31: Rian Cemburu? MUSTAHIL!

Beneran 'kan?! jadinya kepikiran!

Perkataan Indra berputar-putar di kepala Nadia hingga berjam-jam berikutnya. Saat dia sudah berada di stasiun Yogyakarta sedang menunggu kedatangan kereta yang dijadwalkan beberapa menit lagi. Semua keperluannya di kota itu sudah selesai, termasuk mengembalikan alat-alat yang dia pinjam atau lebih tepatnya membayar yang tidak bisa dia kembalikan karena tertinggal saat heboh baku hantam dengan Dewi Galuh.

Yah, siapa juga yang akan memikirkan tas gunung dan alat kemah kalau dia dikejar-kejar perempuan ganas berkekuatan super?

Raka terus tertidur sehingga Nadia tidak sempat berpamitan dengannya. Indra berjanji akan terus memberi tahu perkembangan anak itu pada Nadia. Dengan alasan itulah mereka bertukar nomor ponsel. Sebentar, Nadia jadi kepikiran lagi ucapan Indra yang itu.

Tidak-tidak. Nadia menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran aneh. Maksud Indra pasti dia menyukai sifat kuat Nadia, bukan berarti ingin menjadikan Nadia pacar.

Benar! Pasti itu!

Nadia meyakinkan diri, tapi mengapa Indra tersenyum penuh arti padanya ketika mereka berpisah di stasiun? Lengkap dengan ucapan, "Nanti kita ngobrol lagi di telepon ya."

"Nad!" panggil Rian yang dengan wajah cemberut membuat pikiran Nadia kembali fokus ke masa kini. "Kamu kenapa?"

Nadia berdecak ketika menatap Rian. Alisnya bertaut, suasana hatinya langsung memburuk ketika mengingat mengapa dia berada di stasiun, menunggu kereta menuju Bandung.

"Apaan sih?" balas Nadia ketus sambil melipat tangan. "Bukan urusanmu!"

"Kamu mikirin Indra?" tanya Rian tak kalah tajam.

"Kalau iya, kenapa? Kalau nggak, kenapa? Kamu juga ga berhenti mikirin Sumbimu!" Nadia mengayunkan tangan dengan gaya mengusir Rian.

Rian menangkap pergelangan tangan Nadia dan menatap gadis itu dalam-dalam. "Aku punya alasan buat ketemu Sumbi. Aku harus memastikan sesuatu."

Untuk sesaat Nadia tertegun ketika kulit mereka bersentuhan. Rasa hangat mengalir dari sentuhan itu ke dadanya. Tekadnya yang selama ini dia keraskan perlahan luluh ...

Tidak! Tidak boleh!

Nadia menampar dirinya, kali ini memakai tangannya yang bebas agar tetap sadar. Dia tidak boleh membiarkan hatinya jatuh lagi untuk Rian. Cepat-cepat, dia menarik tangannya dari genggaman pemuda itu.

"Nggak usah!" sahutnya, tepat pada saat itu kereta Turangga jurusan Bandung memasuki stasiun, memberikan Nadia alasan untuk beranjak pergi dari hadapan Rian.

"Nad!" seru Rian memanggil sebelum mengikuti langkah kaki gadis itu memasuki gerbong.

Nadia pura-pura tidak mendengar sambil mencari kursinya. Dia ingin memesan tempat duduk yang terpisah, tapi sialnya, kondisi gerbong yang penuh membuat Nadia tidak memiliki pilihan. Dia terpaksa duduk bersebelahan dengan Rian. Sambil berdecak, dia melepas tas ransel untuk menaikkannya ke kompartemen di atas kursi. Rian tanpa berbicara apa-apa mengambil tas milik Nadia dan memasukkannya ke kompartemen, disusul tasnya. Nadia menatap Rian dalam diam lalu berpura-pura tidak peduli dan duduk di kursi dekat jendela. Rian menghela napas sebelum melemparkan dirinya duduk di samping Nadia.

"Walau kamu pingin ketemu kakakmu, kamu tetap harus menepati janjimu," ucap Rian menoleh ke arah Nadia yang terus menatap jendela. Terdengar peluit stasiun dan kereta mulai berjalan.

"Aku tahu. Nggak usah kamu ingetin," balas gadis itu ketus masih menolak menoleh.

Rian menghela napas. Dia benar-benar bingung dengan kelakuan Nadia. Tidak pernah Nadia menolak berbicara dengannya seperti ini. Beberapa kali mereka selisih paham tapi Nadia biasanya mengomel dan tetap memperhatikan Rian.

"Kamu cemburu?" Kata-kata itu tiba-tiba saja meluncur dari bibirnya.

Nadia langsung menoleh dan menatap tajam Rian dengan mata hitamnya. Alisnya menukik.

"Dih! Jangan Ge-Er! Siapa yang cemburu?!"

Buru-buru gadis itu kembali menatap ke jendela yang menampilkan jalanan kota Yogyakarta di waktu malam.

Nadia merasakan perasaannya bercampur aduk. Ada rasa malu karena Rian bisa menebak emosinya. Rasa kesal karena dia merespon tanpa berpikir panjang dan harapan yang timbul. Harapan bila Rian mengerti perasaannya dari percakapan singkat itu lalu berubah sikap.

Mustahil.

Sepertinya lebih mungkin Aidan tiba-tiba menjadi kakak teladan daripada Rian membalas perasaannya. Toh, walaupun Nadia menunggu-nunggu Rian membatalkan rencana mencari Dayang Sumbi, pemuda itu tetap diam. Dia malah sibuk berbicara dengan wanita yang menawarkan camilan pada mereka.

Tuh, kan? Memang Rian itu playboy. Semua cewek dia senyumin.

Mendengkus kesal, Nadia memutuskan untuk menekan perasaannya dengan menutup mata dan menyandarkan kepala ke jendela. Rasa lelah menyergap Nadia dengan kasar. Walau Kristal telah menyembuhkan tubuh fisiknya dengan sempurna--bahkan rambutnya kembali lurus, tanpa bekas terbakar--mental Nadia tetap terasa letih. Terlalu banyak yang terjadi. Dalam waktu kurang dari 24 jam, Nadia berhasil membuat gunung Merapi tenang, merebut Kristal, mengalahkan Dewi Galuh dan membebaskan Keong. Sudah cukup aksi kepahlawanannya. Walaupun dia mengerang setiap mengingat harus mengantar Rian bertemu Dayang Sumbi sebelum bertemu Aidan, Nadia tetap merasa pertemuan dengan kakaknya adalah titik akhir perjalanannya.

Gadis itu tersenyum sementara kesadarannya mulai memudar seiring dengan gerakan monoton kereta api. Berdua, mereka tidak akan terkalahkan. Nadia merasa bisa melakukan apa pun asal ada Aidan di sampingnya. Aidan yang mengaku kalah adalah motivasi terbaik Nadia. Kekehan kecil keluar dari mulutnya ketika membayangkan wajah Aidan kalau dia bisa membaca pikiran Nadia sekarang. Diiringi impian sederhana itu, Nadia terpeleset ke alam mimpi.

Samar-samar, Nadia merasakan ada yang membelai kepalanya. Dia merasa nyaman. Kepalanya bersandar di sesuatu yang lebih empuk daripada besi. Ada suara yang berbisik di telinga.

Suara Rian?

Nadia tidak bisa menangkap arti dari suara-suara itu. Kesadarannya terlalu tipis untuk bisa diajak mengolah kata. Nadia hanya tahu, suara itu terdengar lembut dan menenangkan. Kata-kata yang terucap adalah sesuatu yang membahagiakannya, membuat Nadia mengulas senyum. 

Visi atau mimpi?

Entahlah. Nadia terlalu lelah untuk berpikir. Rasa kantuk kembali menelan Nadia dan sekali lagi dia terlelap.

Ketika dia membuka mata, Nadia sedang duduk menyandarkan punggungnya pada kursi. Dia menyadari keributan di sekitar. Para penumpang berdiri dan sibuk mengambil barang dari kompartemen di atas tempat duduk mereka, membuat gadis itu mengerutkan alis berusaha memproses keadaan.

"Ayo turun, kita sudah sampai." Rian menepuk bahu Nadia.

"Ah, iya," balas Nadia yang nyawanya masih belum terkumpul sempurna. Dengan menurut, dia menerima tas ransel dari Rian dan mengikuti arus penumpang yang berebut keluar dari kereta.

Udara subuh yang dingin menusuk khas kota Bandung, menyambutnya di luar gerbong membuat Nadia lebih sadar. Dia mengerjapkan mata beberapa kali lalu menghirup udara banyak-banyak. Rasa segar di paru-parunya membuat Nadia kembali fokus. Istirahatnya cukup. Lelap sekali dia tidur dan perjalanannya kali ini aman. Tidak ada nenek sihir atau kakak perempuan jahat yang ingin membunuhnya. Satu-satunya yang dia rindukan hanya Keong. Ucapan kalem dari makhluk itu selalu bisa membuat Nadia lebih tenang.

"Kita ke mana sekarang? Kita harus cepat bertemu dengan Sumbi." Ucapan Rian membuyarkan semua perasaan nyaman Nadia.

Apa nggak bisa gitu sabar sedikit?

Nadia melihat jam tangannya, jam empat subuh. Dia sudah memesan mobil yang akan mengantar mereka ke Tangkuban Perahu ketika masih di Yogya. Harusnya, sopirnya sudah datang.

Sambil menggerutu pelan, Nadia memperbaiki posisi ranselnya dan berjalan menuju pintu keluar, mengabaikan Rian. Nadia teringat akan elusan kepala dalam mimpi. Dia bertanya-tanya apakah itu visi atau hanya bunga tidur semata atau ....

Nadia mendengkus, menyingkirkan kemungkinan terakhir. Yang pasti bukan Rian. Dia berani jamin itu.

Dengan langkah menghentak keras-keras ke lantai, Nadia berusaha menyalurkan emosi karena dia sempat berharap kalau Rian lah yang mengelus kepalanya saat tidur.

Nggak mungkin! Nggak mungkin!

Dia tidak peduli sama sekali ke Rian ketika melewati ruang tunggu tempat sebuah televisi menyala menyiarkan berita. Nadia melihat sekilas sekadar penasaran apa yang dilihat dengan penuh minat oleh para penumpang yang menunggu jemputan, tapi gambar yang muncul di sana membuatnya terdiam. Bahkan setelah Rian berhasil mengejarnya dan berdiri di sampingnya, mata Nadia seakan terhipnotis pada layar kaca tersebut.

Gambar gunung Anak Krakatau sedang mengeluarkan asap setinggi beberapa kilometer. Statusnya naik menjadi siaga dan menurut pembaca berita, aktivitas ini menyerupai aktivitas gunung Krakatau purba pada tahun 1883 yang menyebabkan kiamat kecil di selat Sunda.

Nadia merasakan firasat buruk menggelitik tulang punggungnya.

Mengapa rasanya seperti kejadian di gunung Merapi? 

Hai-hai! Aku kembali! Menjelang akhir tahun, pekerjaanku sedikit santai. Sedikit ....

Semoga bisa update sampai tamat kisah ini karena aku sudah tidak sabar memulai kisah baru 😆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top