37: Yaqueenkah Sudah Beneran Move On?
Nadia membuka mata dan menyadari dia sudah kembali ke mobil yang sedang melaju, kali ini tanpa mengagetkan bapak sopir. Gadis itu memperbaiki posisi duduknya sambil bertanya-tanya apa yang dikatakan Rian sesaat sebelum dia kembali ke kenyataan. Namun, setelah beberapa saat berusaha membaca gerak bibir Rian yang dia ingat, Nadia menyerah.
Ingatan menetes keluar dari kepalanya seperti air di ember bocor. Gerak bibir pemuda itu makin kabur seiring dengan banyaknya waktu yang terlewat. Ketika sang sopir meminta mereka berhenti untuk makan siang dan merenggangkan tubuh, Nadia memilih untuk melupakan hal itu. Dia bersyukur masih sempat berbicara dengan Rian sekali lagi sebelum mereka benar-benar berpisah.
Walau dadanya terasa sakit oleh hati yang patah, Nadia lebih bisa menerima ketika mereka berpisah baik-baik, tidak seperti saat dia meninggalkan Rian yang menatapnya seperti anak anjing terbuang di Lembang.
Nadia meyakinkan diri bahwa dirinya akan segera move on. Lagipula, pembicaraan dengan Rian membuatnya sadar bahwa dia perlu berbicara dengan kedua orang tuanya setelah ini selesai. Kalau memang dia masih hidup.
Sambil menepuk kedua pipinya dengan tangan, Nadia kembali naik ke dalam mobil. Urusannya dengan Rian sudah selesai. Kini saatnya menghentikan dukun sinting yang ingin menghancurkan dunia entah apa alasannya.
"Anakku! Anakku!!!"
Nadia terkesiap mendengar jeritan pilu dengan suara serak. Dia membuka mata. Melihat sebuah kamar dari kayu yang terlihat mewah. Langit-langitnya tinggi, setiap dindingnya dipelitur hingga mengkilap. Angin malam yang dingin berembus lewat jendela besar yang terbuka di samping tempat tidur. Seorang pria setengah baya memakai baju kurung cekak musang berwarna merah marun sedang memeluk seorang gadis belia yang sedang menutup mata.
"Anakku!" Lolongan pedih itu kembali menggema membuat Nadia iba. "Maafkan Bapak, Nak. Buka matamu!"
Penasaran, Nadia mendekat. Ruangan itu terkesan kuno tanpa listrik atau pun peralatan modern. Bayangkan, tanpa AC, bagaimana seseorang bisa hidup di Indonesia yang kayanya udah keluar dari planet bumi lalu pindah di antara Merkurius dan matahari.
Di sekeliling tempat tidur yang juga terbuat dari kayu, berdiri beberapa orang dengan pakaian yang lebih sederhana. Nadia dapat menduga mereka adalah pelayan. Wajah mereka tampak suram dan hanya bisa memandang kesedihan dari tuan mereka.
Nadia bertanya-tanya apakah dia mengalami visi atau hanya mimpi. Dia nyaris tidak pernah mengalami visi beruntun seperti ini tapi disebut mimpi juga terlalu ajaib. Dalam diam dia mengamati sambil mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sepertinya sedang terjadi tragedi. Anak dari pria itu meninggal
Sedu sedan pria itu berkurang. Dia membelai rambut hitam sang gadis. "Bapak akan mencari cara agar kamu bisa kembali, Nak."
Hati Nadia terenyuh ketika mendengar nada penuh kasih sayang dari pria itu. Apakah ayahnya juga akan menangis jika dia meninggal?
Nadia tidak bisa menjawab. Bagaimana pun juga, dia tidak bisa membayangkan ayahnya menangis untuk dirinya. Ayahnya terlalu dingin untuk itu. Selagi dia memandang sang bapak menidurkan kembali putrinya, pandangan Nadia mengabur. Ketika dia mengerjapkan mata, dia sudah berada di dalam mobil melaju tanpa kendala sementara jalur sebaliknya malah macet.
Yang tadi memang visi. Nadia masih mengumpulkan pikirannya. Entah mengapa dia merasa capek, energinya terasa terkuras padahal dia hanya duduk di mobil. Beberapa hari terakhir ini memang banyak sekali hal yang tak terduga terjadi, termasuk kekuatannya yang bertambah tanpa kendali.
"Neng, kayanya kita ga bisa masuk deh." Suara sang sopir membuat Nadia keluar dari pikirannya. Dia mengangkat kepala dan melihat pelabuhan Merak dalam keadaan tertutup. Seorang petugas meminta mereka memutar balik.
"Maaf, pelabuhan sedang tutup. Anak Gunung Krakatau sedang aktif membuat perjalanan laut di sekitar sini jadi berbahaya. Jadi sementara semua lalu lintas laut dibatalkan." Pria berusia tiga puluhan tersebut mengarahkan mereka.
Sang sopir mengangguk-angguk paham sambil mengucapkan terima kasih sebelum memutar mobil. Si petugas mengawasi mereka sampai mereka berbelok di tikungan dan hilang dari pandangan.
"Terus gimana ini, Neng?"
"Berhenti aja, Pak." Nadia melepaskan sabuk pengaman dan mengambil ransel di kursi belakang. "Aku transfer aja biayanya."
Sopir itu membelalakkan mata. "Neng mau ngapain? Pelabuhannya tutup loh, Neng. Mana katanya ada gunung mau meletus."
Nadia menahan diri dari menjelaskan panjang lebar mengapa dia justru harus pergi ke gunung itu. Percuma, bapaknya malah akan menganggapnya gila. Dia menyelesaikan transaksi lalu menunjukkan bukti transfer ke sang sopir.
"Gapapa, Pak. Ada janji. Ini ya, Pak, sudah kutransfer. Makasih sudah nganter aku."
"Sama-sama, Neng," ucap pria tersebut masih terheran-heran sambil memberhentikan mobil di pinggir jalan.
Nadia segera membuka pintu dan keluar, tapi sebelum dia menutupnya, sang sopir berkata, "Sampai nanti sore, saya ada di warung sebelah sana. Kalau Neng butuh apa-apa, hubungi saya aja."
Kepedulian sang sopir membuat gadis itu tersenyum. "Makasih, Pak. Bapak istirahat aja, terima kasih sudah nemenin."
Nadia menutup pintu dan berjalan ke arah pelabuhan. Di kanan kirinya ada toko-toko yang tutup berjejer. Karena dia hanya seorang diri, dia bisa dengan mudah menyembunyikan diri dari pandangan petugas yang berjaga di posnya. Nadia menunggu sampai petugas itu memalingkan wajah baru dia melesat maju dan melempar diri ke semak-semak. Dia memastikan petugas itu membalikkan badan baru dia berlari menjauhi pos pemeriksaan.
Di dalam pelabuhan, suasana sepi, hanya ada beberapa petugas yang melakukan pemeliharaan. Perahu dan ferry diikat di dek tanpa penumpang. Evakuasi sudah dilakukan. Sekarang pertanyaannya, bagaimana Nadia bisa sampai di anak gunung Krakatau bila tidak ada ferry yang bersedia mengantarnya?
Sembarangan bertanya pada petugas hanya membuatnya ketahuan dan ditendang keluar dari pelabuhan. Sambil berpikir, Nadia mengirim pesan ke Aidan dan Indra, mengabarkan posisinya. Hanya Indra yang membalas, mengucapkan hati-hati, membuat senyum Nadia mengembang. Nadia mengucapkan terima kasih. Masih belum ada kabar tentang Raka, tapi Nadia berharap anak itu bisa segera bertemu dengan keluarganya. Tidak ada balasan dari Aidan, membuat Nadia was-was. Dia memandang matahari yang sudah melewati tengah langit. Kakaknya harusnya belum sampai di gunung. Nadia memegang Kristal yang tergantung di lehernya sambil berjalan menuju dermaga.
"Tolong bawa aku ke tempat Penjaga Gunung," pinta Nadia putus asa. Hanya itu yang terpikirkan olehnya. Jika memang Kristal memang sesakti itu.
Namun, hingga beberapa menit kemudian, tidak ada reaksi. Tidak ada cahaya benderang, tidak ada teleportasi, tidak ada keajaiban. Nadia masih berdiri menghadap lautan dengan rasa asin samar di lidahnya karena bau laut yang pekat. Setelah beberapa menit berlalu dalam sepi, keputusasaan merayap di benak Nadia.
Bagaimana dia bisa pergi ke Gunung Anak Krakatau?
Gadis itu menoleh ke kanan dan kiri. Perahu banyak, kapal ferry juga, tapi Nadia tidak memiliki kemampuan untuk mengemudikan. Sempat terbersit pikiran untuknya berenang yang langsung dia tepis tanpa berpikir panjang. Sekuat apa pun dia, mustahil berenang di selat Sunda tanpa pengawasan. Membayangkan saja sudah capek dan merinding. Bagaimana kalau dia tiba-tiba tersapu ombak.
Selagi Nadia berpikir sambil terus berusaha mengalahkan rasa ketidakberdayaan dalam benaknya, suara gemuruh air terdengar membuat gadis itu mengangkat kepala. Tak jauh dari dermaga muncul buih dari laut dengan ikan-ikan beraneka rupa meloncat di sekitarnya. Nadia mengerjapkan mata beberapa kali, memastikan dia tidak sedang halu.
Suara itu makin keras dan mendekat. Nadia tanpa sadar melangkah mundur. Pengalamannya beberapa hari terakhir mengajarinya waspada. Tiba-tiba sesosok wanita muncul dari dalam buih. Rambutnya hitam bagaikan malam sepanjang punggung, sebagian rambutnya disanggul ke atas dan dihiasi mahkota kecil. Kain berwarna hijau tua berhias emas melilit badannya yang langsing diikat oleh kain di bagian pinggang. Lehernya yang terbuka dihias oleh kalung emas. Sementara selendang berwarna kuning tersampir di bahunya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda basah karena air, membuat Nadia tahu kalau yang dihadapannya bukan manusia.
"Halo, gadis muda," sapa sang wanita dengan bibir merahnya yang tersenyum. Dia memandang Nadia dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan menilai yang membuat gadis itu jengah.
"Sayang sekali kamu tidak memakai baju hijau ...."
Mata Nadia terbelalak.
Bisa-bisanya seorang makhluk gaib mengomentari selera fashionnya?!
YAY UPDATE LAGI! Bentar lagi chapter timbunannya kelar 🥲 aku harus mulai mengetik supaya bisa terus update ....
Sedang berpikir apa aku ga ikut MWM tapi ikut nulis? Hmmm, udah gatel pingin nulis lanjutan Nadia soalnya 🤔
By the way, ada yang bisa nebak tokoh legenda yang muncul barusan? 🤭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top