9: Seandainya Judul Cerita ini Dilan 1991
Nadia langsung membuka mata. Hal pertama yang dia sadari adalah goncangan yang membuat tubuhnya memantul-mantul, tapi kenapa kepalanya bersandar pada sesuatu yang empuk?
Gadis itu mengangkat kepala dan menoleh, hanya untuk mendapati bahwa tatapannya mengarah pada pundak Rian. Kesadaran datang terlambat, selama ini dia tidur di pundak pemuda itu. Ingin rasanya dia menjerit karena malu.
"Nadia! Akhirnya kamu bangun!" seru Rian lega. "Ada sesuatu di luar--"
Perkataan Rian membuat Nadia fokus. Goncangan di gerbong semakin parah. Kondisi di dalamnya kacau. Barang-barang berjatuhan dari kabin dan jeritan memenuhi kereta. Nadia sendiri langsung duduk tegak sambil berpegangan pada lengan kursi, berusaha mendorong rasa malu ke sudut pikiran.
"Ada apa?" tanya Nadia di tengah-tengah keributan. Keong Mas menempel erat di kaos merah marun milik Nadia, berusaha tidak terpisah.
Rian tidak perlu menjawab karena sebuah bayangan besar melintas di jendela membuat Nadia mengangkat kepala untuk mengamati. Dia melihat seekor burung hitam sebesar rentangan tangannya terbang di mengelilingi gerbong yang masih melaju sambil berkoak-koak parau. Sesekali burung itu menggoncang kereta dengan cakarnya yang buruk rupa. Nadia tidak tahu berapa lama sampai kereta ini kehilangan keseimbangannya dan keluar dari rel.
"Apa ini makhluk dari legenda?" tanya Nadia berusaha berdiri sambil menarik turun tas ranselnya. "Ah!"
Ransel berat itu lepas dari tangan. Nadia sudah menutup mata, bersiap merasakan sakit tapi setelah menunggu sekitar dua detik, tidak ada yang terjadi.
"Hati-hati." Rian berdiri di belakang Nadia menahan benda berat itu. Jarak mereka begitu dekat, Nadia dapat merasakan embusan napas Rian yang hangat, membuat detak jantungnnya berlarian. "Kurasa itu nenek sihir yang mengincar Keong," balas Rian menurunkan tas ransel Nadia dan miliknya ke kursi.
Nadia melihat burung itu melintas di jendela lagi dan apa yang dia lihat membuatnya mual. Alih-alih paruh, dia melihat kepala si nenek ditempelkan begitu saja di badan burung. Bagian yang seharusnya adalah leher dipenuhi oleh bulu-bulu hitam mencuat kasar. Nyaris saja Nadia mengumpat keras, tapi dia menutup mulut dengan tangan lalu memakai ranselnya.
"Kita harus keluar dari sini sebelum banyak orang menjadi korban," desak Nadia sambil berjalan tertatih ke arah pintu. Dia terpaksa berpegangan dari kursi satu ke kursi lain.
"Tapi--" Suara Rian terputus oleh sebuah goncangan besar disusul dengan decit panjang.
Nadia tidak tahu apa yang terjadi. Yang dia tahu adalah seseorang meraih tubuhnya sebelum menghantam lantai. Punggungnya ngilu luar biasa membuat dia terkapar selama beberapa saat untuk menahan rasa sakit.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Rian membuat Nadia membuka mata, menyadari bahwa pemuda itu berada di atasnya. Kedua tangan Rian menopang tubuh agar tidak menindih Nadia. Lagi-lagi itu akan menjadi adegan super romantis seperti Dilan 1991 kalau saja kepala Rian tidak mengucurkan darah.
"Rian!" Nadia segera mengabaikan rasa sakit di punggung dan membantu pemuda itu duduk. Dia memandang sekeliling dan menyadari bahwa kereta sudah berhenti dalam keadaan miring. Rian menyelamatkan kepalanya dari lengan kursi kereta.
Yang lebih buruk, kereta bisa tumbang sewaktu-waktu bila pohon penahannya patah. Keong masih bersembunyi di balik baju Nadia. Dia dapat mendengar bisikan yang menanyakan keadaannya.
"Ayo keluar," ajak pemuda itu sambil berusaha menjaga keseimbangannya untuk berjalan di lantai yang miring. Dia masih sempat mengulurkan tangan untuk membantu Nadia berdiri sebelum badannya limbung. Kali ini Nadia yang memegang punggung Rian dan mengalungkan salah satu tangan pemuda itu ke lehernya.
Mereka bersusah payah membuka pintu kereta sementara penumpang lain baru pulih dari kekagetan mereka. Nadia tahu mereka harus bergerak cepat sebelum terjebak di antara massa yang panik. Di luar burung besar itu berputar di atas kereta. Ketika Nadia berhasil menggeser pintu dan muncul, cakar buruk rupa itu menyasar kepalanya, memaksa gadis itu kembali masuk.
"Sial!" umpat gadis itu ketika koakan burung berubah menjadi tawa kejam.
"Biar aku aja." Rian berusaha melepaskan diri dari Nadia.
"Nggak, kamu terluka. Kita ke pintu satunya." Nadia menyeret Rian ke pintu yang mengarah ke tanah. Beruntung, pintu itu lebih mudah terbuka. Nadia melompat terlebih dahulu dan membantu Rian turun. Mereka berjalan menjauhi kereta dengan berlindung pada bayangan pohon. Matahari bertengger di puncak langit.
Kedua orang tersebut berjalan tergesa sementara di belakang mereka mulai terdengar suara para penumpang lain yang berebut keluar. Beberapa petugas dari gerbong lain yang masih utuh juga datang ke lokasi untuk membantu. Nadia menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka. Aman, tapi kemudian terdengar koakan di langit. Si Nenek Burung berputar-putar di angkasa mencari mereka. Nadia terus menyeret Rian mengikuti alur pohon agar terlindung. Wajah Rian memucat seiring dengan darah yang menetes makin deras, menjejak pada tanah kering.
"Rian! Kamu ga boleh pingsan!" perintah Nadia panik.
"Aku tidak apa-apa," ucap Rian lemah. Dia terus menyeret langkahnya. Namun tubuhnya makin berat dan pandangannya buram, belum lagi mual yang makin kuat. Rasa sakit memalu-malu kepalanya hingga dia ingin menjerit. Wajah khawatir Nadia yang membuatnya terus memaksakan diri berjalan, setidaknya sampai mereka lolos dari jejadian yang mengikuti mereka.
Sayangnya, keberuntungan mereka habis.
"Nadia! Awas!" seru Keong di telinga gadis itu.
Sebuah bayangan besar menutupi mereka dan Nadia melihat Nenek Burung menukik ke arahnya. Hal pertama yang terlintas di pikiran Nadia adalah memastikan Rian aman. Dia melepas pegangannya pada pundak dan lengan Rian sebelum menghadapi si nenek dengan berani--atau bodoh. Nadia bersiap dengan kuda-kuda Tae Kwon Do walau dia tidak yakin serangannya akan berpengaruh pada si nenek.
Nenek itu menyorongkan cakarnya yang tajam dan besar ke arah Nadia. Gadis itu sudah bersiap menangkis dengan tangan ketika tiba-tiba sebuah pusaran aura menghantam burung itu dari samping dengan telak. Pusaran itu mengikis sisi kanan burung itu, menghancurkan sayap dan sebagian badannya disertai dengan jeritan parau sebelum dia mengepak pergi penuh kekalahan. Perhatian Nadia langsung terarah pada Rian yang masih dalam posisi mengepalkan tinjunya ke depan. Napasnya terengah dan darah mengalir dari pelipis, dagu dan akhirnya menetes di tanah. Saat Nadia mengamatinya, pemuda itu limbung dan terjatuh ke belakang.
"Rian!" Nadia segera menahan Rian sebisanya. Gadis itu ikut rebah menahan berat tubuh, tapi setidaknya kepala Rian tidak membentur tanah. Nadia berhasil meletakkan kepala pemuda itu di pahanya.
Segera mungkin Nadia memperbaiki posisinya agar bisa memperhatikan luka yang menganga. Dengan panik, Nadia berusaha mengusap darah yang mengalir. Semua pelajaran pertolongan pertamanya hilang dari kepala. Nadia memanggil nama Rian terus menerus sambil menepuk pipinya, berusaha agar pemuda itu tetap sadar. Matanya terasa panas dan air mata menggumpal.
"Jangan mati, Rian!" pinta Nadia putus asa. Keong yang kini muncul dari kerah bajunya tidak berkata apa pun. Hanya sungutnya bergerak-gerak khawatir.
Rian menutup mata sementara napasnya terus terengah. Keringat mengucur. Nadia memandang sekeliling berusaha mencari pertolongan tapi tidak ada yang bisa membantu. Mereka sudah berjalan cukup jauh dari gerbong kereta. Mungkin Nadia bisa kembali ke sana dan meminta bantuan. Hanya saja, gadis itu bingung, dia tidak mungkin meninggalkan Rian terbaring sendirian sementara dia pergi.
Resiko harus diambil, Nadia bertekad dalam hati. Rian harus selamat entah bagaimana. Gadis itu sudah siap berdiri ketika terdengar gemerisik dedaunan dari arah kirinya. Kewaspadaannya meningkat sementara darahnya memompa adrenalin. Perlahan, Nadia meletakkan kepala Rian ke tanah sebelum dia berdiri dan memasang kuda-kuda. Jika itu adalah hewan atau orang, Nadia pasti bisa melakukan sesuatu.
Suara itu terdengar makin dekat dan Nadia mengeratkan tinjunya.
"Hati-hati," bisik Keong kembali bersembunyi di balik tengkuk Nadia.
Suara ranting patah dan Nadia dapat melihat sosok manusia muncul dari balik dedaunan rimbun. Seorang gadis yang terlihat lebih tua darinya muncul dari sana. Bahkan Nadia harus mengakui dia cantik. Rambut hitamnya tergelung rapi membentuk sanggul kecil. Matanya besar sedikit menyipit di ujung luar sementara bibirnya yang tebal berwarna merah secara alami. Yang paling menarik perhatian Nadia adalah pakaiannya yang terlihat kuno. Dia memakai kemben berwarna putih dan dilapisi oleh kebaya dengan brokat berwarna senada. Ketika melihat Nadia, dia tersenyum.
"Maaf, aku mendengar ada kecelakaan di sekitar sini, jadi aku datang untuk membantu." Pandangan matanya mengarah pada Rian yang terbaring di tanah. Ekspresinya berubah menjadi prihatin. "Astaga, kalian pasti korban kecelakaan itu. Aku bisa memberi pengobatan di rumahku."
Nadia bimbang. Rian jelas-jelas butuh bantuan, tapi matanya tidak bisa dibohongi. Gadis di hadapannya itu bukan manusia. Auranya berwarna merah darah. Bisakah Nadia mempercayainya?
AKHIRNYA SETELAH SEKIAN PURNAMA CERITA INI LANJUT!!!
//potong tumpeng
Fear not! Bakal kukebut ngepot ngueng selama bulan Mei karena ini ikut di Marathon Writing Month NPC2301 wish me luck! Doakan bisa segera kelar! See you next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top