41: DEMI KAOS KAKI AIDAN!

"LARI!"

Sudarsana memberikan perintah sambil mencabut kujang dari pinggangnya. Senjata berupa belati melengkung seperti gantungan dengan sigap menahan sabetan golok pasukan Kepiting. Nadia ikut membantu dengan melayangkan tendangan ke arah dada salah satu prajurit membuatnya terjengkang, menjatuhkan senjata.

"Ke arah mana?!" sahut Nadia sambil memasang kuda-kuda. Dia kembali menyarangkan tendangan ke arah lawan yang masih belum belajar dari kesalahannya. Namun, karena kalah jumlah, lengan Nadia tergores saat menghindar dari sabetan golok penyerang lain. Gadis itu meringis menahan sakit, mengabaikan sensasi darah yang mengalir di kulit.

Bunyi ponsel masih menggema di antara keributan yang terjadi membuat Nadia ingin mengutuki siapa pun yang menelponnya.

Demi kaos kaki Aidan yang tidak dicuci seminggu! Kenapa di pulau Krakatau ada sinyal?!

Sudarsana tidak sempat mengambil napas untuk menjawab Nadia, begitupula dengan gadis itu. Mereka berdua sibuk menghadapi musuh yang sama sekali tidak kasih kendor. Celakanya, karena dering ponsel yang terus berlanjut, pasukan lain yang mendengar ikut mendatangi mereka.

Bagus.

Nadia benar-benar ingin mencekek orang yang menelpon di saat ini. Termasuk mencekek dirinya yang lupa mengaktifkan mode diam pada ponsel.

"Lari!" seru Sudarsono sekali lagi setelah menebas leher salah satu prajurit yang ingin memotong lengannya. Darah bercecer menodai wajah panglima itu. "Aku akan menahan mereka. Kamu cari sang Penunggu!"

Nadia hanya bisa mengangguk dan mulai bergerak walau dia tidak tahu ke mana dan apa yang harus dia lakukan. Hanya ada satu hal yang bisa dia lakukan saat ini.

Lari.

Nadia kembali melayangkan tendangan untuk merobohkan lawan yang menghadang jalannya. Dari sudut mata dia dapat melihat lebih banyak pasukan kepiting datang. Jika serangannya gagal kali ini, kesempatannya untuk kabur akan hilang.

Kena!

Terdengar bunyi derak tulang yang patah dari prajurit di hadapannya dan pemuda itu terjungkal.

"Paman harus tetap hidup!" seru Nadia memelesat di antara celah yang ada sebelum prajurit lain mengisi kekosongan.

Sudarsana mengangguk sebelum mengambil golok yang jatuh dari pemiliknya yang tak lagi bernyawa. Nadia mengerahkan seluruh ototnya untuk melentingkan tubuh sejauh yang dia bisa. Dia dapat mendengar suara prajurit yang berusaha mengejarnya, tapi tak lama kemudian, terdengar suara erangan. Nadia tidak berani menoleh dan terus berlari, melewati prajurit tambahan yang tak sempat bereaksi. Mungkin Sudarsana melempar golok pada siapa pun yang berusaha mengejarnya.

Selanjutnya kejadiannya terjadi begitu cepat. Nadia hanya berlari hingga napasnya tak lagi mengizinkan. Saat ototnya mulai kaku, Nadia akhirnya tersandung akar yang muncul dari tanah, membuat tubuhnya terguling semeter ke depan. Dia berhenti dalam keadaan terlentang. Napasnya terengah-engah sementara dia memandang pepohonan yang menaungi. Dia dapat melihat langit senja di sela-selanya. Suasana sunyi. Hanya gemuruh gunung yang hendak memuntahkan cairan panas. Baru saat itu Nadia merasakan seluruh tubuhnya sakit.

"Sial," umpatnya pelan sambil berusaha bangkit. Dia tidak boleh menyerah sekarang. Sudarsana sudah memberinya kesempatan dan Aidan bergantung padanya.

Perlahan, Nadia berdiri lalu memungut tasnya yang terlepas saat dia berguling. Saat itu dia baru mengecek ponselnya. Seperti yang dia duga, Aidanlah yang menelpon. Terlihat satu panggilan tak terjawab yang sempat mengancam nyawanya dan sebuah pesan.

"Aku sudah di pulai Krakatau. Kata teman seperjalananku, Dukun itu ada di dalam gunung. Aku akan ke sana sekarang."

Nadia sudah kehabisan tenaga untuk memberikan komentar sinis tapi kata-kata Aidan tentang teman seperjalanan membuat Nadia mengerutkan alis.

Siapa?

Sambil menghela napas dan membuka sepotong coklat, Nadia memutuskan menelan pertanyaannya. Jika mereka berdua masih hidup setelah huru-hara ini, Nadia akan bertanya pada Aidan. Mungkin sedikit menjewer telinga kakaknya itu karena sudah melibatkannya pada petualangan berbahaya seperti ini.

Mengingat tujuan yang harus dicapai membuat semangat Nadia sedikit kembali. Setelah menghabiskan sebatang coklat, tenaga gadis itu pulih. Namun saat dia memandang sekeliling, rasa takut kembali mencekam. Pohon dan semak mengelilinginya tanpa memberikan petunjuk ke mana dia harus melangkah. Celakanya lagi, dia kehilangan arah. Petunjuk yang diberikan oleh Nyi Rara menjadi tidak berguna.

Nadia menelan ludah. Tangannya gemetar dan hatinya dicengkeram oleh rasa takut yang begitu sangat. Ditambah rasa lelah yang menyergapnya, harapan Nadia perlahan-lahan terkikis.

Apa yang harus dilakukan?

Pengorbanan Sudarsana membuat perasaan gadis itu makin berat.

Bagaimana kalau ternyata pengorbanan pria itu menjadi sia-sia karena Nadia tidak becus menemukan Penunggu Gunung?

Aidan sudah dalam perjalanan menuju Dukun Kepiting. Bagaimana kalau dirinya terlambat?

Pikiran-pikiran negatif merongrong Nadia bagai awan gelap yang menggantung sementara gemuruh gunung yang makin keras terdengar. Tanah bergetar membuat Nadia kembali terjatuh. Berapa menit yang dia punya? Sementara matahari makin condong ke barat melemahkan cahayanya. Jika dia tidak bisa menemukan sang Penunggu ketika hari masih terang, berapa kesempatannya berhasil ketika dia harus berjalan dalam gelap tanpa petunjuk?

PLAK!

Nadia menampar dirinya sendiri untuk menghentikan rentetan pikiran negatif yang berkecamuk. Pipinya terasa perih tapi dia berhasil fokus. Masih ada waktu setidaknya satu jam sampai matahari tenggelam.

Jangan biarkan musuh mengintimidasimu!

Nadia mengingatkan diri. Ini seperti saat dia berhadapan dengan juara dua tahun berturut-turut lomba lari antara provinsi. Pada akhirnya Nadia bisa mengalahkannya walau terpaut tipis. Kuncinya hanya satu, Nadia tidak perlu terlalu banyak berpikir hanya terus berlari hingga garis finish.

Sambil meneguk air, Nadia menatap sekeliling, memperhatikan arah bayangan, tips yang dia dapatkan ketika iseng mengikuti kemping pecinta alam di sekolah. Karena sudah senja, jika menuju timur, dia hanya perlu berjalan menuju arah yang berlawanan dengan matahari. Cukup mudah. Seharusnya ....

Nadia menyimpan botol air dan menepuk kedua pipinya dengan tangan. Dia sudah menemukan arah. Betul 'kan? Kalau dihadapi dengan kepala dingin, pasti ada petunjuk. Gadis itu tersenyum puas, merasa dirinya tidak kalah cerdas dengan Aidan. Dia pun memulai langkah pertama dan berjalan makin jauh ke dalam hutan ke arah timur. Tangannya menggenggam kantong Kristal di dadanya.

"Pertemukan aku dengan sang Penunggu Gunung," bisiknya pelan penuh harap, walau tahu Kristal tidak akan melakukan apa-apa untuk menolongnya. Mungkin Nadia hanya perlu teman berbicara.

Sekelebat bayangan Rian sempat muncul walau Nadia buru-buru menepisnya. Tidak ada gunanya memikirkan pemuda itu. Hubungan mereka sudah selesai dan Nadia sudah mendapatkan penyelesaian yang dia butuhkan.

Waktunya untuk terus melangkah.

Nadia terus berjalan dan berjalan hingga kakinya terasa sakit dan sepatunya terkelupas. Tangannya dipenuhi dengan luka gores akibat semak dan bajunya kotor oleh tanah. Napasnya terengah dan kepalanya pusing. Perutnya mual hingga akhirnya semangat tak lagi sanggup untuk menggerakkan tubuhnya yang kehabisan tenaga.

Matahari telah hilang sekitar satu jam lalu dan dirinya berada di tengah gelap gulita. Sinar bulan yang lemah hanya bisa memberikan bayangan samar di sekelilingnya tanpa memberikan arah. Sudah lama akal sehat Nadia berteriak bahwa apa yang dilakukan olehnya adalah sia-sia. Hanya semangat dan keinginan untuk bertemu dengan Aidan yang membuat Nadia terus melangkah tapi kesunyian dan kesendirian adalah musuh yang kuat. Tanpa ada seorang pun yang mengingatkan Nadia tentang tujuannya, membuat keyakinannya goyah.

Gadis itu lelah secara fisik dan mental, hanya bisa berjalan lunglai tanpa arah di tengah hutan. Perut yang lapar membuat Nadia makin lemas. Dia berhenti sejenak dan menurunkan ransel untuk mengambil energy bar lain dari persediaan tapi tiba-tiba tanah bergoncang. Lebih keras dari yang pernah Nadia rasakan sebelumnya membuat gadis itu tersungkur dan tas terlepas dari tangan. Di belakangnya terdengar gemuruh dan Nadia melihat lontaran lava panas ke udara. Namun, sebelum dia bisa mengolah dalam pikirannya, terdengar suara retakan dan tanah kembali bergoncang keras. Tas tempat dia meletakkan benda-benda penunjang hidup bergulir ke dalam jurang yang tiba-tiba muncul akibat gemoa.

Nadia hanya bisa memandang seluruh barangnya jatuh ke dalam kegelapan tanpa dasar tanpa ada kesempatan untuk bertindak.

Tersesat di tengah hutan. Sendirian. Terluka dan kelaparan tanpa ada persediaan makanan.

Seoptimis apa pun dirinya, Nadia tahu harapannya sudah lenyap.

Dia telah gagal.

Aaaaaaaah CHAPTER PERTAMA YANG DITULIS SELAMA MWM 😭😭😭

Doakan aku semoga lancar menuliiiiis!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top