39: Bau Jigong Buto Ijo

Nadia menahan napas sambil melihat makhluk besar itu mendekat. Jarak mereka sekitar lima puluh meter tapi menyusut dengan cepat. Langkah kaki si Buto Ijo sanggup melampaui beberapa normal manusia sekaligus. Jantung Nadia berdetak kencang tapi sebuah senyum kecil muncul di wajahnya yang telah dinodai oleh tanah. Dia berhasil mengubah masa depan. Buto Ijo menemukannya sebagai ganti Aidan. Setidaknya Nadia mencapai sesuatu.

Sayangnya tidak ada waktu lebih lama untuk merayakan kemenangan. Langkah Buto Ijo makin dekat disertai dengan tawanya yang menggelegar. Nadia segera memandang sekeliling, menganalisa keadaan. Akibat getaran langkah sang raksasa, Nadia akan kesulitan bergerak, tapi kabar baiknya, saat ini dia sudah lebih terbiasa. Jalan ke arah yang ditunjuk Nyi Rara masih terbuka. Nadia segera memasang kuda-kuda berlari dan menghitung dalam hati.

Tiga.

Dua.

Satu.

Gadis itu melentingkan tubuhnya bagai anak panah lepas dari busur. Berlari secepat tenaga ke arah timur seakan-akan dia sedang dalam pertandingan antar provinsi.

"MAU KE MANA KAMU?!"

Raungan Buto Ijo bergema di belakang Nadia, tapi gadis itu sama sekali tidak berhenti untuk menoleh. Nadia memaksa seluruh ototnya bekerja keras dan lebih keras lagi. Dia dapat mendengar langkah raksasa semakin cepat, membuat Nadia mengumpat dalam hati. Ternyata makhluk sebesar itu bisa bergerak cepat.

Sebentar.

Bagaimana cara Timun Mas mengalahkan Buto Ijo?

Nadia merutuki dirinya yang malas membaca. Apalagi di saat seperti ini, mana mungkin dia ingat cerita Aidan tentang dongeng?

Tidak ada jalan lain selain melakukan apa yang dia paling bisa.

Lari!

"DASAR BOCAH SIALAN!"

Nadia mati-matian menahan diri dari menoleh ke belakang agar dirinya tetap fokus ke jalan. Bahaya jika dia tidak melihat batu atau akar yang melintang. Tersandung dalam kecepatan seperti ini hanya akan membuat dirinya terlempar atau lebih parah, keseleo. Tanpa kaki yang berfungsi sempurna, Nadia tidak akan bisa melakukan apa pun. Kakinya adalah senjatanya.

Namun, bunyi langkah raksasa yang berhenti membuat Nadia merasa tidak aman. Firasat buruk memperingatkan. Terdengar bunyi gemerisik dan lenguhan Buto Ijo. Sesuatu dalam diri Nadia mengingatkan dirinya untuk menoleh. Dalam sepersekian detik, gadis itu mengambil keputusan mengurangi kecepatan sebelum meloncat melewati batang pohon roboh setinggi dadanya. Pemandangan pantai telah berubah menjadi hutan. Dia sudah jauh dari tempat dia diturunkan Nyi Rara. Dia bersembunyi di balik pohon dan melihat ke arah si Buto Ijo.

Hati gadis itu mencelus. Dia melihat Buto Ijo sudah mencabut sebuah pohon yang lingkarnya selebar rentangan Nadia.

"Kamu tidak akan bisa lari!" seru raksasa itu sambil melemparkan pohon itu ke arah Nadia.

Mata hitam gadis itu terbelalak mengikuti gerakan pohon yang dilempar bagaikan seorang anak melemparkan ranting. Pohon itu melewati kepala Nadia dan jatuh beberapa meter di depan tempat Nadia bersembunyi diiringi bunyi bedebum kencang dan debu beterbangan. Seandainya dia tidak berhenti, dirinya pasti sudah tergencet oleh pohon itu.

Nadia menelan ludah. Dia selamat, tapi tidak lama. Buto Ijo kembali melangkah dengan tidak sabar diiringi oleh geraman kasar yang membuat Nadia tahu bagaimana nasibnya di tangan Buto Ijo jika tertangkap. Masalahnya, jalan kaburnya tertutup batang pohon. Di depannya ada Raksasa yang siap melahapnya sementara kanan kirinya dipenuhi semak-semak lebat yang entah mengarah ke mana.

Dimakan atau tersesat?

Sebelum Nadia bisa berpikir, Buto Ijo berlari ke arahnya. Keterkejutan membuat Nadia terdiam. Dia tidak menyangka raksasa dapat berlari secepat itu. Beberapa detik yang berharga terbuang, membuat Buto Ijo berhasil menyusutkan jarak. Dalam waktu singkat, Nadia sudah berada dalam jangkauan tangan sang raksasa. Dia dapat melihat seringai kejam di wajah Buto Ijo ketika tangannya yang besar menimbulkan bayangan yang menutupi seluruh tubuh Nadia. Rasa takut memenuhi benak gadis itu dan dia dapat merasakan getar kematian begitu dekat dengannya.

"HAHAHAHAHA!" Tawa kejam Raksasa menggema ketika Nadia menatapnya dengan mata terbelalak.

Bergerak! Lari!

Nadia memerintahkan dirinya dalam pikiran tapi tubuhnya kaku oleh rasa takut. Dunia seakan bergerak dalam kecepatan lambat ketika dia merasakan kulit kasar Raksasa menyentuh lengannya. Bau busuk yang menguar mengalahkan bau belerang di udara.

"TOLONG!" seru Nadia dalam hati ketika dia melihat jari-jari raksasa mengelilinginya. Hanya butuh sedetik lagi sampai Buto Ijo mencengkram dan meremukkan tubuhnya.

Nadia menutup mata tanpa daya, bersiap menerima nasibnya, tapi yang dia dengar berikutnya bukan suara kertakan tulangnya.

"ARRRGH!!!"

Raungan Buto Ijo membuat Nadia tersentak. Perlahan gadis itu membuka mata dan melihat mata sang raksasa tertusuk oleh anak panah. Tangannya yang nyaris meremukkan tulangnya berganti arah dan menepis tubuh Nadia, membuat gadis itu terlempar menembus semak tebal hingga akhirnya menabrak pohon. Tas ranselnya terbuka, menjatuhkan beberapa barang.

Nadia dapat merasakan rasa sakit menyengat. Kabar baik, semak-semak dan tasnya meredam tabrakan. Sambil terengah dan meringis menahan sakit, Nadia mencoba bangkit sambil memeriksa tubuhnya. Untungnya, tidak ada yang patah. Nadia sudah kapok merasakan tulangnya berantakan setelah melawan Dewi Galuh. Namun, itu bukan berarti keadaannya baik-baik saja. Leher gadis itu terasa ngilu karena kepalanya terhentak saat menabrak pohon.

Semoga bukan sesuatu yang serius.

Buru-buru, Nadia memasukkan kembali beberapa perlengkapannya yang terlempar keluar kembali ke tas. Sikat gigi, odol, dan handuk. Raungan Raksasa membuat Nadia kembali menyadari bahwa bahaya belum lewat. Dia segera bangkit dan berniat kabur ketika pergelangan tangannya dicekal.

"Lewat sini!" seru seorang pria sambil menarik tangan Nadia menjauh dari lokasi Raksasa.

Nadia tersentak dan terpaksa mengikuti langkah pria itu karena tenaga dari lengan berotot itu tidak bisa dilawan begitu saja. Walau dia menguasai Tae Kwon Do, bukan berarti dia bisa melepaskan diri seperti pesulap.

"Kita ke mana?!" seru Nadia ketika suara raungan sang raksasa makin sayup. Mereka menembus hutan makin dalam. Nadia tidak tahu apakah mereka bergerak ke arah sang Penunggu Gunung atau tidak. Kegelisahan mulai merayap di benaknya.

"Ke tempat pengungsian penduduk!" balas si pria itu tanpa menoleh.

Nadia merasa sosok di depannya familiar. Dia memincingkan mata, berusaha mengingat di mana dia pernah melihat pria berbaju kuno itu. Jarik motif Majalengka, Kujang di pinggang ....

Rasanya Nadia mengenalnya. Yang jelas dia bukan teman sekolahnya. Jadi Nadia berusaha mengingat-ingat visi yang pernah dia lihat. Mata Nadia terbelalak ketika mengenali pria yang menyeretnya melintasi hutan.

"Kamu ... panglima Kerajaan Krakata?" tanya Nadia ragu.

Pria tiba-tiba berhenti dan menoleh. Beruntung Nadia bisa mengerem gerakannya sebelum menabrak sang panglima.

"Bagaimana kamu bisa tahu? Siapa dirimu?" Panglima melepaskan tangan Nadia dan memegang senjata Kujang, siap menghunusnya.

"Aku juga sedang mencari Penunggu Gunung. Saat ini kakakku sedang berusaha mengulur waktu dengan menghadapi Dukun Kepiting sampai aku bisa membangunkan beliau." Nadia berusaha menjelaskan dengan singkat. "Aku juga mendapat petunjuk di mana letak sang Penunggu Gunung beristirahat."

Sang panglima mendengarkan tapi dia tampak skeptis. "Tapi kamu belum menjelaskan dari mana asalmu dan bagaimana kamu bisa mengetahui tentang Dukun Kepiting dan Kerajaan Krakata."

Nadia menghela napas untuk tetap sabar.

Memangnya tampangnya semencurigakan itu?

"Namaku Nadia. Aku berasa dari Surabaya ...." Dia terdiam, mungkin orang di hadapannya tidak tahu di mana Surabaya. "Pokoknya dari pulau Jawa bagian timur. Aku mendapat visi tentang Kristal sakti yang akhirnya membawaku sampai ke tempat ini karena Dukun Kepiting memiliki salah satunya."

"Salah satunya?" tanya si panglima dengan alis berkerut.

"Karena aku memiliki satunya," jawab Nadia, menahan diri dari memegang kalung di lehernya. Sudah cukup dia memberi informasi pada si panglima yang masih memandangnya curiga. Dia sendiri belum benar-benar mempercayai pria di hadapannya.

"Tadi kamu bilang kakakmu sedang menghadapi Dukun Kepiting?"

Nadia mengangguk walau dia tidak tahu di mana Aidan saat ini. "Iya, karena itu aku harus menemukan sang Penunggu Gunung secepatnya."

"Di mana sang Penunggu Gunung?" tanya sang panglima dengan gestur yang lebih santai. Tangannya tak lagi memegang gagang kujang.

Gerak tubuh pria itu membuat Nadia ikut lega. "Dari tempat Raksasa, ke arah timur." Nadia berusaha mengingat posisi matahari. Benar, tadi dia membelakangi matahari yang sudah condong ke barat, melewati tengah langit.

Sang panglima mengangguk. "Kamu bisa memanggilku Sudarsana. Ayo."

Nadia mengangguk sebelum mengikuti panglima itu berlari menembus hutan. Terdengar gemuruh teredam dari suatu tempat di pulau Krakata, tanda bahaya yang kian dekat. Nadia dapat merasakan tanah di bawahnya bergetar dan dari waktu ke waktu semakin rutin.

Bahaya belum berakhir, Nadia mengingatkan diri. Buto Ijo tampak seperti anak kecil sedang merajuk jika dibandingkan Dukun Kepiting.


UPDATEEEE! Maaf membuat kalian menunggu. Aku mengikutikan cerita ini ke Marathon Writing Month punya NPC2301 semoga dengan dipecut seperti ini aku benar-benar bisa menamatkannya.

Siapa yang sudah tidak sabar baca akhir cerita Nadia angkat tangan!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top