45: Akhir yang Tak Sempurna
"Waktu kita tidak banyak!" tegur si pria melihat Nadia yang ragu.
"Apa kamu benar-benar Penjaga Gunung?" tanya Nadia pada akhirnya.
Pria itu menghela napas sambil mengusap sisa-sisa tanah dan lumut dari wajahnya. "Iya, namaku Arga, sang Penjaga Gunung yang ditugaskan Sang Hyang untuk mengumpulkan pecahan Kristal yang tersebar di Nusantara." Dia memandang Kristal yang berpendar pelan di balik kaos Nadia dengan tatapan kesal. "Sepertinya kali ini benda itu berbuat kacau lebih dari yang sebelumnya."
Nadia menghela napas lega, tubuhnya seakan kehilangan tenaga karena adrenalin yang surut. Dia berpegangan pada dinding gua. Belum saatnya dia merasa tenang. Masih ada yang harus dia lakukan.
"Bantu aku menyelamatkan kakakku. Dia saat ini sedang menghadapi Dukun Kepiting yang ingin membuka gerbang dimensi untuk menemui anak perempuannya," mohon Nadia sambil mengeluarkan Kristal dari balik bajunya. Dia menyodorkan benda itu pada Arga.
Arga berdecak. "Dia, belum kapok rupanya. Ratusan tahun lalu aku menahannya hingga aku kehilangan kekuatanku dan tertidur. Ternyata dia berulah lagi." Pria itu mengambil Kristal dari tangan Nadia. "Kamu mau ikut?"
Tanpa berpikir panjang Nadia mengangguk. Dia harus menemui Aidan dan memastikan dia baik-baik saja, menghentikan semua kegilaan ini dan kembali ke orang tua mereka.
Sebelum Nadia mengangguk kedua kali, tiba-tiba saja dia sudah bepindah tempat. Sekejap mata. Seperti pergantian setting di sinetron murahan bu Ida.
Dia ada di perut gunung, di mana lahar mengalir di sudut-sudut gua, mengingatkannya ketika melawan si culas berkebaya merah di gunung Merapi, tapi kali ini situasinya lebih genting. Nyaris seluruh lantai memiliki retakan di mana lahar cair mengintip siap membakar kaki mereka yang tak siaga. Nadia yakin dia pasti sudah terbakar hangus kalau tidak ada perlindungan dari Nyi Rara Kidul dan mungkin dari Arga. Semoga Aidan belum menjadi arang.
"Kau lagi!" Sebuah suara serak membuat perhatian Nadia teralih.
Dia menahan napas ketika menyadari bahwa Aidan sedang tersungkur di tanah sambil menggenggam tongkat dengan wajah dipenuhi darah dan kotoran. Di depannya, Arga menahan serangan si Dukun Kepiting, seorang pria tua dengan wajah keriput dan rambut memutih, memakai baju Menak hitam bersulam emas di ujung lengan dan kerah. Persis seperti di dalam mimpi Nadia.
Sang Dukun menyerang Arga dengan keris yang bisa mengeluarkan bunyi guntur ketika diayunkan, menunjukkan kesaktiannya. Arga menghindar gesit sambil sesekali membalas dengan pukulan tangan kosong. Pecahan Kristal milik Nadia tergantung di pergelangan tangan pria itu. Namun saat Nadia mengira Arga di atas angin, si dukun mengambil belati kecil dengan tangan kiri dari pinggangnya dan menusuk perut Arga. Pria itu menghindar walau agak terlambat karena tidak menduga serangan mendadak itu, membuat perut Arga tertusuk
Dukun Kepiting mengambil kesempatan itu untuk melarikan diri sambil menyambar kotak Pandora, sebuah kotak kecil yang berukuran tak lebih dari kepalan tangan manusia dewasa.
"Kalian terlambat!" Dukun Kepiting tertawa sambil bersiap membuka kotak.
Nadia yang sejak tadi bergerak diam-diam mendekat ke arah Aidan melihat hal itu dan langsung mengubah arah larinya. Dia melentingkan badan tanpa berpikir ke arah Dukun Kepiting. Tidak ada rencana, hanya gerak impulsif yang berdasar pada insting untuk bertahan hidup. Tubuh Nadia menabrak si dukun lalu terguling dengan rasa sakit di seluruh badan. Dia melihat Kristal milik dukun dan kotak Pandora terlempar dari genggaman pria tua itu. Melawan kehendak ototnya yang menginginkan istirahat. Nadia memaksa dirinya bangkit dan berlari ke arah dua benda yang terlempar di udara, berusaha menangkapnya.
"TIDAK!"
Nadia dapat mendengar seruan pria tua itu, melihat tangannya terulur, nyaris menggenggam Kristal. Sekali lagi, Nadia menekan kakinya dan melompat, ujung jari telunjuknya menyentuh kotak Pandora sementara tangan kanan kanannya menggapai Kristal. Gerakan aneh yang tidak terkoordinasi tapi efektif. Kristal berhasil Nadia ambil dan tangannya mendorong kotak kecil itu keluar dari jangkauan dukun, terlempar beberapa meter jauhnya. Nadia tersaruk ke lantai, merasakan badannya meleleh terkena goresan lahar Dia segera berguling menghindar bersama dengan aroma gosong yang menguar dari badannya yang terkena luka bakar. Matanya melihat sang dukun masih berusaha bangkit untuk mengambil kotak tapi tubuh Nadia menolak untuk bangun.
"Jangan ...," seru Nadia lemah melihat pria tua itu merangkak menuju kotak. Tak peduli dia berusaha seperti apa pun, tubuhnya berada di luar kendali, akhirnya memberontak setelah dipaksa terus melewati batas kemampuan.
Namun bak pangeran dalam negeri dongeng, Aidan tiba-tiba memukul si dukun dengan tongkatnya, membuat pria tua itu pingsan. Tangan keriputnya yang hanya tinggal beberapa senti dari kotak berbahaya itu tergeletak lunglai.
Nadia menarik napas lega.
Sudah selesai.
Semoga.
Nadia hanya bisa berbaring telentang sambil memandang langit-langit, mengumpulkan tenaga. Kerongkongannya terasa haus dan matanya berat, tapi dengan segenap tenaga dia menahan diri dari rasa kantuk. Masih ada yang harus dibereskan.
Maka setelah beberapa saat, gadis itu berusaha bangkit, melihat Aidan duduk di lantai gua dan bertumpu pada tongkat kayu kasar dengan kristal kecil di ujungnya, berjaga dekat dengan si dukun, memastikan pria itu tidak lagi berulah. Seorang gadis tampak berbicara dengannya. Nadia menyipitkan mata.
Siapa?
Aidan merasakan tatapan Nadia dan membalas dengan senyuman, sambil memberi tanda jempol. Nadia tertegun, rasanya sudah lama sekali dia tidak melihat saudaranya itu. Aidan tampak lebih dewasa dan--Nadia enggan sekali mengakui--keren. Gerak-gerik tubuhnya yang sering tampak ragu telah hilang dan matanya tampak jernih.
Mungkin perjalanan ini juga membawa perubahan pada kakaknya itu.
Arga bangkit sambil memegangi perutnya yang terluka dan mengamankan kotak pandora. Dia lalu berjalan ke arah Nadia dan meminta pecahan Kristal satunya. Nadia menyerahkan benda itu tanpa banyak bertanya.
Akhirnya benar-benr selesai. Saat ini Nadia hanya ingin mandi menggunakan air hangat dan tidur di atas kasur empuk, tapi dia sangsi dia bisa melakukannya. Pertama-tama dia harus keluar dari tempat ini.
"Terima kasih." Arga menempelkan Kristal ke dahi Nadia dan seketika Nadia merasakan tubuhnya terasa segar. Rasa haus, sakit dan lelah lenyap seakan Nadia baru saja bangun dari tidur panjang. Luka-lukanya juga hilang bahkan bau gosong akibat terkena lahar juga tak berbekas.
"Tanpamu, aku pasti masih akan tertidur dan dunia ini akan hancur karena ulah tua bangka itu." Arga kemudian menyembuhkan dirinya sebelum berjalan menuju Aidan, Nadia mengekor di belakangnya.
Setelah menyembuhan Aidan. Arga menatap ke arah gunung dan mengerahkan kesaktiaannya. Bersama dengan kekuatan Kristal, gunung kembali tenang. Getaran-getaran dari dalam tanah yang menunjukkan aktivitas tektonik perlahan-lahan hilang dan lahar pun menyurut hilang dari retakan gua. Ketika Arga selesai, keadaan menjadi sunyi seketika hingga Nadia merasa ganjil. Rasanya seperti kembali ke stadion kosong setelah perlombaan selesai. Hiruk pikuk sehari sebelumnya hilang total digantikan oleh deretan bangku kosong tanpa kehidupan.
"Sekali lagi, terima kasih." Arga menatap bergantian antara Aidan dan Nadia. Ada senyum tipis di wajahnya yang kaku. "Kalian mau kukembalikan ke mana?"
Nadia dan Aidan saling betukar pandang, mencapai kesepakatan tanpa suara.
"Ke Palembang, tempat ibu kami," ucap Aidan. "Aku pasti membuatnya khawatir."
"Yaaah, di Surabaya juga ga ada siapa-siapa," lanjut Nadia. Dia kemudian teringat resolusinya untuk berbicara dengan sang ibu berkat Rian ....
RIAN!
Nadia teringat tentang pemuda itu.
"Bagaimana dengan para tokoh legenda yang sempat dihidupkan dengan kekuatan Kristal?" tanya Nadia.
"Mereka akan kembali ke dunia mereka." Arga memainkan dua pecahan Kristal identik di tangannya. "Benda ini sudah cukup membuat banyak kekacauan selagi aku tertidur dan aku harus membereskan semuanya."
Aidan menoleh ke arah gadis di sampingnya. Nadia sangat penasaran dengan cewek itu tapi entah mengapa dia merasa bahwa ini bukan saatnya ikut campur. Kakaknya memiliki kehidupan sendiri setelah mereka berpisah karena perceraian orang tua mereka, Nadia juga. Namun itu membuat dada Nadia merasa sesak.
"Boleh aku minta waktu?" tanya Aidan yang dibalas anggukan oleh Arga.
Kakaknya itu kemudian berjalan agak menjauh dan berbicara dengan sang gadis. Nadia melihat mereka berpelukan dan merasa iri. Rian berada entah di mana dan dia bahkan tidak bisa mengucapkan salam perpisahan.
Curang.
Dia penasaran apa yang akan dikatakan oleh Rian, tapi sepertinya percuma. Nadia memutuskan untuk kembali kepada keputusan awalnya, melupakan Rian walau dia tahu itu akan menjadi hal paling sulit yang pernah dia lakukan.
"Sudah?" tanya Arga ketika Aidan kembali.
Aidan mengangguk penuh tekad. Kristal di tangan Arga berpendar dan sosok gadis itu memudar, bersama dengan Dukun Kepiting yang masih belum sadar.
"Selamat tinggal."
Nadia dapat mendengar sang gadis mengucapkan kata itu sebelum benar-benar menghilang. Dia dapat melihat wajah Aidan kaku menahan air mata. Kakaknya memang semakin dewasa, Nadia harus mengakui. Dia kemudian memeluk pundak saudara semata wayangnya. Lega karena dia telah berhasil menyelamatkan Aidan. Aidan membalas pelukannya.
Akan ada saatnya mereka akan saling bercerita tapi untuk saat ini, kesunyian berbicara lebih keras dari kata-kata. Mereka masih ada untuk satu sama lain dan itu sudah cukup.
Terima kasih telah membaca sampai saat ini! Kalian luar biasa!
Sebenarnya masih ada Epilog tapi mungkin aku akan mengepostnya nanti-nanti saja. HAHAHAHAH.
Biar kalian menunggu sedikit lebih lama lagi. Tergantung seberapa semangat kalian komentar di chapter ini 😋
See you!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top