4: Dan Pemenang Kontes Buruk Rupa Adalah ....

Kabar baik dari menjadi seorang atlit lari adalah wali kelas tidak akan protes bila nilai raport hanya cukup untuk naik kelas. Nadia jelas-jelas menikmati hak istimewanya itu dan keluar aula dengan dada terbusung terutama ketika kepala sekolahnya mengumumkan prestasinya selama setahun terakhir. Dia berhasil mengharumkan nama sekolah hingga ke tingkat propinsi dan membawa pulang piala bergilir yang nyaris menyamai tingginya. Sayang sekali, ayahnya tidak ada di sana untuk mendengarkan dan merasa bangga. Nadia sudah lupa kapan terakhir kali ayahnya hadir untuk menerima raportnya secara fisik. Biasanya, Nadia dibekali surat keterangan dari sang ayah bahwa dia akan mengambil raportnya sendiri. Itu pula yang dia lakukan sekarang.

Rian tentu saja tidak mendapatkan raport, beserta dengan puluhan permintaan maaf karena rekap nilainya hilang. Nadia mendengkus. Tentu saja makhluk itu tidak memiliki nilai karena dia tidak pernah ada sampai kemarin. Rian menunggunya di kantin sekolah setelah keluar dari Aula sementara acara pengambilan raport dipindah ke kelas masing-masing. Nadia sama tidak sabarnya untuk segera memulai perjalanan bertemu Aidan. Namun dia sudah berjanji untuk menunggu sampai wali kelasnya, yang seorang guru pria berusia empat puluh lima tahun, selesai membagikan semua raport kelas. Pria itu akan membahas tentang pengaturan jadwal belajar Nadia dalam persiapannya mengikuti lomba di tingkat nasional.

Nadia memilih untuk menunggu di depan kelas, separuhnya karena dia ingin menghindari Rian. Nadia bukan remaja polos. Dia tahu dia naksir Rian. Beberapa kali dia merasakan hal yang sama pada teman-teman dan kakak kelas dan tiap kalinya Nadia berhasil memasang tampang cool. Hidupnya sudah cukup rumit dengan masalah keluarga dan lomba-lomba. Dia tidak ingin menambahkan pacar di daftar hidupnya. Dalam kasus Rian, rasanya bodoh sekali sampai naksir dengan orang yang sudah memiliki pasangan. Menyebalkan. Satu-satunya yang dia sesali adalah dia merasa seperti gadis-gadis centil di kelasnya yang selalu terkikik ketika ada cowok lewat untuk menarik perhatian. Demi kaos kaki Aidan, Nadia tidak mau sampai dia menjadi selebay itu.

Mulai bosan, Nadia melongok ke dalam dan mendapati tinggal dua wali murid dan dua temannya yang belum dipanggil. Harusnya sebentar lagi dia bisa berbicara dengan sang wali kelas. Keadaan sekolah sudah sepi seiring dengan berkurangnya wali murid yang menunggu dan tidak ada yang bermain-main di lapangan.

Yah, siapa murid yang tidak sabar memulai liburannya?

Pikiran Nadia kembali melayang. Jika Rian memang Sangkuriang dalam legenda, berarti Dayang Sumbi adalah ibunya. Harapan Nadia membumbung tanpa sempat dikendalikan. Sumbi jelas-jelas menolak Rian dan mungkin, mungkin saja, dia masih memiliki kesempatan.

Tapi, dia itu makhluk dari legenda!

Suara hatinya menamparnya kembali ke alam nyata. Nadia mendesah tajam sambil mengayun-ayunkan kakinya, menimbulkan bunyi bergesek pelan pada lantai keramik. Akal sehatnya benar. Tidak mungkin dia jatuh cinta pada makhluk yang bukan manusia. Lagipula, Nadia kembali menampar dirinya secara mental, dia harus fokus pada Aidan. Pikirannya tidak boleh terbelah dengan hal-hal yang tidak penting. Seandainya dia mau menambah keribetan dalam hidupnya dengan seorang laki-laki, dia akan memilih cowok yang nyata.

"Nadia!" Gurunya memanggil membuat Nadia tersadar.

Gadis itu segera berdiri dan melemparkan senyum basa-basi pada seorang wanita berpakaian sederhana yang terakhir keluar dari ruang kelas, sebelum dia melangkah masuk melewati pintu. Nadia

Pembicaraan itu tidak lebih dari tiga puluh menit. Nadia mendapat dispensasi untuk tidak mengikuti beberapa jam pelajaran untuk menambah porsi latihan tapi sebagai gantinya, dia harus mengikuti kelas tambahan, bla bla bla. Bukan hal penting untuk saat ini, di saat nyawa kakaknya sedang berada dalam bahaya. Segera setelah melepaskan diri dari guru beruban itu, Nadia memelesat menuju kantin sekolah, tempat di mana Rian sedang duduk dengan tiga mangkok bakso yang sudah tandas. Tadi Nadia memberikannya sedikit uang untuk membeli makanan. Dia bukan orang sadis yang membiarkan makhluk kuno makan rumput sekolah, apalagi kalau makhluknya berwajah tampan. Ehem.

"Kadaharan ieu lezat." Rian berkomentar dengan senyum yang merekah. Dia jelas terlihat lebih bersemangat setelah perutnya terisi penuh dengan makanan sungguhan.

"Sorry, aku lama. Guru kelas kita bisa sangat cerewet kalau berbicara dengan orang tua murid." Nadia mengintip ponselnya dan belum ada tanda-tanda dari Aidan. Pesannya masih centang satu sejak dua hari lalu. Rasa tidak nyaman menggelayuti benak Nadia. Ingin sekali dia segera memesan tiket pesawat dan langsung ke Palembang.

"Tidak apa-apa, tadi beberapa gadis menemaniku ngobrol selama menunggumu," ucap Rian semringah. "Awéwé geulis pisan."

Gerakan Nadia langsung kaku selama beberapa saat. Dia memandang Rian dengan senyum datar. Rasa kesal muncul begitu saja ketika membayangkan Rian sedang duduk di antara cewek-cewek yang terkikik berusaha menarik perhatian.

"Oh, begitu, sepertinya kamu senang sekali, ya?" balas Nadia dingin yang langsung membalikkan badan dan meninggalkan Rian sambil menelpon sopirnya.

Senyum Rian langsung luntur dan wajahnya berubah panik. Dia langsung berdiri dan mengejar Nadia. "Hei, kenapa kamu tiba-tiba pergi?"

Nadia mendengkus tapi dia berpura-pura tidak melihat Rian. Dia tidak bisa mengusir pemikiran mengganggu itu padahal dalam hati dia tahu kalau apa pun yang dilakukan Rian, dengan siapa pemuda itu berbicara, bukan urusannya. Dia meminta Pak Mun menjemput di tempat biasa sambil terus berjalan menuju gerbang, mengabaikan Rian yang masih berusaha mengajaknya berbicara. Namun, tiba-tiba dia mendengar suara teriakan hanya sekejab hingga dia tidak yakin itu nyata. Seketika langkahnya berhenti.

"Ada apa?" tanya Rian yang menyadari ekspresi Nadia yang tiba-tiba menegang.

Nadia tidak menjawab, hanya meletakkan jari telunjuk di mulutnya. Gadis itu menunggu selama beberapa saat, memastikan bahwa dia tidak salah dengar. Keadaan sekolah sudah sangat sepi. Lapangan basket besar kosong dan guru-guru yang masih ada sedang berada di ruangan di lantai dua, mengurus administrasi. Tidak ada orang yang berlalu lalang sehingga Nadia yakin suara itu cukup layak untuk diperhatikan. Dia tidak memiliki kemampuan untuk mendengar suara hantu yang berbicara langsung ke kepalanya seperti Aidan. Sepertinya sih, suara manusia.

Terdengar teriakan lagi. Suara seorang gadis melengking dari arah gang kecil yang membatasi kompleks SMP dan SMA. Naluri Nadia menyuruhnya untuk segera berlari ke arah sumber suara, untuk menolong, tapi akal sehatnya membuat kaki Nadia tetap diam di tempat. Dia masih ingat usaha-usaha naifnya di masa silam untuk menolong tanpa berpikir panjang.

"Nad?" tanya Rian yang menyadari kebingungan Nadia. "Kamu dengar itu 'kan?"

Terlihat cahaya berwarna kemerahan dari arah jeritan. Dia menoleh ke arah satpam yang sepertinya tidak menyadari apa-apa dan dugaannya menguat. Oke, jadi kejadian ini bukan dibuat oleh manusia karena si satpam tidak sadar dan pasti bukan hantu karena Nadia tidak bisa mendengar telepati dari mereka. Sebuah kesadaran langsung masuk ke kepala Nadia, ini pasti berhubungan dengan kejadian aneh tentang legenda ini.

Nadia langsung mengerahkan segenap kekuatan ototnya untuk menambah kecepatannya dari nol menjadi 32 km/jam, kecepatan yang menaklukkan lawan-lawannya dalam kompetisi.

Dalam waktu beberapa detik dia sudah berada di ujung lorong. Kanannya dibatasi oleh tembok gedung sekolah SMA sementara kirinya adalah koridor-koridor kelas gedung SMP. Lantainya berpaving putih hanya selebar lima meter di mana seorang gadis seumuran dirinya sedang berusaha menghindar dari nenek-nenek paling savage yang pernah Nadia lihat.

Dalam satu kalimat, nenek itu seperti gambaran nenek sihir di dongeng-dongeng kuno yang sedang mengaduk ramuan berwarna hijau mendidih di kuali hitam. Hidungnya panjang dan bengkok, menggunakan jubah hitam yang lebih cocok menjadi kain lap usang, memegang tongkat kayu berbonggol-bonggol yang sulit dibedakan dengan tangan keriputnya. Sementara gadis yang dikejar menggunakan kemben berwarna coklat dan kain jarik yang dibebat ketat ke kakinya. Jelas tidak memudahkannya untuk bergerak cepat. Entah karena keberuntungan atau memang dia lebih jago daripada yang terlihat, sang gadis berhasil menghindari kilatan sihir yang mengarah kepadanya.

Gadis itu melihat Nadia yang masih berusaha mencerna adegan di hadapannya.

"Tolong!" serunya, membuat si nenek sihir ikut menoleh dan memandang Nadia.

Uh-oh.

Dilihat secara langsung, wajah nenek itu jauh lebih buruk dari yang pernah Nadia lihat di buku-buku masa kecilnya. Wajah keriput itu dipenuhi bintil memuakkan dan yang buat Nadia merinding adalah sepasang mata berwarna merah yang menatap buas kearahnya. Pemandangan itu melumpuhkan gerakan Nadia. Sebuah kilatan sihir berwarna merah meluncur ke arahnya. Sialnya, Nadia terlalu terkejut untuk mengaktifkan refleksnya. 

SENANG BISA KEMBALI UPDATE!

Hidupku selama dua minggu terakhir parah sekali :'( sibuk banget dan tidak memiliki libur. Alhasil baru hari ini aku bisa bernapas sedikit lega. Maaf membuat menunggu :'D semoga aku bisa terus update berkala setiap minggu.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top