32: Lebih Baik Sakit Gigi Daripada Sakit Hati

Nadia segera menepis pikiran itu. Tidak semua aktivitas gunung berapi berkaitan dengan Kristal. Dia hanya perlu menyusul Aidan di pulau Kemaro.

"Nad, ayo!" ajak Rian tampak tidak sabar membuat Nadia mengembuskan napas kasar.

Dia menggerutu dalam hati melihat tingkah Rian yang seperti kebelet kawin. 

Eh, tapi benar juga, bukannya Rian sudah melamar Dayang Sumbi?

Rasa sakit menusuk dada Nadia ketika dia menyadari hal itu. Sepertinya memang sejak awal cintanya sudah bertepuk sebelah tangan.

Nasib.

Dia memperbaiki posisi ranselnya. Dengan lesu, Nadia mengikuti Rian yang sudah antusias melewati gerbang. Nadia mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Indra kalau mereka sudah sampai di Bandung dengan selamat. Mengingat pemuda itu membuat rasa sedih Nadia sedikit berkurang. Indra telah membantu banyak dan sejauh ini Nadia tidak menangkap ada motif buruk di balik tindakannya. Nadia mencatat dalam hati, dia harus mengunjungi Indra dan keluarganya jika dia mampir ke Yogyakarta, mungkin bisa menyeret Aidan sekalian.

"Iya, aku lagi hubungin orangnya," sahut Nadia ketika tatapannya bertemu dengan Rian, sebelum pemuda itu membuka mulut. Walau hatinya seperti disayat-sayat pisau dan rasa marah masih menggelegak dalam dada, Nadia memilih diam. Berbicara hanya membuatnya tidak bisa mengendalikan emosi.

Seorang pria setengah baya dengan rambut klimis dan kemeja rapi mengangkat tangannya ketika Nadia menyampaikan lewat telepon bahwa mereka sudah di gerbang kedatangan. Dengan sigap, bapak itu menghampiri mereka dan menuntun kedua remaja itu ke mobil MPV berwarna silver di parkiran. Nadia menduduki kursi di samping sopir sementara Rian di belakang bersama tas ransel mereka. Bapak itu mencoba berbasa-basi, tapi Nadia hanya meladeni dengan setengah hati hingga kesunyian turun dalam perjalanan selama satu jam lebih beberapa menit itu.

Nadia mencuri pandang ke arah Rian yang tak lagi cerewet. Pemuda itu menatap jalanan yang perlahan disiniari oleh cahaya fajar dari balik jendela mobil. Untuk membunuh waktu, Nadia mengirim pesan ke Aidan, memberi tahu kalau hari ini dia akan berangkat ke Palembang. Nadia hendak mengecek jadwal keberangkatan tapi urung. Dia memutuskan untuk memesan nanti saja di bandara karena tidak mau membatalkan tiket jika terjadi sesuatu ....

Sesuatu apa?

Bukan berarti dia ingin Rian ikut ke Palembang. Nadia meyakinkan diri sendiri. Mungkin saja ada tokoh dongeng lain yang butuh bantuan. Terdengar berusaha melarikan diri dari kenyataan.

Terserah deh.

Nadia memutuskan untuk menyimpan kembali ponselnya dan terkantuk-kantuk sepanjang sisa perjalanan. Sebentar lagi, segalanya akan berakhir. Nadia menguatkan diri. Dia punya rencana untuk kabur secepatnya dari Rian begitu tugasnya selesai.

"Neng, ini sudah sampai di Lembang. Biasanya kalau mau mendaki Tangkuban Perahu, diminta berhenti di sini." Si sopir menjelaskan membuat Nadia keluar dari lamunan. "Tapi kalau mau naik lagi, bisa sih, Neng."

"Di sini saja, Pak." Rian langsung menyahut sebelum Nadia sempat membalas. Dia lalu mengetuk-ngetuk jendela minta kunci pintu mobil dibukakan.

"Pak, tunggu aja di sini. Nggak akan lama." Nadia bertekad akan kembali secepatnya.

"Baik, Neng. Kalau butuh apa-apa tinggal telpon saja." Bapak itu membuka kunci mobil dan Rian langsung melompat keluar.

"Beneran cuma bentar nganterin dia aja. Jangan dimatikan mesinnya," balas Nadia mengikuti Rian dengan berat hati, meninggalkan tasnya di mobil.

"Tempatnya ... jadi berbeda ...." Rian menatap sekeliling dengan tatapan tidak percaya. "Di sini harusnya hutan dan ada desa kecil di sana. Aku ditemukan oleh seorang kakek tua yang hidup sebatang kara, tapi beberapa tahun kemudian dia meninggal dan sejak saat itu aku lebih sering di hutan untuk mencari makan."

Rian menunjuk ke arah kanan. Nadia hanya melihat lapangan luas yang menjadi tempat parkir. Rian menatap sekeliling dengan perasaan nostalgia.

"Ini memang dunia yang berbeda." Nadia berkata demikian untuk diri sendiri, mengingatkan bahwa dia harus rela melepas Rian karena sejak awal, tempat pemuda itu bukan di sisinya. "Tapi kamu masih ingat jalannya, 'kan?"

Rian tersenyum. "Tentu saja. Tasmu aku yang bawa saja. Kita akan mendaki cukup jauh--"

"Benernya aku ga perlu nganter kamu sampai ketemu Sumbi, kan?" potong Nadia dingin sambil melipat tangan di dada. "Tugasku udah selesai, kamu bisa lanjutin perjalananmu sendiri."

Rian tampak tekejut mendengar ucapan Nadia. Dia berpikir Nadia akan menemaninya sampai bertemu Sumbi tapi kemudian dia sadar, perkataan Nadia ada benarnya.

"Jadi ... kamu tunggu aku di sini?" tanya Rian ragu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Rasa gelisah tampak jelas di gerakannya.

"Ngapain? Aku bakal langsung ke bandara." Nadia berusaha cuek sambil membuka pintu depan mobil.

Rian menahan lengan Nadia ketika gadis itu hendak masuk. "Hei, bukannya aku juga janji bantu kamu bertemu dengan kakakmu?"

"Nggak usah!" Nadia menyentakkan tangan, melepas genggaman Rian. Dia merasa matanya memanas dan air mata mulai menggenang, tapi dia menahan tangis dengan sekuat tenaga.

Rian terperangah dan melepaskan Nadia. Dia terkejut melihat mata Nadia yang berkaca-kaca.

"Aku bisa sendiri! Aku sudah ga butuh kamu! Sana pergi ketemu Dayang Sumbimu!" Nadia mendorong pundak Rian. "Bye!"

Selagi Rian berusaha menyeimbangkan diri, Nadia sudah masuk ke dalam mobil. Tangan pemuda itu terlambat menahan pintu yang tertutup di depannya.

"Nad! Kamu ngomong apa sih?!" seru Rian menggedor-gedor kaca.

Nadia tidak mempedulikan teriakan Rian yang teredam dan berkata pada sopir, "Pak, langsung ke bandara ya."

"Loh, Neng, temannya ga ikut?" tanya si sopir was-was melihat Rian yang berusaha membuka pintu, tapi Nadia bergerak lebih cepat dengan mengunci.

Rian terus menggedor-gedor kaca membuat beberapa turis melihat ke arah mereka.

"Nad! Sebentar aja kamu tunggu aku," seru Rian. "Aku perlu ketemu Sumbi untuk ngejelasin beberapa hal. Habis itu aku bisa nemenin kamu!"

"Jalan, Pak. Aku harus ngejar penerbangan." Nadia mengalihkan pandang dari wajah Rian yang panik.

Bapak sopir itu melihat ke arah Rian dengan iba sebelum mengubah persneling dan mulai menggerakkan mobil. Rian masih berusaha mengejar sambil memanggil nama Nadia. Sopir pun tidak berani menekan pedal gas dalam-dalam karena siapa tahu, nona di sampingnya ini akan berubah pikiran.

"Nad!!" panggil Rian seraya berlari di samping mobil. "Kamu kenapa?"

Karena kesal Rian tak kunjung menyerah, Nadia menurunkan kaca setengah.

"Ga usah urus urusanku lagi! Sana kembali ke Sumbimu! Itu memang tujuanmu 'kan? Aku bisa ketemu Aidan sendiri!" seru Nadia sebelum menutup jendela dan menoleh ke arah sopir. "Ayo, Pak!"

Mendengar nada yang tidak bisa dibantah dari Nadia, bapak itu menambah kecepatan. Dalam waktu singkat, Rian tertinggal. Nadia melihat Rian akhirnya menyerah mengejarnya dari kaca spion. Bahu pemuda itu turun dan tampak tidak berdaya. Ekspresi terluka dan terkejut terlihat jelas seakan Nadia baru saja membuang binatang peliharaannya dengan kejam.

Ini yang terbaik. Nadia mengingatkan dirinya. Jauh lebih baik daripada dia jadi obat nyamuk di antara reuni bahagia sepasang kekasih.

Sengatan rasa pilu kembali terasa ketika Nadia mengingat kalau perannya sudah selesai di hidup Rian. Air mata yang selama ini ditahannya meluncur tanpa kendali. Sang sopir yang berencana membujuk Nadia untuk kembali batal mengganggu gadis itu dan terus menyetir menjauh.

Ini yang terbaik. Nadia terus mengulangi kata-kata itu. Lebih cepat berpisah lebih baik, sebelum harapannya tertanam lebih dalam, sebelum hatinya kembali goyah. Lebih baik dia yang membuang daripada dibuang. Setidaknya dia berada di pihak yang mengambil keputusan, bukan yang menanggung keputusan orang lain, seperti saat kedua orang tuanya bercerai.

Nadia mengeraskan hati dan menghapus air mata dengan punggung tangan.

Ini yang terbaik. Rian juga akan segera melupakannya begitu bertemu dengan Sumbi. Entah apa yang akan terjadi jika Rian tahu kalau Sumbi adalah ibunya. Apakah Rian menyesal karena telah memilih wanita itu?

Nadia menggeleng. Tidak ada kepastian bahwa Rian pernah sekali pun memikirkannya. Sejak awal, perasaannya bertepuk sebelah tangan. Dia yang jatuh cinta, kini dia pula yang harus bangkit dengan badan penuh lebam. Nadia hanya tahu, kalau dia harus terus melangkah.

Move on.

Rian adalah bagian dari masa lalunya. Nadia menatap jalan lurus lengang yang mengarah ke bandara.

Ini yang terbaik.

Namun mengapa ekspresi terluka Rian terluka masih menghantuinya?


Ouch! Gimana nih menurut kalian, apakah yang dilakuin Nadia itu benar?

Mari semangat tamatkan novel ini sebelum tahun baru!!! 💪🏻💪🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top