36: Rasa Mie Instan Terbaru, Rasa yang Masih Ada
Nadia berteriak kegirangan dalam hati ketika kegelapan menelannya dan suara deru mobil perlahan menghilang.
Visi!
Gadis itu menunggu tidak sabar sampai kegelapan terurai. Apa yang akan ditunjukkan? Lokasi Penunggu Gunung? Tempat Dukun Kepiting? Apa pun itu, pasti akan berguna untuk kelanjutan misi mereka. Nyawanya dan Aidan bergantung pada secuil informasi yang bisa didapatkan dari penglihatan Nadia.
Maka Nadia membuka mata dan telinga lebar-lebar ketika cahaya putih muncul di ujung kegelapan dan meluas hingga menyelubungi Nadia. Ketika cahaya putih menghilang, dia melihat hutan. Rimbun pepohonan yang menjulang di atas kepalanya. Sinar matahari di tengah kepala membuat mata Nadia berkunang-kunang karena silau.
Tempat ini terasa familiar.
Nadia memincingkan mata dan mempertajam indera lainnya. Alih-alih bau belerang yang dinanti, Nadia justru merasakan udara segar memasuki paru-parunya. Dia mencoba berjalan di jalan setapak yang hanya selebar tubuhnya. Suara burung dan serangga mengiringi. Dia terus bergerak hingga melihat sosok pemuda yang sedang berdiri sekitar sepuluh meter di hadapannya, sedang memandang sekeliling dengan awas. Nadia sepertinya kenal gerak tubuhnya.
Rian.
Gadis itu menahan napas.
Kenapa visi membawanya ke pemuda itu?
Sebelum Nadia berpikir untuk mendapatkan jawaban, Rian menoleh ke arahnya. Dia terkejut sebelum berlari ke arah Nadia. Gerakan cepat Rian membuat Nadia tidak sempat berpikir, tahu-tahu saja pemuda itu sudah berada di depannya, memandang tidak percaya.
"Nad?" tanyanya tidak yakin. Dia mengulurkan tangan.
Nadia menahan napas ketika melihat tangan Rian terangkat dan mengarah ke mukanya. Dia menutup mata dan merasakan kulit ujung jari Rian yang kasar menyentuh pipi.
"Ternyata aku tidak bermimpi," ucap Rian mengembuskan napas lega, menurunkan tangan. "Kau kembali."
Nadia membuka mata dan melihat pemuda itu tersenyum lebar memandangnya.
Manis.
Jantung Nadia memutuskan berulah dan memompa darah lebih cepat. Dia dapat merasakan pipinya memanas.
"Aku tidak kembali!" sahut Nadia membuang pandangan ke arah pohon di samping karena malu. "Ini visi! Aku tidak tahu kenapa aku di sini bukan di gunung Anak Krakatau!"
"Jadi itu tujuanmu berikutnya?" tanya Rian dengan sebuah senyum lebar muncul di wajahnya membuat Nadia salah tingkah. Bagaimana pun juga, tampang Rian memang kelemahan Nadia.
Nadia memandangi Rian dalam diam selama beberapa saat. Dia tidak bisa membayangkan Rian menyusulnya. Tidak. Tidak mungkin. Dia mengubur pikiran absurd itu. Pertama, orang kampung seperti Rian tidak akan bisa menggunakan transportasi modern. Kedua, Rian masih punya urusan dengan Dayang Sumbi. Ketiga, BUKANNYA NADIA LAGI BERUSAHA MOVE ON?!
"Bukan urusanmu!" sergah Nadia kasar.
Wajah Rian berubah muram. Kesunyian turun di antara mereka. Nadia merasakan sengatan rasa bersalah menikam hati nurani. Kakinya bergerak gelisah sementara tangannya saling meremas.
"Sorry, aku ninggalin kamu ...," ucap gadis itu lirih, mengingat wajah Rian yang putus asa dari kaca spion. "Bagaimana dengan Dayang Sumbi?"
Rian tidak menjawab. Dia meraih pergelangan tangan Nadia dan menariknya ke arah batu besar setinggi lutut Nadia. Ingin Nadia menepis genggaman Rian tapi urung. Tangan Rian yang hangat membuatnya nyaman. Rian melepaskan Nadia dan duduk di sana. Saat itu Nadia kembali ke kenyataan. Nadia tidak ingin dirinya jatuh, jadi dia buru-buru mengusir desiran di dadanya dan duduk di ujung batu yang lain agar tidak berdekatan dengan Rian. Ada setengah meter terbentang di antara mereka.
"Dayang Sumbi ternyata ibuku ...." Suara lirih Rian membuat Nadia memandang pemuda itu. Bentuk wajah Rian dari samping sungguh mengagumkan. Hidung mancung, mata yang dalam dan rahang yang kokoh. Nadia mendapati dirinya tak bisa berpaling.
"Dia menolak lamaran dengan menipuku ...." Ucapan Rian berikutnya membuat Nadia kembali sadar dan segera memalingkan wajah dari Rian.
"Oh ...." Hanya itu yang keluar dari bibir Nadia yang sedang mengamati kulit pohon yang tumbuh semeter di hadapannya. Dia bingung, haruskah dia mengaku bahwa dia mengetahui hal itu pada Rian.
Tidak.
Itu tidak membantu Rian sama sekali, malah hanya akan membuat kemarahan Rian menyambarnya. Jadi Nadia memutuskan untuk diam dan menunggu apa yang akan dikatakan pemuda itu berikutnya.
"Aku bingung, Nad." Rian melempar tatapannya ke tanah. Tangannya mengepal sementara wajahnya berkerut menahan sakit yang tak kasat mata. "Apa yang harus aku lakuin?"
Nadia ikut menatap tanah, seakan di antara rumput itu ada emas 24 karat. Dia bingung harus menjawab apa pada Rian. Menyuruhnya minta maaf pada Sumbi terasa kejam. Nadia sendiri bingung bagaimana dia berkomunikasi sama orang tuanya. Ibunya nyaris tidak pernah menelpon, ayahnya sering lupa kalau dia punya anak.
"Aku menyukai kelembutan Sumbi." Rian kembali berbicara, sepertinya dia tidak membutuhkan jawaban. Hanya teman berbicara. "Rasanya menyenangkan ada orang yang menunggu dengan masakan hangat di rumah dan merawat kita. Tapi sepertinya itu karena aku merindukan sosok ibu yang tidak pernah kumiliki."
Hening lagi. Nadia dapat mendengar desau angin di antara dedaunan dan melihat sinar matahari terik di atas kepalanya. Namun, beruntung mereka berada di ketinggian yang membuat udara sejuk mengalahkan sengatan panas.
Rian memandangi Nadia dalam diam. Mata hitamnya mengikat lekat mata Nadia. Ketika gadis itu sadar Rian melihatnya begitu intens, dia segera memutus kontak mata dan kembali memandang ke tanah.
"Aku membenci Sumbi." Rian akhirnya berhenti menatap Nadia. Dia menatap kejauhan sambil mengerutkan alis tajam. "Mendengar ceritanya membuatku marah. Dia tidak berusaha mencariku ketika aku menghilang dan ketika aku dewasa, dia menipuku. Mengapa dia tidak memberi tahu kalau dia adalah ibuku?"
Nadia tetap diam. Dia mengingat keadaan ayah dan ibunya sebelum bercerai. Pertengkaran demi pertengkaran terjadi setiap mereka bertemu. Nadia muak mendengarkan mereka saling menyalahkan. Ketika mereka berpisah, keadaan menjadi lebih tenang. Terlalu tenang malah, hingga Nadia merasa kesepian di rumahnya yang besar hingga dia melampiaskan emosi dengan berlari.
Lari dan lari.
Merasakan angin menerpa wajah. Otot-otot merenggang. Napas terengah. Rasanya seperti dia habis melemparkan seisi kamarnya ke tembok. Tahu-tahu dia sudah mencapai garis finish dan menang tapi dia tidak pernah bisa lepas dari perasaannya. Bahkan hingga saat ini, benak Nadia masih terus berlari, mengabaikan emosinya.
Dia benar-benar bukan orang yang tepat untuk memberikan saran pada Rian tentang orang tua. Dia hanya setuju kalau Sumbi memang orang tua yang egois. Persis seperti ayah ibunya. Namun, Nadia sadar, dia tidak bisa membiarkan Rian memiliki hubungan yang hancur sepertinya. Pemuda itu masih bisa berbicara dengan Sumbi.
"Mungkin dia khawatir kehilanganmu lagi," ucap Nadia sebelum dia menyadari apa yang dia katakan.
Rian mendengkus mengejek.
"Orang tuaku bercerai dan aku sama sekali tidak memiliki kesempatan berbicara dengan ibuku setelah itu. Hanya melalui Aidan. Kamu ... masih punya kesempatan ngobrol sama ibumu. Yah, walau dia memang menjengkelkan," tambah Nadia sambil memutar bola mata. Rian yang melihatnya menarik ujung bibirnya, menahan senyum.
"Jadi, coba saja berbicara. Setidaknya kalau ga berjalan lancar, kamu sudah mencoba," ucap Nadia seraya tersenyum. "Setelah itu, kamu juga bisa lebih lega."
Nadia terdiam setelah mengatakan itu. Benar juga, dia belum pernah berbicara dengan kedua orang tuanya secara serius tentang perceraian dan akibatnya. Selama ini dia menghindar dan bersikap dingin dan tidak peduli. Malah sepertinya hubungan Aidan dengan ibunya lebih hangat.
Rasa sakit kembali menusuk Nadia. Ibunya hanya hangat pada Aidan. Pada akhirnya hanya dialah yang kehilangan segalanya.
Resolusi Nadia melemah.
Benarkah dia harus berbicara? Tidak ada jaminan bahwa keadaan akan menjadi lebih baik setelah dia membuka mulut.
"Hatur nuhun, Nad." Suara Rian membuat Nadia kembali ke kenyataan. "Kamu benar. Aku kembali ke sini karena aku butuh penjelasan." Rian tersenyum lembut pada Nadia membuat jantung gadis itu kembali berulah.
"Terima kasih telah kembali," lanjutnya tulus, membuat hati Nadia meleleh.
Kenapa sih dia lemah sama cowok ganteng yang senyum manis begitu?
Nadia baru saja ingin membalas ketika tiba-tiba sosok Rian mengabur. Nadia mengerjapkan mata, mengira itu hanya permainan cahaya. Namun, wajah Rian yang memandangnya dengan terkejut membuat Nadia tahu ada sesuatu yang tidak beres.
"Nad!" serunya sebelum Nadia merasakan kesadarannya tertarik. Dia melihat Rian mengucapkan sesuatu sebelum pandangannya menggelap.
Apa yang hendak dikatakan pemuda itu?
Hayo! Ada yang bisa menebak apa yang dikatakan Rian pada Nadia?
Terima kasih banyak buat kalian yang masih nungguin cerita ini 😭 aku terharu di chapter sebelumnya masih ada yang ngevote dan komen 😭
Beneran bikin aku semangat buat terus nulis 💪🏻 see you next chapter!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top