7: Gagal Jaim di Depan Gebetan
"Aku baik-baik saja, tetapi tidak dengan satpam kompleks."
Nyaris saja Nadia membanting ponsel canggih berharga jutaan itu dari tangannya karena super kesal dengan kakak yang super tidak peka. Setelah dua hari menghilang dan dia hanya mengirim satu pesan balasan yang tidak jelas maksudnya apa. Nadia benar-benar butuh semua pengendalian dirinya untuk tidak menghajar seseorang atau melempar sesuatu atau mungkin melakukan keduanya sekaligus. Jari-jarinya gemetar menekan nomor telepon Aidan yang dia hafal di luar kepala sambil terus mengumpat dalam hati.
Terdengar nada sambung. Pada dering kedua, telepon diangkat dan sebuah suara yang familiar menyapa telinga.
"Halo," balas Aidan ringan seakan tidak terjadi apa-apa.
"WOI KAKAK GA GUNA!!! KE MANA SAJA KAMU DUA HARI INI?!" Sumbat amarah Nadia terlempar entah ke mana. Dia bisa membayangkan Aidan menjauhkan telinga dari pengeras suara ponsel tapi peduli amat. Aidan layak mendapat semua siksaan karena sudah membuat adiknya khawatir setengah mati, setengah hidup dan setengah-setengah lainnya. "Dua hari ga aktifin HP! Aku kira kamu sudah dimakan raksasa!!!"
Napas Nadia terengah. Baru pada saat itu dia merasakan guyuran kelegaan membanjiri benak. Kakaknya masih hidup dan masih bisa berbicara santai. Itu berarti Aidan baik-baik saja. Segala kekhawatirannya lenyap, menyisakan endapan waspada. Jika visinya tidak terjadi saat ini, berarti itu akan terjadi di masa depan. Napas Nadia tercekat. Keadaan belum benar-benar aman.
"Bukan aku yang matiin HP. Ada yang aneh, teleponku kehilangan sinyal." Suara Aidan terdengar memecah pikiran Nadia. Sepertinya remaja itu cukup waras untuk menunggu Nadia diam untuk membalas.
Nadia berdecak. "Jangan cari alasan! Kamu baik-baik saja 'kan? Apa kamu luka? Apa ada kejadian aneh yang terjadi?"
"Ehm, aku baru saja membuat arca manusia ...."
"Hah?!" potong Nadia tidak sabar. "Apa kamu ada kelas kesenian?"
Aidan tidak menjawab membuat kesunyian turun di antara mereka berdua. Nadia mengetuk-ngetukkan telapak kakinya ke tanah.
"HALOOOOO!!! Bumi kepada Aidan!!!" seru Nadia tepat di mikrofon ponsel. Keadaan sedang genting dan kakaknya malah mengajaknya diam-diaman. Kesabaran Nadia benar-benar diuji. "Pulsa ga murah, Kakakku sayang!"
Ada jeda sedikit sebelum suara Aidan terdengar lagi, "Aku berkelahi dengan si Pahit Lidah ...." Dari nada suaranya dia terdengar tidak yakin.
"Hah? Pahit Lidah? Siapa sih yang pake nama seaneh itu?" Nadia mengerutkan alis heran.
"Dia ... salah satu tokoh dongeng anak-anak ...."
Jawaban dari Aidan membuat Nadia terdiam dan tanpa sadar menoleh ke arah Rian yang memandangnya heran. Dia sepertinya bertanya-tanya apa yang dilakukan Nadia dengan kotak kecil sakti tersebut. Nadia menahan napasnya sebelum kembali fokus ke Aidan.
"Kamu juga?" tanya Nadia setengah berbisik.
"Juga?" Aidan terdengar bingung. "Kamu juga apa?"
"Juga bertemu makhluk legenda yang menjadi nyata," balas Nadia sambil berdecak. Kakaknya memang lebih pintar secara akademis tapi lemotnya dalam menangkap pembicaraan mengekor di belakang. Hati Nadia dipenuhi kegelisahan. Itu berarti dugaannya tepat, Aidan belum aman dari Raksasa yang mengejarnya karena fenomena ini terjadi juga walau terpisah jarak.
"Siapa?" tanya Aidan serius. Akhirnya kakaknya tercinta memahami gentingnya keadaan mereka sekarang.
"Sangkuriang," balas Nadia, "dan Keong Mas. Sekarang aku harus menolong Sangkuriang bertemu dengan Dayang Sumbi dan mencari Kristal untuk menyelamatkan kerajaan Keong Mas. Aku juga mendapat visi kalau kamu bakal dikejar raksasa karena kamu punya kristal." Nadia akhirnya mengutarakan alasan kekhawatirannya selama dua hari ini. Rasanya lega sekali bisa menyampaikan informasi ini pada kakaknya. Dengan demikian Aidan bisa lebih waspada.
"Kristal?" tanya Aidan membeo.
Nadia baru saja ingin bercerita tentang visinya, tapi Aidan tiba-tiba saja menyahut, "Jadi, aku mendapatkan tugas dari perempuan angin untuk mencari Kristal kemudian akan dikejar Raksasa? Bagus sekali."
Tawa Nadia meledak. Rasanya senang sekali Aidan sama repotnya dengan dia. Ada sebuah harapan di dalam benak Nadia bahwa mereka akan baik-baik saja. Mereka berdua akan menghadapi apa pun berdua, sama seperti ketika ayah ibu mereka memutuskan untuk berpisah.
"Yah, begitulah. Selamat repot ya!" seru Nadia dengan senyum lebar, sisa-sisa dari tawanya. "Di visi yang kulihat, ada dua kristal, satunya jatuh di pulau Sumatera, satunya lagi di daerah Jawa Tengah. Aku melihat sebuah kota dengan menara jam di pusat kota."
"Hah? Menara jam kan hanya ada di London?!" seru Aidan panik. "Aku tidak punya passport!"
Ingin sekali Nadia memukul kepala Aidan sehingga kakaknya itu bisa berpikiran lebih waras. Percuma otak yang encer tapi tidak diimbangi oleh common sense yang benar.
"SUMATERA KAKAKKU SAYANG!" seru Nadia lagi-lagi langsung ke mic ponsel. "Kenapa bisa sampai London sih? Menara jam itu berwarna putih dengan atap yang mencuat ke empat sisi." Nadia terdiam, kini dia ingat di mana dia pernah melihat bentuk atap seperti itu. "Persis seperti dekorasi rumah makan Padang yang ayah suka datangi bersama kita."
"Ah! Padang! Benar! Aku ingat di sana ada menara jam di sana. Jam Gadang. Itu adalah jam yang memiliki mesin yang sama dengan Big Ben London!"
Nadia memutar bola mata. Penjelasan Aidan persis ensiklopedia yang dilahap oleh pemuda itu setiap hari. "Ya, ya, ya," sela Nadia bosan. "Sepertinya pembagian tugasnya jelas. Kamu cari Kristal di Padang dan aku cari di Jawa Tengah. Kayanya kristal-kristal ini penyebab keanehan ini. Pokoknya, jauh-jauh dari Raksasa, oke?!"
"Siapa yang mau mendekati raksa-"
Suara Aidan terputus membuat Nadia berdecak kesal. Dia memandangi ponselnya dan menekan kembali nomor Aidan hanya untuk mendapati dirinya disapa oleh operator yang mengatakan bahwa pulsanya habis. Nadia mengumpat dalam hati dan mengirim pesan kepada Aidan melalui WA.
"Pastikan ponselmu tetap aktif, Kakak Gaptek."
Nadia mendengkus puas sebelum mengembalikan tatapannya kepada Rian yang kini memandangnya geli.
"Apaan?" tanya Nadia salah tingkah. Lidahnya kelu ketika menyadari kelakuan anehnya saat berbicara dengan Aidan. Rian melihat semuanya.
"Kamu akrab sekali dengan kakakmu," ucap Rian menahan senyum.
Nadia bersumpah dalam hati akan mencekik kakaknya begitu mereka bertemu. Gara-gara Aidan, dia gagal jaim di depan gebetan. Bagaimana lagi? Kelemotan Aidan selalu sukses membuat kesabaran Nadia lenyap.
"Ish! Biasa aja." Nadia memasang wajah kesal. "Punya saudara itu merepotkan, betul nggak, Keong?"
Makhluk kecil yang sejak tadi bertengger di pundak Nadia terkekeh pelan. "Aku ingin tahu rasanya punya kakak yang baik seperti kakakmu."
Rian mengangkat bahu. "Aku anak tunggal."
Nadia terdiam. Dilihat dari sisi manapun dia jauh lebih beruntung dari dua orang di hadapannya. Walau menjengkelkan, Aidan selalu bersedia mendengar curhatnya dan mereka masih saling memiliki satu sama lain di kala orang tua mereka sedang perang dingin. Nadia menghela napas panjang. Masalah sehari biarlah cukup untuk sehari. Dia sudah senang memastikan Aidan baik-baik saja. Setelah ini dia masih harus memastikan bahwa tidak ada Raksasa yang muncul dan memakan kakaknya.
Gadis berkuncir kuda itu berjalan ke pintu gerbang sambil diikuti Rian. Di sana Pak Mun sudah di luar mobil, tanda bahwa Nadia sudah terlalu lama membuatnya menunggu. Wajah pria itu langsung semringah ketika melihat majikannya berjalan ke arahnya. Nadia membalas dengan sebuah senyum. Setelah ini dia bisa beristirahat sebelum mengurus perjalanannya besok. Perjalanan yang panjang mengingat dia tidak tahu letak pasti Kristal yang jatuh di Jawa Tengah.
Nadia hanya berharap, semuanya akan baik-baik saja walau firasatnya berkata sebaliknya.
Hello! Aku datang kembali untuk setor muka di sini hahahaha
Sebelum didemo berjamaah.
Selama belum update De Julid Project, aku akan update di sini biar kelihatan rajin //heh
Aku senang muncul Aidan di sini. Akhirnya tuh kakak muncul juga. Yang kepo sama petualangan Aidan bisa langsung cus ke halamannya Wulan_benitobonita dan baca juga petualangannya dia.
See you next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top