33: Gimana Rasanya Pacaran Sama Mama Sendiri?
Nadia mengumpat kesal ketika dia tiba di bandar udara Husein Sastranegara. Di bawah tatapan kaget sang sopir yang menyadari bahwa penumpangnya tidak kalah kasar dengan preman pasar, Nadia mengomel pada dirinya sendiri. Tidak ada penerbangan langsung dari Bandung ke Palembang hari itu. Dia menyalahkan Rian yang membuatnya susah konsentrasi. Pandangan Rian yang terakhir kali Nadia lihat meremas nurani, membuat rasa bersalah memenuhi pikiran. Diam-diam, Nadia khawatir apakah Rian bisa bertemu dengan Sumbi atau tidak.
Bagaimana kalau pemuda itu tersasar?
Bagaimana kalau Rian diserang oleh makhluk legenda lain?
Nadia menggelengkan kepala kuat-kuat untuk mengusir kekhawatirannya. Walau mereka sudah berpisah pun, Nadia tetap tidak bisa menjauhkan pemuda itu dari pikiran. Menyebalkan.
"Jadi, Neng, gimana?" tanya sang sopir melihat Nadia uring-uringan.
Berulang kali Nadia mengecek jadwal penerbangan di ponselnya, tidak ada yang berubah. Untungnya akal sehat masih bekerja. Dia segera mengganti rute penerbangan dari Jakarta ke Palembang.
Voila! Dia masih bisa mengejar penerbangan sebelum makan siang.
"Pak, kita ke Jakarta. Lebih cepet naik mobil kan?"
Bapak sopir membelalakkan mata. "Waduh, Neng. Neng kan pesen mobilnya cuma buat ke Lembang sama ke bandara--"
"Gampang deh, Pak. Fee-nya aku kasih tiga kali lipat, sama ongkos bensin dan makan. Ayo, Pak. Mau ngejar penerbangan, atau aku naik kereta aja?"
"Naik mobil lebih cepet, Neng." Mendengar ada imbalan baginya, sang sopir langsung bersemangat. "Kita lewat tol Cikampek juga cepet, paling tiga jam."
"Ya udah, buruan, Pak." Nadia menyimpan kembali ponselnya setelah mengabari Aidan dan Indra posisinya. Dia melihat ke arah matahari pagi yang masih di seperempat langit dan kembali bertanya-tanya apakah Rian sudah bertemu dengan Dayang Sumbi atau belum.
Gadis itu mendengkus kasar. Kalau sudah ketemu, Rian pasti sudah melupakannya. Rasa sakit kembali menusuk perasaannya. Patah hati itu tidak enak, Nadia menyadari. Pantas saja, ada lagu lama yang bilang kalau lebih baik sakit gigi daripada sakit hati.
Omong-omong soal lagu lama, Nadia pun terpikir tentang ayahnya. Dia harus kembali ke rumah sebelum ayahnya kembali dari pekerjaannya di pertambangan minyak lepas pantai, mereka berjanji akan menghabiskan liburan bersama. Janji yang Nadia sangsikan bisa ditepati, tapi demi menjauhi masalah, Nadia harus segera bertemu Aidan dan membereskan masalah ini sebelum ayahnya kembali. Dia menyandarkan punggung pada kursi dan tiba-tiba saja, semuanya menjadi gelap.
Nadia membuka matanya dan pepohonan rindang menyambutnya. Dia memandang sekeliling, mendapati dirinya berada di hutan entah di mana. Menyadari bahwa tadi dia berada di dalam mobil yang melaju ke Jakarta, Nadia tahu ini hanya visi.
Dengan dada berdebar-debar dia menanti informasi apa yang akan dia dapatkan kali ini. Sambil menunggu kejadian berikutnya terjadi, gadis itu memutuskan berjalan di jalan setapak yang diapit oleh rumput dan pohon. Sinar matahari pagi menelusup masuk rindangnya dedaunan, memberikan cahaya yang cukup untuk melihat. Dia menghirup dalam-dalam udara segar seakan dia benar-benar berada di sana.
Apakah ini tempat Aidan berada sekarang?
Sambil bertanya, Nadia terus melangkah. Dia dapat melihat sebuah rumah dari kejauhan. Rumah kuno seperti milik Bawang Putih, terbuat dari kayu dan beratap rata dari daun, dikelilingi halaman kecil tanpa tumbuhan, tanpa pagar. Ada pintu dari lembaran kayu dan kursi panjang di depannya.
Seorang wanita berusia dua puluhan sedang duduk sambil menenun menggunakan alat yang hanya Nadia lihat di museum. Penasaran, Nadia mempercepat langkahnya untuk mendekat. Rambut wanita itu panjang berwarna hitam dan tebal terurai di punggung, persis bintang iklan shampoo. Nadia tentu saja merasa minder. Rambut lepeknya tampak menyedihkan. Wanita itu memakai kain hitam yang dililit menjadi kemben membungkus tubuh moleknya erat. Bagian bawahnya, dia memakai kain jarik bermotif mega mendung.
Untuk sesaat, Nadia tertegun. Wajah wanita itu terlihat begitu cantik. Kulit sawo matang yang halus, mata bundar berwarna hitam yang jernih, hidung mancung dan garis wajah yang lembut serta feminim.
Nadia bertanya-tanya dalam hati siapa wanita itu. Dari gayanya, sepertinya salah satu dari tokoh dalam legenda Indonesia yang tidak Nadia kenali
Tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari arah belakang, membuat Nadia menoleh. Sosok yang familiar muncul dari balik pohon dan dedaunan membuat mulut Nadia menganga. Rian, masih dengan pakaian yang sama sewaktu berpisah tadi berdiri tegap sambil membawa tas ransel yang dia pinjam dari Nadia. Melihat itu, Nadia langsung paham siapa wanita cantik yang menenun kaib itu. Dengan cepat, Nadia kembali menoleh ke arah Sumbi, melihatnya menjatuhkan kain dan tongkat penenun ke tanah karena rasa terkejut.
"Lebay," cela Nadia dalam hati sambil mengumpat kenapa dia harus melihat visi ini. Dia sudah berusaha kabur tapi justru saat ini adegan pertemuan sepasang kekasih itu justru terputar di hadapannya.
"Sangkuriang!" seru Sumbi seraya berdiri dan langsung berlari ke arah Rian dengan mata berkaca-kaca. Dia memeluk tubuh kukuh Rian erat membuat jantung Nadia berdenyut nyeri.
Seandainya saja, Nadia bisa mengganti visinya seperti mengganti baju, dia tentu saja memilih untuk tidak melihat adegan sinetron murahan yang sering ditonton pembantunya. Bahkan jika dia memaksa untuk menutup mata, dia masih dapat mendengar suara mereka. Jika dia memutuskan untuk pergi pun, kakinya hanya akan melangkah di tempat.
Iya, visi memang semenyebalkan itu.
"Untunglah dirimu tidak apa-apa. Tiba-tiba saja, aku berpindah tempat dan aku tidak menemukanmu di manapun." Dayang Sumbi melonggarkan pelukannya lalu mengapus air mata yang menggenang. "Naha anjeun henteu kunanaon?"
Rian tersenyum, tapi matanya tidak. Nadia mengerutkan alis melihat respon Rian yang tidak seantusias bayangannya. Pemuda itu memegang pundak Sumbi dengan kedua tangan dan mengamat-amati wajah cantiknya.
"Ada apa?" tanya Sumbi menyadari respon Rian yang datar.
"Suara ayam itu ...."
Nadia merasakan punggungnya dialiri rasa dingin. Nada suara Rian terdengar berbahaya dan berisi amarah yang ditekan. Dia tidak pernah melihat Rian seperti itu. Tangan Rian menggenggam pundak Sumbi makin erat, hingga wajah wanita itu meringis menahan sakit.
"Kau yang membuat ayam-ayam itu bangun, bukan?" lanjut Rian dengan kemarahan dingin dalam setiap kalimat. Ekspresi wajahnya keras dengan kedua alis bertaut dan mulut mengatup.
"Sangkuriang, sakit," rintih Sumbi membuat Rian tersadar dan sedikit melonggarkan genggamannya.
"Jawab, Sumbi!"
"Be-benar." Dayang Sumbi menggeliat dan berusaha lepas dari Rian.
"Kenapa?!" tanya Rian. Dia tampak terluka, membuat Nadia merasa sengatan rasa bersalah kembali datang padanya. Gadis itu teringat tatapan Rian saat ditinggalkan di Lembang.
"Karena tidak seharusnya kita menikah!" seru Sumbi dengan nada tinggi. Dia mendorong Rian dengan segenap tenaga. Di luar dugaan, Rian melepaskannya walau Nadia dapat melihat pemuda itu menggenggam tangannya erat, menahan diri dari melukai Dayang Sumbi.
"Bukannya kau menyetujui syaratku?!"
"Itu karena kau memaksa." Dayang Sumbi membalas, sama emosionalnya. Mata hitamnya tampak basah. "Aku berusaha menolakmu secara halus, tapi kau tidak sadar. Aku menyayangimu tapi bukan sebagai pasangan. Aku ini ibumu!"
Nadia menahan napas sambil menelan ludah. Kenyataan itu datang bagai petir menyambar di siang bolong. Rian tersentak mundur karena rasa terkejut. Matanya memandang Sumbi dengan tatapan tidak percaya.
Jder dhuar! Zoom in zoom out ala sinetron.
Hahahah sepertinya aku gagal menamatkan cerita ini sebelum tahun baru 🙈 tapi aku akan tetap berjuang 💪🏻 cerita ini jadi prioritas utama. Untungnya plottingnya selesai jadi tinggal diketik aja XD
Wish me luck!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top