30: Nadia Ditembak!
"Nadia!"
Suara Indra menyeret Nadia keluar dari lamunan. Dia menatap pemuda di sebelahnya itu dengan tatapan bingung.
"Kamu kenapa? Aku panggil-panggil nggak respon."
Nadia menggeleng cepat. "Nggak apa-apa." Benar, dia harus fokus ke Raka dulu. Kegelisahannya bisa dipikirkan nanti. Dia harus cari tahu tentang Kristal.
Menghadapi anak yang menganggapnya pahlawan super, Nadia menyungginggkan senyum termanisnya. "Raka ya?"
Anak itu mengangguk antusias. Nadia merasakan wajahnya kaku. Dia tidak punya pengalaman dengan anak kecil, hanya Aidan. Dia dapat merasakan Indra menahan senyum di sampingnya. Untuk mengatasi kegugupan, Nadia berdehem.
"Bisa cerita dari awal? Seperti, dari mana kamu dapat Kristal itu ...."
Bahu Raka turun. Dia mengalihkan pandangannya dari Nadia ke arah kedua tangannya yang beristirahat di pangkuan ketika dia duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Jari-jarinya bergerak gugup. Wajahnya tampak enggan bercerita. Nadia memutuskan menunggu, karena dia harus mendapat informasi tentang Kristal sebanyak mungkin.
"Aku ... ketemu Kristal di dekat sungai Musi. Karena sinarnya bagus, aku ambil. Saat itu aku sedang pergi dengan papa sebelum papa membawaku untuk tinggal dengan eyang setelah ibu meninggal. Katanya, papa nggak bisa kerja sambil mengurusku, jadi biar eyang saja yang menjaga. Ada dua biji, mirip, tapi ketika tiba di Yogya, aku hanya menemukan satu di kantongku .... "
Nadia bertukar pandang dengan Indra. Tatapan mereka memancarkan ekspresi yang sama, prihatin. Di usia muda seperti itu Raka sudah harus kehilangan kedua orang tua. Satunya meninggal dan satunya harus berada jauh karena pekerjaan.
"Apa kamu tahu asal Kristal itu dan bagaimana cara menggunakannya?" tanya Indra sementara Nadia masih menata perasaannya. Gadis itu dapat merasakan betapa mirip dirinya dengan Raka. Sosok kedua orang tuanya tidak pernah lengkap dalam hidup. Ironis, ayah ataupun ibunya tidak ada yang menghubunginya sejak dia memulai petualangan ini. Ayahnya pasti sedang berada di laut lepas, tidak ada sinyal adalah alasan klasik, sedangkan ibunya hanya memperhatikan Aidan karena Aidan memilih ikut wanita itu.
Raka menggeleng. "Aku tidak tahu. Aku hanya memegang Kristal itu ...."
Tiba-tiba dia gemetar. "Kakak yang menculikku ... dia bilang, dia berterima kasih karena berkat permintaanku dia menjadi nyata dan memiliki kesempatan untuk membalas dendam." Raka menatap Nadia dan Indra dengan air mata menggenang.
"Apakah ini semua salahku? Aku hanya kangen sama ibu yang sering membacakan dongeng ...." Air matanya mengalir deras membuat Nadia langsung memeluk Raka.
Indra menghela napas. Dia menoleh ke arah Nadia dan mereka sama-sama sepakat untuk menunggu tangisnya mereda. Butuh beberapa menit sampai akhirnya anak itu kembali tenang tapi, kesempatan untuk berbicara dengannya sudah habis. Lelah karena menangis, anak itu kembali tertidur dalam pelukan Nadia. Setelah membaringkan Raka, Indra mengajak Nadia keluar kamar untuk lanjut berbicara.
"Aku akan menanyainya ketika dia lebih tenang." Indra menutup pintu kamar. "Akan aku coba lagi bertanya temanku di kepolisian tentang laporan anak hilang. Sampai saat itu, dia bisa menginap di sini. Dia sepertinya butuh menenangkan diri."
Nadia mengangguk. "Aku harus ke pulau Kemaro. Kakakku bilang, Kristal satunya berada di sana."
"Pulau Kemaro berada di dekat sungai Musi. Sama seperti yang dikatakan oleh Raka. Aku yakin Kristal satunya tidak jauh dari sana ...."
"Nggak bisa gitu." Rian tiba-tiba menyela membuat Nadia dan Indra langsung menoleh ke arah pemuda yang kini menatap mereka dengan tatapan sengit.
"Apaan sih?!" balas Nadia sewot.
Bangun tidur aja, Rian tetep ganteng.
Nadia buru-buru menampar dirinya secara mental supaya sadar dan tidak terpesona.
"Kamu sudah berjanji membawaku ke Dayang Sumbi." Rian menatap Nadia dalam.
Mendengar nama itu disebut, membuat emosi Nadia tersulut. Dia membalas tatapan Rian sengit. Ternyata memang dia tidak memiliki harapan dengan Rian. Yang ada dipikiran pemuda itu hanya Sumbi, Sumbi dan Sumbi. Nadia merasakan matanya memanas.
"Keselamatan kakakku lebih penting daripada perempuan itu!" Nadia tanpa sadar berteriak.
"Nggak bisa. Kamu sudah janji! Ini waktunya kamu menepati?" balas Rian tinggi, melampaui nada ketus yang dipakai Nadia.
Kemarahan sudah di ujung lidah Nadia. Sedikit lagi dia hendak mengatai Rian kalau dia jatuh cinta pada ibunya sendiri. Namun, tepukan Indra di pundaknya membuat Nadia sadar.
"Terserah deh!" Nadia menepis tangan Indra sebelum berjalan ke luar rumah sambil merasa bodoh. Dia butuh menenangkan emosinya agar bisa berpikir jernih.
Nadia melewati pintu depan dan sebuah halaman luas rindang khas pedesaan menyambutnya. Semilir angin menjelang sore terasa segar membuat amarahnya surut. Matahari bergerak malas di seperempat langit dengan cahayanya yang malu-malu tertutup awan. Suasana sejuk, apalagi ditambah dengan pepohonan. Nadia memutuskan untuk duduk di teras, di atas kursi rotan panjang menempel di tembok rumah. Dari sana dia bisa melihat jalan beraspal kecil yang hanya cukup dilewati satu mobil dan pagar kayu yang tua tapi terawat. Warna bilah kayunya tidak sama, tanda bahwa sudah beberapa kali diganti dalam waktu yang tidak bersamaan.
Bodoh! Bodoh! Bodoh!
Nadia merutuki dirinya sendiri. Sejak awal di pikiran Rian hanya ada Dayang Sumbi. Bayangkan, dia rela membangun danau lengkap dengan perahu demi perempuan itu. Nadia sama sekali tidak punya kesempatan, tapi hatinya jatuh begitu saja di tangan Rian tanpa diminta. Bukan salah Rian kalau sekarang hatinya terasa remuk.
Bodoh!
Nadia menendang-nendang deadunan kering di teras rumah, melampiaskan kekesalannya. Kesal pada Rian dan terutama kesal pada dirinya sendiri. Dia membiarkan dirinya dibuai oleh tindakan Rian yang khawatir akan keselamatannya dan tampak begitu peduli. Namun saat ini terasa jelas mengapa, Rian hanya ingin Nadia mengantarnya bertemu dengan Sumbi.
Menyadari itu, rasa marah kembali naik hingga ke ubun-ubun, tapi kali ini Nadia marah pada dirinya yang mengizinkan hatinya dipermainkan.
"Sial!" umpat Nadia pelan sambil memukul kursi.
"Aku bisa duduk di sini?"
Sebuah suara membuat Nadia mengangkat kepala. Wajah Indra yang kalem menyambutnya. Bukan Rian, tentu saja, walau Nadia mengakui dia ingin Rian mengejar dan menghiburnya.
Kamu masih berharap, kan?!
Suara hatinya meneriakkan kebenaran. Nadia mendengkus sebelum menatap jalanan.
"Terserah."
Indra duduk di samping Nadia. Ada jarak yang nyaman di antara mereka, sekitar setengah lengan. Nadia ingin bertanya mengapa Indra mengikutinya tapi rasa kesal membuatnya bungkam. Kesunyian turun di antara mereka dan hanya dipecah oleh desiran angin yang menggoyangkan dedaunan.
"Kamu suka sama Rian?" tanya Indra membuat Nadia langsung menoleh sambil membelalakkan mata. Pemuda di hadapannya itu malah tertawa kecil. "Kelihatan banget kok. Aku malah heran kalau ada orang yang nggak sadar."
Nadia mendengkus.
Apa memang sekentara itu ya?
Gadis itu tidak ada tenaga untuk membantah jadi dia membiarkan Indra melanjutkan kata-katanya.
"Tapi dia naksir sama Dayang Sumbi. Kita semua sudah tahu endingnya seperti apa."
"Yeah," balas Nadia malas. "Tapi kita nggak bisa menentukan kepada siapa hati kita jatuh." Nadia menatap tajam ke arah awan yang berarak di kaki langit. "Aku sudah mengingatkan diriku kalau dia adalah tokoh legenda yang akan segera hilang begitu masalah ini selesai ...."
Nadia terdiam. Dia tidak mau melanjutkan dengan kata-kata yang akan menghancurkan hatinya. Kesunyian kembali turun. Nadia terlarut dalam pikirannya lagi, merasakan hatinya terasa sakit. Matanya terasa panas. Dia tahu dia akan menangis, hal yang ditahannya mati-matian.
Tidak boleh! Dia tidak akan menangis untuk hal bodoh seperti ini!
Tiba-tiba sebuah sentuhan mendarat di kepalanya. Rasa kaget mengalihkan Nadia dari kesedihan. Dia menoleh dan melihat Indra sedang menenangkannya dengan menepuk-nepuk kepalanya ringan.
"Thanks ...," ucap Nadia sambil menghapus sebutir air mata yang lolos karena rasa haru. Masih ada orang yang memperhatikannya. "Aku akan baik-baik saja ...."
Indra menghela napas lalu berhenti menepuk kepala Nadia.
"Aku tetap harus memenuhi janjiku. Semakin cepat selesai, semakin baik. Aku bakal lupain dia kalau udah nggak ketemu." Nadia berdiri dari duduknya dengan determinasi baru.
Anggap saja, ini latihan keras sebelum kejuaraan. Nadia harus membajakan mental. Dia terbiasa mengabaikan perasaannya. Teriakan-teriakan dari pelatihnya menggaung di telinga. Walaupun dia ingin menyerah, dia tetap harus melangkah. Nadia akan membuktikan diri bahwa dia sanggup. Dia sudah menghadapi lawan-lawan kuat di lomba lari, sudah melewati perpisahan dengan Aidan yang menyakitkan, masalah hati adalah masalah kecil.
"Aku harus kembali ke Yogya sekarang dan naik kereta ke Bandung malam ini kalau ingin tiba besok. Setelah mengantar Rian, aku akan menyusul Aidan." Nadia menghela napas dalam, memfokuskan diri pada tujuan, pada garis finish. Hatinya masih berdarah-darah dengan rasa sakit yang menusuk setiap dia teringat Rian dan Dayang Sumbi, tapi Nadia mengingatkan diri bahwa dia hanya perlu bertahan sedikit lagi. Setelah tugasnya selesai, dia pasti akan move on. Cowok di dunia bukan hanya makhluk satu itu saja.
Indra tersenyum dan memandang Nadia lekat.
"Ada apa?" tanya Nadia salah tingkah karena ditatap dengan intens seperti itu.
"Nggak. Kamu itu gadis yang kuat dan aku suka itu," jawab Indra santai sambil memperlebar senyum.
"Eh?"
Eh? 😘😘😘😘
Jadi maksudnya Indra gimana ya?
Gimana nih kalau Nadia belok ke Indra? Kalian setuju ga? 😌😌
Btw, thank you so much buat dukungan kalian baik vote maupun komen :D aku jadi semangat karena merasa karya ini masih ada yang baca 😭 sampai jumpa di update berikutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top