komen dalam sehari hahahaha //jari keriting but soon akan dibalas ^^
Tetap dukung CEO project yah ^^ see you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top