26: Terbangun ala-ala Putri Tidur (Minus Ciuman Pangeran)

Kesadarannya hilang timbul. Sesekali dia merasakan tubuhnya terayun, sementara lain kali dia sepertinya mendengar suara orang berbicara. Kata-kata mereka tidak jelas. Ada dua orang pria yang saling bersahutan. Sesekali rasa sakit menyengat hingga gadis itu mengerang. Namun, rasanya terlalu berat untuk membuka mata.

Nadia merasakan tubuhnya kembali terayun-ayun. Kali ini, dia memiliki cukup tenaga untuk tetap sadar dan dengan keras kepala, Nadia mempertahankannya. Terlalu banyak yang harus dipastikan. Keong Mas, si anak, Dewi Galuh, Indra ....

Bagaimana kalau gunung Merapi meletus dan mereka gagal melarikan diri?

Nadia menolak menjadi putri lemah yang diselamatkan. Dia harus melakukan sesuatu dan untuk melakukan itu dia harus tetap sadar. Mati-matian, gadis itu melawan dari rasa lelah yang menggerogotinya, memaksa agar dia kembali terlelap. Nyaman memang kalau dia bisa bangun dan tiba-tiba semua masalah beres. Sayangnya, selama enam belas tahun hidupnya, Nadia tahu kalau itu tidak mungkin terjadi. Dia harus terus berjuang, harus terus bergerak. Jika tidak, dunia tidak ramah padanya.

Sekali lagi erangan lolos dari bibir Nadia yang kering dan pecah-pecah. Kelopak matanya bergetar, sebelum akhirnya dia mendapat tenaga untuk membukanya. Butuh beberapa saat untuk memproses keadaan. Nadia merasakan dirinya bersandar pada sesuatu yang bergoyang-goyang dan hangat. Naik turun. Naik turun. Rasanya seperti dininabobokan. Bau belerang masih tercium samar, tapi tidak lagi mencekik.

"Anceun parantos gugah?"

Nadia mengangkat kepala dan baru saat itu dia sadar kalau dirinya sedang digendong di punggung Rian yang baru saja menanyainya. Alis gadis itu berkerut.

"Jangan gerak dulu, kamu masih lemah," omel Rian ketika menyadari Nadia berusaha melepaskan diri.

"Iya, Nad, kamu istirahat dulu." Suara lain masuk ke dalam inderanya.

Nadia mengangkat kepala dan menyadari bahwa Indra sedang berjalan di sampingnya dan Rian sambil membopong si anak. Kelegaan mengalir di benak gadis itu. Dia tersenyum kecil.

Untunglah Indra juga selamat. Hanya satu yang belum terlihat.

"Keong ...," ucap Nadia dengan kerongkongan sekering padang gurun. Suaranya terdengar kasar dan lirih.

"Aku di sini." Binatang itu sedang bertengger di lengan Nadia sambil memainkan sungutnya. "Terima kasih sudah membantu melawan kakakku yang jahat."

Nadia mengangguk pelan, menyadari bahwa Kristal masih dia genggam erat di tangannya. Seluruh keluarga Keong ada di sana. Dia masih harus mencari cara untuk mengeluarkan mereka.

"Di mana kita?" tanya Nadia lagi. Dia tidak bisa mengenali suaranya.

"Kita sedang berjalan ke rumahku." Indra menjawab. "Tadi langit-langit goa tempat kalian bertarung runtuh. Aku datang tepat waktu untuk membantu Rian membawamu dan anak ini. Setelahnya kami berlari."

"Dewi Galuh dan Nenek Sihir tertinggal di dalam ...," tambah Keong dengan raut wajah sedih. "Aku melihat mereka tertimbun oleh batu-batu ...."

"Kita tidak memiliki sumber daya untuk menyelamatkan mereka," jawab Indra. "Rian menyelamatkan Nadia, dan aku membawa anak ini." Pemuda itu tersenyum menenangkan membuat Nadia merasa aman. "Istirahatlah. Akan kubangunkan kalau kita sudah sampai di rumahku. Aktivitas Merapi sudah turun dan peringatan mulai dicabut satu per satu. Mbah bisa membantu kita untuk membebaskan keluarga Keong dari Kristal. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Nadia mengangguk pelan. Dia merasakan angin bertiup membelai rambutnya. Baru saat itu dia mendapat kesempatan memandang sekeliling. Keadaan masih gelap tapi dia dapat melihat jejak-jejak fajar di ufuk timur tersembunyi malu-malu di balik rangkaian pohon.

Mereka sudah keluar dari goa dan Nadia menghirup angin segar memenuhi paru-parunya, membuang racun belerang. Dia baru saja melewati malam yang panjang. Namun Nadia tahu, perjalanannya masih jauh dari usai.

Kelopak matanya terasa berat seiring dengan kelegaan yang mengalir dalam benak. Semuanya baik-baik saja. Keong, Rian dan Indra selamat. Anak kecil itu juga. Dirinya berhasil. Kristal dalam genggaman tangannya terasa hangat. Semoga saja, Aidan juga baik-baik saja. Nadia akan segera menyusulnya ... setelah dia bangun ... nanti ....

Kepala gadis itu terkulai. Sekali lagi, Nadia menyerahkan kesadarannya pada rasa lelah. Dalam waktu singkat, gadis itu kembali terlelap.

Nadia mengerjapkan mata.

Berapa lama dia tertidur?

Hal terakhir yang dia ingat adalah dia sedang digendong oleh Rian melewati hutan. Sekarang dia sedang berbaring ke arah samping, menatap tembok bercat kuning kusam dengan beberapa bagian yang rontok. Dia dapat merasakan cahaya lampu kekuningan menyinarinya. Tidak ada jendela dan dari posisinya, Nadia tidak bisa melihat jam dinding.

Ketika gadis itu berusaha menggerakkan badan, yang terasa hanya rasa perih. Otot-ototnya protes kesakitan. Rasa pegal menguasai setiap persendian tanpa terkecuali. Nadia berani bersumpah bahwa tulang hidungnya juga meronta-ronta setelah dipaksa mencium bau belerang selama berjam-jam.

"Nadia. Kau sudah bangun?" Suara Keong yang ramah membuat Nadia tidak lagi merasa sendirian. Suasana kamar itu terlalu sunyi dan Nadia tidak nyaman.

"Kita di rumah Indra?" tanya Nadia. Dia berusaha bangkit tapi tubuhnya menolak bekerja sama. Tidak ada tenaga yang bisa dikerahkan bahkan untuk sekadar menggerakkan tangan.

"Iya. Subuh tadi kita sampai. Kau langsung dirawat oleh kakak perempuan Indra. Dia mengganti baju dan merawat lukamu." Keong bergerak dari leher Nadia, merayap turun ke bantal di depan gadis itu untuk menatapnya. "Kamu terluka cukup banyak. Ada tulang rusuk yang diperkirakan retak, belum lagi luka bakar akibat serangan Dewi Galuh ...."

Keong tampak sedih.

"Maaf karena kakakku telah melukaimu ..."

Nadia berusaha tersenyum, tapi bahkan untuk melakukannya otot wajahnya terasa linu. "Mereka sudah nggak bisa lagi melukai siapa pun." Gadis itu masih merasakan Kristal itu berada dalam genggamannya.

Keong menggoyangkan sungutnya. "Sekali lagi terima kasih banyak, Nadia. Aku dan kerajaanku berhutang nyawa padamu."

"Nanti saja terima kasihnya, kalau aku bisa mengeluarkan ayah dan tunanganmu dari dalam Kristal." Nadia mengambil napas dalam, berusaha mengumpulkan tenaga.

"Kristalnya masih di tanganmu. Kau menolak melepaskannya walau sudah beberapa orang berusaha." Keong melaporkan dengan bangga dan gembira.

Nadia tertawa lemah. Dia sekali lagi menarik napas, lalu menggunakan seluruh tenaganya untuk bangun. Rasa sakit yang menyengat membuat gadis itu meringis tapi Nadia pantang menyerah. Keong berteriak-teriak berusaha mencegah Nadia tapi gadis itu menggertakkan gigi dan menahan rasa sakit.

Akhirnya Nadia bisa duduk dengan napas terengah-engah. Keringat bercucuran di keningnya. Sambil mengumpulkan tenaga untuk turun dari tempat tidur, Nadia membuka tangan dan melihat Kristal dengan warna pelangi di tangannya.

Indah.

Benda ini yang membuatnya menempuh bahaya. Benar juga, dia harus melapor ke Aidan sekaligus pamer kalau dia sudah berhasil mendapatkan Kristal bagiannya. Nadia tersenyum, membayangkan wajah Aidan yang kesal mendengar Nadia menyombong.

Mendapat suntikan semangat baru, Nadia menyeret dirinya ke pinggir kasur tipis yang diletakkan di atas dipan. Dia memandang sekeliling kamar kecil tempatnya tidur. Isi kamar itu sederhana. Hanya ada lemari pakaian, sebuah tempat tidur dan meja rias. Cukup rapi walau terasa lembab karena tidak ada matahari. Sebuah kipas angin dinyalakan untuk mengusir hawa gerah dan pintu kayu yang terkelupas dalam keadaan tertutup di seberang tempat tidur. Ada jam meja yang menunjukkan pukul sepuluh pagi. Nadia sadar dia sudah tidur cukup lama.

Gadis itu mencari-cari ponsel dan barang-barangnya lalu menyadari bahwa pakaiannya sudah diganti. Dia memakai baju tidur seseorang, sebuah kaos putih kusam dengan celana kain sepanjang mata kaki bermotif batik. Semuanya terasa nyaman.

Dia akhirnya menemukan tas hiking yang dia sewa dan baju lamanya terlipat di kaki tempat tidur. Benar juga, dia masih harus mengembalikan barang-barang pinjaman itu, walau jelas sepertinya dia harus membayar denda karena beberapa bendanya sudah tak berbentuk tertimpa batu yang berjatuhan atau gosong terkena lava panas. Namun rasanya seluruh pengorbanan dan pengeluarannya terasa tidak berarti bila dibandingkan dengan Kristal di tangan Nadia.

Nadia sedang membongkar barang-barangnya mencari ponsel ketika pintu kamar terbuka.

"Apa yang kamu lakukan?!" seru seseorang membuat Nadia menahan napas..

JENG JENG JENG

ZOOM IN ZOOM OUT ZOOM IN ZOOM OUT

//disepak karena berisik

Masih berusaha ngejar jumlah kata, jadi belum bisa balas komen 😭 kurang satu chapter lagi baru bisa nembus perunggu!

Wish me luck

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top