34: (Bukan) Sinetron Keluarga Cemara
Nadia tertegun melihat adegan dalam visinya. Pertemuan antara Rian dan Dayang Sumbi berbeda jauh dengan apa yang dia bayangkan. Alih-alih pertemuan mengharukan sepasang kekasih yang bikin muak, dia justru melihat bagaimana Rian dihadapkan pada kebenaran. Dalam hati, Nadia bersyukur bukan dia yang menjatuhkan fakta itu pada Rian. Dia merasa iba pada pemuda malang itu. Sekesal apa pun dirinya pada pemuda Rian, tetap saja, dia peduli. Tanpa sadar, Nadia berjalan mendekati Rian, didorong oleh keinginan untuk menenangkan pemuda itu.
"Tidak mungkin. Aku ini anak yatim piatu ...," ucap Rian tercekat, membuat Nadia tersentak dan berhenti semeter darinya, membatalkan niat untuk memegang tangan pemuda itu.
Dayang Sumbi menggeleng putus asa. "Maafkan aku. Sewaktu kau berumur sepuluh tahun, kau melakukan kesalahan besar yang membuatku murka dan mengusirmu. Berhari-hari aku menunggumu kembali tapi kau menghilang. Dalam penyesalanku, aku meminta pada pada Sang Hyang untuk umur panjang dan wajah yang tetap muda agar kau mengenaliku."
Wanita cantik itu menatap Rian dengan senyum getir. "Sang Hyang mengabulkannya ...."
"Jadi ... sejak awal kau tahu--"
Sumbi menggelengkan kepalanya. "Aku tidak menyangka kau benar-benar putraku. Kukira kau hanya pemuda yang menyerupai dia sampai ...."
Rian menyentuh bekas luka di kepalanya, mengingat kejadian saat Sumbi berteriak kaget. "Kau menyisir rambutku dan melihat ini ...."
Dengan sedih, Sumbi mengangguk. "Akulah yang menyebabkan luka itu. Bagaimana mungkin aku lupa?" Air mata akhirnya turun membasahi pipi halus tersebut.
"Setelah itu kau melamarku. Aku ... aku tidak tahu harus berbuat apa. Jika aku menolakmu secara terang-terangan, aku takut kau akan meninggalkanku lagi. Berulang kali aku berusaha mengulur waktu tapi kau mendesak hingga aku akhirnya memberimu syarat tidak masuk akal itu."
"Lalu ketika aku nyaris berhasil, kau menggagalkannya ...." Rian menambahkan dengan suara tercekat, menahan emosi. Dia mengertakkan gigi. Amarah dingin kembali memenuhi wajahnya. Nadia mundur karena merasa takut. Rian di hadapannya bukan Rian yang dia kenal.
Rian memukul pohon di sampingnya, membuat batangnya patah menjadi dua di bekas pukulannya. Pohon itu tumbang, membuat Nadia dan Sumbi berjengit kaget.
"Itu semua demi dirimu, Sangkuriang!" seru Sumbi putus asa. "Aku tidak bisa menikah dengan anak kandungku!"
"DIAM!" seru Rian berusaha mengendalikan rasa panas yang membakar dada. Kekecewaan dan rasa dikhianati mengalir bagai racun dalam darah. "Kau tidak layak disebut sebagai seorang ibu! Aku menyesal dilahirkan dari rahim seorang wanita sepertimu!"
"Sangkuriang!" seru Sumbi putus asa ketika pemuda itu membalikkan badan. "Maafkan Ibu! Maafkan!!!"
Wanita itu menangis mencucurkan air mata ketika Rian berjalan pergi sambil menulikan telinga. Nadia iba melihat Sumbi menangis tapi dia lebih khawatir Rian akan melakukan sesuatu yang bodoh karena amarahnya. Dia segera berjalan mengikuti Rian kembali ke hutan, meninggalkan Sumbi yang terus menangis sambil minta maaf.
"Rian!" panggil Nadia walau pemuda itu tidak mendengar. "Jangan melukai dirimu!"
Rian terus berjalan menembus hutan. Sepanjang perjalanan, dia memukul pohon-pohon hingga tumbang. Nadia baru sadar betapa kuat pemuda itu, berbeda saat Rian melindunginya dari Nenek Sihir dan Dewi Galuh. Rian menjaganya dengan lembut. Menyadari itu, detak jantung Nadia kembali berpacu padahal dia sudah berjanji tidak akan membiarkan pemuda itu mengusik hatinya.
Tidak! Tidak! Bukan saatnya baper!
Nadia menggelengkan kepala kuat-kuat untuk tetap fokus. Rian berjalan ke arah tebing menanjak ke puncak gunung dan ketika sampai, dia mengambil ancang-ancang untuk memukul tembok batu yang tertutup tanaman merambat. Nadia membelalakkan mata.
Dengan kekuatan penuh Rian, bukan tidak mungkin tebing itu akan hancur dan menimbulkan keributan. Kalau sial, bisa-bisa gunung Tangkuban Perahu tidak akan menjadi gunung lagi. Nadia baru ingat, Sangkuriang adalah orang yang menendang perahu hingga menjadi gunung dan dengan kesaktiannya sanggup membangun danau dalam semalam. Baru kali ini Nadia sadar betapa kuat pemuda itu.
Panik, Nadia mengulurkan tangan, berusaha menahan lengan Rian yang ditarik ke belakang.
"RIAN, JANGAN!" serunya putus asa, meraih lengan kukuh tersebut.
Biasanya, tangan Nadia hanya akan menembus benda apa pun yang dia lihat dalam visi, jadi betapa kagetnya Nadia ketika dia merasakan kulit Rian bersentuhan dengan tangannya.
"Nadia?" Rian juga terkejut dan langsung menoleh ke arah gadis itu. Matanya membelalak tidak percaya ketika menoleh.
Nadia langsung melepaskan tangannya dari Rian. Tatapan mereka bertemu, hanya sekejap sebelum pandangan Nadia mengabur. Hal terakhir yang dia lihat adalah Rian mengulurkan tangan berusaha menangkapnya.
Tiba-tiba gelap, membuat Nadia yang sedari tadi terkejut kembali sadar bahwa dia masih berada dalam visi.
Namun, apa itu tadi?
Nadia masih dapat merasakan kehangatan lengan Rian yang disentuhnya. Itu adalah kenyataan.
Belum pernah visi Nadia senyata itu. Dia teringat bagaimana Raka dapat melihat dan mengenalinya ketika Nadia mendatanginya dalam visi.
Apakah ini berarti kemampuan Nadia meningkat?
Jantung gadis itu berdebar kencang menyadari betapa luar biasanya hal yang terjadi. Jika ini benar, dia bisa berada di dua tempat sekaligus.
Namun, sebelum sempat Nadia merenungkan lebih jauh kejadian yang dia alami, kegelapan di sekitarnya berkurang. Dia dapat melihat semburat jingga yang makin terang. Alisnya berkerut. Visinya ternyata belum selesai. Nadia menunggu hingga penglihatannya makin jelas. Warn jingga berubah menjadi lompatan bunga api dengan latar belakang asap tebal membumbung tinggi. Nadia mendapati dirinya berdiri di tengah pepohonan yang terlalu jarang untuk disebut hutan. Tanah berwarna hitam sementara bau belerang menusuk hidung. Dia familiar dengan keadaan ini.
Sebuah gunung yang akan meletus.
Jantung Nadia berdetak kencang. Ini sama seperti kejadian di gunung Merapi.
Apakah ini juga berkaitan dengan Kristal?
"Kita harus menghentikan Dukun Kepiting, Ratu."
Sebuah suara menarik perhatian Nadia. Dia menoleh dan mendapati seorang wanita setengah baya memakai kebaya berwarna biru tua dengan jarik bermoif batik priyangan. Rambutnya yang hitam legam disanggul anggun dan walaupun bajunya tidak mewah, Nadia dapat merasakan aura seorang pemimpin. Garis wajahnya bijaksana. Tidak seperti Dewi Galuh yang cantik, wanita di hadapannya lebih terlihat tegas, mengingatkan Nadia pada ibunya.
"Kita tidak bisa menghentikannya sendirian." Sang Ratu berbicara pada pengawal yang berdiri di dekatnya, seorang pria tegap yang di usia tiga puluhan dengan senjata Kujang terselip di pinggangnya. Dia memakai celana kain longgar berwarna hitam yang diikat oleh jarik bermotif Majalengka. "Dukun itu membawa kotak Pandora dan aku dapat merasakan kekuatan besar lain yang dia miliki ...."
Nadia menahan napas mendengar ucapan Ratu. Kekuatan besar itu, apakah Kristal?
"Kita dibawa ke dunia ini tapi masalah yang kita hadapi tetap sama." Sang Ratu memandang ke arah gunung yang mengepulkan asap. "Kita tidak bisa membiarkan Dukun Kepiting membalaskan dendamnya pada kita dan menimbulkan kehancuran bagi penduduk di dunia ini. Apakah kau sudah menemukan sang Penunggu Gunung?"
Penunggu gunung?
Nadia menoleh ke arah sang pengawal menunggu penjelasan akan tokoh baru yang tidak pernah dia dengar. Dalam hati, dia menimbang apakah tokoh ini lawan atau kawan.
"Maaf, Ratu. Kami masih belum bisa menemukan keberadaan beliau. Kami telah menyisiri bagian selatan dan barat, tapi kondisi gunung yang menyemburkan awan panas menghalangi kami untuk melanjutkan pencarian."
"Waktu kita semakin sedikit. Begitu gunung meletus, tidak ada lagi yang bisa diselamatkan. Dengan kekuatan kotak Pandora dan Kristal, letusan gunung Krakatau akan membelah bumi. Bukan hanya kerajaan Krakata yang akan musnah ."
"Kami akan menemukan Penunggu Gunung dan membangunkan Beliau!" ucap sang pengawal penuh tekad.
Ratu mengangguk. "Kita membutuhkan kekuatan Beliau, utusan langsung Sang Hyang untuk membantu kita mengalahkan Dukun Kepiting."
Terjadi gempa yang membuat Nadia terjatuh. Dia dapat melihat Ratu dibantu oleh sang pengawal untuk tetap dapat berdiri tegak. Dari kejauhan terdengar gemuruh dari perut gunung, tanda bahwa dia siap memuntahkan segenap kekuatan dari dalam bumi. Asap hitam membumbung makin tebal dan Nadia dapat meraskan hawa panas menerjang. Bau belerang makin kuat tercium.
Dia dapat melihat magma berwarna merah menyala mengintip dari bibir kawah.
Bencana baru telah dimulai.
Hai hai!!! Senang bisa update lagi! Liburan telah usai dan aku kembali tergilas pekerjaan, tapi tentu saja aku masih akan terus berjuang menamatkan karya ini! 🤧💪🏻💪🏻
Stay tune ya karena ini sudah masuk arc terakhir dari cerita Nadia :D
Sebagai bonus, aku akan share visual Rian dan Nadia di bawah ini 😎
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top