42: GPS Ghoib?

Senyap. Hanya bunyi gemuruh gunung di belakangnya yang terdengar tanda bahwa aktivitas vulkanik makin meningkat.

Nadia meringkuk di tanah tanpa berbuat apa-apa. Entah sudah berapa lama dia membiarkan keputusasaan menguasai dirinya.

Dia telah gagal.

Tanpa ponsel, makanan, dan minuman, dia tidak memiliki apa pun untuk membantunya menemukan sang Penunggu Gunung yang bahkan dia tidak tahu wajahnya seperti apa. Dia tersesat tanpa memiliki petunjuk ke mana harus melangkah. Cahaya bulan yang lemah setengah tertutup oleh asap yang membubung tinggi dari kawah. Bau belerang makin pekat seiring dengan semakin seringnya gempa bumi yang terjadi.

Nadia memandang ke arah puncak gunung yang menyala di gelap malam. Sesekali ada lontaran magma berusaha mencakar langit. 

Aidan ada di sana tapi Nadia hanya bisa terpuruk tanpa melakukan apa pun, membuat kakaknya harus menempuh bahaya sendirian. Bahkan jika dia berlari sekuat tenaga untuk mengejar Aidan, dia tidak akan bisa tiba tepat waktu. Tanpa arah, dia justru akan makin tersesat.

Dada gadis itu sesak. Rasa tidak berdaya yang selama ini dia tekan meruak tanpa kendali, berubah menjadi bulir-bulir air mata yang menggenang dan jatuh di pipi. Isak tangis yang dia kunci terdengar dari bibirnya yang kering.

"Percuma," gumam Nadia pelan. "Percuma ...."

Perasaan itu masih sama saat dia menangis sendirian di kamar setelah mendengar keputusan cerai dari kedua orang tuanya. Namun kali ini tidak ada Aidan yang terus menerus mengetuk pintu kamarnya, membujuk Nadia untuk membuka pintu. Kakaknya itu juga akan mati karena ketidakbecusannya. 

Sama seperti waktu itu, tidak ada hal yang bisa Nadia lakukan untuk mengubah keadaan. Lebih dari lima tahun berlalu tapi Nadia tetap tidak bisa melakukan apa pun untuk mengubah keadaan. Perjalanannya sejauh ini sia-sia, dia dan Aidan akan meninggal, bahkan ayahnya juga akan tewas terkena tsunami akibat letusan gunung. 

Sia-sia.

Semua sia-sia.

Air mata makin deras mengalir di pipi Nadia seiring dengan tangisan yang berubah menjadi jeritan kekecewaan yang membelah malam. Dia memukul-mukul tanah hingga tangannya mengeluarkan darah akibat menghantam batu. Bahkan rasa sakit fisik yang dia rasakan tidak ada apa-apanya dengan rasa sakit di dadanya. Rasa marah, kekecewaan dan putus asa bercampur menjadi satu dalam teriakan demi teriakan di tengah hutan. 

Nadia mencengkram Kristal yang tergantung di dadanya, menarik benda itu hingga rantainya terputus dan menggores leher lalu melemparkannya sekuat tenaga.

Kantong kain berwarna biru gelap itu melayang di udara melewati celah yang terbuka dan tiba-tiba bersinar terang.

Secara reflek Nadia menutup mata dan menghalangi sinar itu dengan tangannya. Baru setelah dia merasa cahaya itu memudar, baru dia berani membuka matanya perlahan. Awalnya dia merasa keadaan menjadi semakin gelap, tapi setelah membiasakan matanya, Nadia baru bisa melihat situasi.

Kantong berisi Kristal itu mendarat sekitar lima meter di depannya, di seberang jurang selebar satu langkah manusia dewasa, berpendar pelan di tengah gelap.

Nadia tertegun.

Mungkinkah dia berhalusinasi karena rasa putus asa?

Dia menunggu. Detik menjadi menit dan Kristal itu masih berpendar dari balik kain yang membungkusnya. Perlahan, Nadia bangkit walau sedikit terseok. Dia mengambil ancang-ancang untuk melompati celah sebelum mengerahkan tenaganya yang tersisa untuk melompat.

Saat kakinya nyaris menapak tanah, goncangan kembali terjadi membuat gerakan Nadia kehilangan momentum dan membuat tubuh remajanya tesaruk ke tanah. Bajunya robek di daerah pundak, tapi untungnya tidak ada sendi yang terkilir. Setidaknya keberuntungan masih berpihak padanya.

Sambil tertatih, Nadia menyeret langkahnya untuk memungut Kristal yang berpendar itu. Dia bertanya-tanya mengapa benda itu baru bereaksi sekarang. Dengan penasaran dia mengeluarkan Kristal dari kantong dan mengamati benda itu.

Baru saat itu dia menyadari bahwa ada sebuah cahaya lurus kecil seperti jarum yang keluar dari benda itu menunjuk ke arah tertentu. Dia mencoba memutar-mutar Kristal tapi jarum cahaya itu tetap menunjuk ke arah yang sama. 

Nadia mengerutkan kening sebelum melihat ke arah yang ditunjukkan.

Gelap dan hanya ada pepohonan. Namun itu cukup membuat harapan gadis itu bangkit.

Sekecil apa pun, Nadia pasti akan meraihnya. Rasa takutnya pada kegagalan memaksa Nadia untuk terus berusaha. Dia enggan merasakan lagi perasaan yang beberapa saat lalu menguasai akal sehatnya. Perasaan yang bagai lubang hitam yang menyedot segala keberadaannya.

Nadia tidak tahu ke mana arah yang ditunjukkan oleh Kristal tapi itu mungkin adalah satu-satunya kesempatan.

Nadia memegang Kristal itu erat-erat. Namun ketika dia hendak melangkah, terdengar suara-suara orang bergerak ke arahnya. Sudarsana dan para prajuritnya, atau malah kaki tangan Dukun Kepiting?

Jantung Nadia mencelus. Cahaya terang tadi pasti menarik perhatian banyak orang entah yang dia inginkan atau tidak. Gadis itu tidak membuang waktu, dia menarik napas dalam-dalam sebelum memasang kuda-kuda untuk berlari.

Tiga.

Dua.

Satu.

Ada suara tembakan imajiner di kepalanya seperti bunyi senapan diletuskan untuk memulai perlombaan. Otot Nadia melenting maksimal, membuat gadis itu melaju dengan kecepatan yang mampu membawa gadis itu ke posisi terdepan dalam lomba lari. Dia mengabaikan daun yang menampar wajahnya dan menghindari akar yang hendak menjegalnya. Namun kali ini keberuntungan Nadia tampaknya menipis.

Tepat sepuluh meter di hadapannya, Nadia melihat salah satu Pasukan Kepiting berada di lintasan larinya. Pemuda itu terkejut, tidak menyangka ada seseorang yang berlari dengan kecepatan tinggi ke arahnya. Nadia tidak sempat mengubah jalur terlalu banyak, membuatnya akhirnya menyerempet pemuda itu.

Akibatnya fatal. Nadia terguling di tanah. Hal yang dia ingat adalah menggenggam erat-erat Kristal tidak peduli rasa sakit dan ngilu berebutan menguasai indra di seluruh tubuhnya. Ketika dia akhirnya berhenti berguling, Nadia hanya sempat menarik satu napas sebelum dia mendengar lebih banyak orang datang ke arahnya.

"Sial!" umpatnya pelan sambil berusaha bangkit walau rasa sakit menjalar di seluruh tubuh. Dia berani jamin kulitnya penuh luka dan lebam, tapi itu bukan hal penting untuk saat ini. Nadia bergegas bangkit ketika mendengar pemuda yang dia tabrak berteriak memanggil Pasukan Kepiting lain. Dia mengabaikan darah yang mengali di lengannya dan memaksa kakinya melangkah.

Masih bisa.

Nadia mengambil satu napas panjang sebelum kembali berlari, mengikuti arah yang ditunjukkan Kristal. Dia dapat mendengar teriakan dan seruan di belakangnya. Pengejarnya makin banyak, membuat gadis itu tahu bahwa nyawanya benar-benar di ujung tanduk. Lari atau mati.

Jika dia tertangkap sekarang, tidak akan ada yang membebaskannya. Aidan sedang melawan Dukun Kepiting, Sudarsana nasibnya tidak diketahui sementara Rian ....

Nadia menepis pikiran tentang pemuda itu.

Tidak ada gunanya.

Dia menegur dirinya berulang kali karena pikirannya terus menerus membawanya ke Rian.

Suara-suara itu mendekat. Nadia terus berlari walau tahu rasa sakit membuat kemampuannya berkurang. Dia tak bisa berlari tanpa meringis dan merintih. Kulitnya seakan terkoyak dan ototnya seperti mau putus. Melawan semua keinginan tubuhnya, Nadia terus bergerak.

Berbelok ke kiri, lalu ke kanan. Lurus. 

Nadia mengikuti arahan Kristal walau beberapa kali harus berbelok tanpa mengurangi kecepatan membuat kakinya nyaris terkilir. 

Kanan. Kiri. Lurus dan melompati pohon tumbang, lalu ke kanan ....

Gempa bumi kembali menggoncang membuat Nadia tesaruk. Dia berusaha berguling agar momentum jatuhnya tidak menghantam tulang dan ototnya. Bahunya yang terbuka kembali tergores dan berdarah makin dalam. Dia dapat merasakan cairan hangat berbau anyir mengalir dari sana. 

Suara-suara makin dekat, mungkin hanya lima belas meter lagi sampai dia terkejar. Nadia mengabaikan rasa sakit yang menyengat dan bangkit walau terengah.

Namun sekali lagi sepertinya nasib mempermainkannya.

Akibat gempa tadi, tanah di hadapannya merekah. Kali ini ada jurang sekitar lima meter yang membentang antara dirinya dengan tujuan. Dia tidak yakin bisa melompati jarak sejauh itu.

"Kau tidak bisa lari lagi!"

Sebuah suara membuat Nadia menoleh. 

Sial. Pasukan Kepiting telah muncul satu per satu dari balik pohon dan mengepungnya. 

Gadis itu terjepit. 

Mungkin kali ini, Nadia benar-benar harus menyerah.

UPDATEEEEEEE! //joged

Baru chapter kedua setelah mulai MWM 🥲 mari berjuang agar aku tidak menari ular soalnya itu hukuman bagi yang kalah 🥲🥲🥲

Wish me luck!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top