44: Seganteng Kaos Kaki Aidan
Kristal di dada Nadia berpendar pelan, menyadarikan gadis itu dari pikiran buruknya. Overthinking kalau Nadia ikut kata psikolog di TikTok. Gadis itu menghapus air mata yang sempat lolos dari pengendalian dirinya. Dia menggenggam Kristal di tangannya.
Masih ada harapan.
Dia berkata berulang kali pada dirinya sendiri. Kristal itu masih ada di tangannya dan jika memang Kristal itu sesakti yang dibicarakan, dia pasti bisa melakukan sesuatu. Penunggu Gunung juga konon adalah penguasa gunung yang tidak terkalahkan. Jika Nadia berhasil menemukannya, keadaan bisa berbalik.
Semoga.
Semoga.
Nadia tertatih bangkit dengan tenaga yang hanya tinggal sedikit. Dirinya merasa haus dan lapar tapi tahu dia tidak memiliki kemewahan untuk beristirahat atau pun melepaskan dahaga. Tidak ada waktu untuk itu.
Maka dengan mengerahkan sisa-sisa tenaga terakhir yang dia miiki, Nadia kembali melangkah menuju arah yang ditunjukkan Kristal. Tubuhnya tidak sanggup lagi untuk berlari, jadi dia memutuskan untuk berjalan. Bahkan jika dia tidak memiliki tenaga untuk berjalan, Nadia bertekad untuk merangkak. Apa pun agar dia bisa menyelamatkan Aidan, Rian dan semua orang.
Sedikit lagi.
Itu yang dia katakan berkali-kali setiap kali tubuhnya hendak menyerah. Memaksa agar kakinya bergerak satu langkah lagi.
Nadia tidak tahu berapa lama dia berjalan mengikuti cahaya yang makin redup dari Kristal. Dia hanya tahu bahwa cahaya jingga di belakangnya makin kuat, menandakan waktunya makin sedikit.
Satu langkah lagi ....
Nadia berkata pada diri sendiri. Pandangannya buram karena kelelahan hingga kakinya terantuk. Lagi-lagi gadis itu terjatuh. Keinginan menyerahnya membesar membuatnya menutup mata selama beberapa detik, berbaring tanpa bergerak sambil meredam rasa sakit, mengumpulkan tenaga. Sebagian untuk mengusir pikiran buruknya, sebagian lagi untuk memberi tubuh istirahat singkat.
Saat dia membuka mata dan mendudukkan diri, bersiap untuk kembali bangkit, dia menyadari bahwa cahaya Kristal telah hilang.
"Hei!" seru Nadia menggoncang-goncangkan benda itu tanpa hasil. Kristal itu tetap diam dan tak lagi bercahaya.
Tidak.
TIDAK!
Rasa panik mulai menguasai gadis itu. Masa dia berusaha sejauh ini hanya untuk menyadari dirinya tersesat?
Nadia mengangkat kepala dan melihat sekeliling untuk mencari petunjuk, tapi suasana yang gelap membuatnya tidak melihat apa pun kecuali sebuah gua menganga di hadapannya.
Gua?
Nadia terdiam.
Mungkinkah Kristal meredup karena dia telah tiba di tujuan?
Dengan jantung berdebar, Nadia bangkit walau tertatih. Kerongkongannya kering dan tubuhnya terasa lemah dan kepalanya berdentam sakit, tanda dehidrasi. Dia tidak ingat kapan terakhir kali dia minum, hanya merasakan keringat kering lengket di tubuhnya yang kotor oleh tanah. Sambil berpegang pada dinding batu yang dingin, Nadia mulai melangkah masuk. Rasanya ingin memanggil si Penunggu Gunung tapi akal sehat membuatnya menahan diri.
Bagaimana kalau justru para prajurit Kepiting yang mendengar?
Nadia mendengarkan suara langkahnya menggema dalam kekosongan gua. Seluruh indranya siaga, mengabaikan kelelahan yang menguasai tubuh. Tangan kirinya menggenggam Kristal erat-erat. Samar-samar terdengar suara air menetes dari bebatuan entah di mana. Dia terus berjalan menyusuri gua yang menyempit, hingga akhirnya menemukan jalan buntu.
Samar-samar dia melihat siluet manusia duduk bersila di atas batu. Nadia memincingkan mata yang telah terbiasa dengan cahaya minim untuk memastikan.
Benar. Itu manusia ... atau dulunya manusia. Seluruh tubuhnya ditutupi oleh lumut dan terlihat mengerak, seperti ada lapisan tanah yang menjadi kulit.
"Penunggu Gunung?" bisik Nadia tidak yakin. Suaranya menggaung sumbang, memantul di dinding tidak rata di sekitarnya. Bulu kuduk Nadia berdiri.
Tidak ada jawaban.
Nadia menelan ludah.
Apa Kristal membawanya ke tempat yang salah?
Atau Penunggu Gunung sudah lama meninggal dan seluruh harapannya sia-sia?
Overthinking lagi. Nadia menggelengkan kepala mengusir pikiran buruk itu. Dia mengulurkan tangan, hendak menyentuh (atau membangunkan) sosok itu. Namun baru saja tangannya menyentuh batu, tiba-tiba saja Kristal di dada Nadia bersinar terang.
Sontak, gadis itu mundur dan menutup mata melindunginya dari cahaya benderang. Samar-samar dia mendengar kertakan seperti suara tulang yang digerakkan setelah lama tak terpakai.
Krak!
Kraaaak!
Ketika perlahan-lahan Nadia kembali dapat melihat. Dia harus mengucek matanya berkali-kali memastikan bahwa dia tidak berhausinasi. Pendar Kristal yang memudar menerangi batu berbentuk manusia di hadapannya bergerak, menoleh ke kanan ke kiri sebelum melemaskan bahu.
"Sudah berapa lama aku tertidur?"
Sebuah suara pria yang dalam bergema di dalam gua membuatnya terdengar lebih seram. Nadia melangkah mundur tanpa sadar diiringi sikap siaga. Kakinya bergerak membentuk kuda-kuda siap menyerang sementara tangannya menggenggam Kristal dengan protektif.
Sosok di hadapannya terus bergerak merenggangkan tubuh, mengabaikan Nadia. Pria di hadapannya itu akhirnya berdiri, dua jengkal lebih tinggi dari gadis itu. Beberapa kali dia mengusap wajah untuk menyingkirkan tanah dan lumut, sebelum dia merasa kesal dan menghentakkan tubuh agar kotoran di seluruh badannya luruh.
"Sial, sepertinya lama juga aku tertidur," gerutu makhluk itu.
Nadia akhirnya dapat melihat jelas sosok di hadapannya, dibantu cahaya redup dari Kristal yang berpendar. Seorang pria mungkin beberapa tahun lebih tua darinya, tubuh tegap dengan dada bidang tanpa ditutupi pakaian, garis wajahnya tegas dan terlihat sulit tersenyum, memakai jarik coklat yang pudar di atas celana hitam. Rambutnya kelamnya dipotong pendek dan dipenuhi lumut.
Ganteng tapi jorok. Kaos kaki Aidan saja sepertinya lebih bersih dari orang di hadapannya.
Ew.
Ehm, bukan saatnya memikirkan itu. Nadia menampar dirinya secara mental untuk kembali ke realita.
"Sang Penunggu Gunung?" tanya Nadia ragu membuat pria itu menoleh ke arahnya. Gadis itu menahan diri agar tidak berjengit takut, berhasil membuat dirinya tetap tegak berdiri dan terlihat agak berwibawa.
"Aku butuh bantuanmu," lanjut Nadia ketika menyadari pria di hadapannya hanya menatapnya tanpa ekspresi.
Tidak ada balasan, tapi Nadia dapat mendengarnya mengumpat pelan dalam bahasa yang tidak dia kenali.
"Sudah berapa lama aku tidur?" tanya pria itu yang hanya dibalas gelengan oleh Nadia.
Dia mengumpat lagi, sebelum melihat Kristal di genggaman Nadia.
"Benda itu! Kristal Sang Hyang?!"
Nadia mengangguk sambil bersiaga kalau-kalau pria itu berusaha mencuri. Dia memasukkan Kristal ke balik kaosnya sambil terus waspada.
"Aku tidak merasakan hawa jahat darimu dan aku jelas tidak bermaksud buruk, kamu bisa lebih santai dan menjelaskan apa yang terjadi ...." Dia terdiam sejenak, memandang sekeliling, seperti merasakan sesuatu dengan kekuatannya. "Sial, ada yang berulah dengan gunung." Suaranya terdengar kesal.
Dia mengambil napas, menutup mata sebelum menghentakkan kaki ke tanah kuat-kuat. Nadia dapat merasakan getaran kecil merambat dari pria itu keluar hingga ke seluruh pulau. Gadis itu merasakan sesuatu berubah walau tidak tahu apa.
"Itu memberi kita sedikit waktu," ucapnya sebelum menatap tajam ke arah Nadia. "Sekarang berikan aku penjelasan apa yang sudah terjadi."
Nadia menelan ludah. Walau pria di hadapannya terlihat meyakinkan, dia masih belum mendapatkan jawaban.
Benarkah orang itu adalah sang Penunggu Gunung?
Yes! Ini marathon update sebagai balasan karena membuat kalian menunggu seribu purnama cerita ini tamat wkakakakakak.
Next chapter adalah chapter terakhir. Ayo tinggal sedikit lagi cerita ini selesai!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top