24: Pentingnya Pelajaran Bahasa Daerah di Sekolah

"JANGAN!" 

Nadia menulikan telinga dari seruan Rian. Kakinya melangkah ke arah anak yang tak sadarkan diri tanpa bisa dicegah. Rian berusaha menarik tangan ramping gadis itu tapi melawan juara lari seprovinsi, tangan Rian hanya menggenggam udara. Nadia mengendap di antara stalagmit yang mencuat. Dia dapat mendengar degup jantungnya bertalu-talu di telinga. Seluruh inderanya aktif, tapi tidak ada suara apa pun. Hanya hawa panas dan bau belerang yang menyerang inderanya tanpa ampun.

Sepuluh meter.

Lima meter.

Nadia semakin dekat. Dia dapat melihat garis wajah sang anak dengan jelas. Hati Nadia mencelus, dalam penerangan samar ini, membuatnya terlihat seperti Aidan kecil. Dada mungil itu naik turun tidak kentara. Napasnya lemah, membuat Nadia cemas.

Apakah dia sudah terlambat?

Nadia menggelengkan kepala, mengusir pikiran buruk. Dia memfokuskan pandangannya, melihat aura anak itu. Namun, yang dilihat membuat Nadia menahan napas. Aura berwarna jingga yang menandakan dia manusia terlihat begitu redup dan berlubang-lubang. Di bagian dada, aura itu malah tidak tampak. Anak itu terluka parah. Nadia harus bertindak cepat merapikan dan menyambung auranya sebelum semakin parah.

Gadis itu menelan ludah, menahan diri dari memanggil anak itu. Dia mengeratkan genggaman tangannya. Lima meter ke depan tidak ada stalagmit yang bisa menyembunyikan tubuhnya, hanya ada tanah lapang di tengah goa yang terbuka. Itu berarti Nadia meresikokan dirinya terlihat oleh Dewi Galuh atau Nenek Sihir. Namun dia tidak memiliki pilihan lain. Toh, sejauh ini dua makhluk sialan itu masih tidak terlihat wujudnya.

Anak itu butuh bantuan segera atau nyawanya akan hilang. Membayangkannya saja, membuat darah Nadia mengalir terbalik. Rasanya seperti dia akan kehilangan Aidan.

Nadia mengambil napas dalam lalu mengubah posisinya menjadi setengah jongkok. Dia menumpukan berat badan di tangan, posisi siap berlari.

Ready.

Set.

Go!

Nadia mengerahkan otot kakinya untuk mendorong diri dalam satu tarikan napas. Dia seperti melompat dan dalam waktu sedetik, dia sudah berada di samping sang anak.

"Hei," sapa Nadia sambil menepuk-nepuk pipi kurus itu. Suhu tubuh anak itu rendah dan bibirnya terlihat pucat. Tidak ada balasan, Nadia menepuk-nepuk lagi dengan cemas.

Anak itu pingsan. Nadia menggelengkan kepala. Keadaannya benar-benar buruk.

"Nadia awas!" seru Keong di telinganya.

Nadia langsung mengangkat pandangan matanya. Seketika Nadia merasa jantungnya berhenti berdetak.

Sesosok Nenek Sihir berdiri menjulang di atasnya sambil menyeringai kejam. Dia berbentuk manusia dengan wajah penuh kutil dan tongkat kayu berbonggol. Gigi depannya yang busuk sama sekali tidak membantunya untuk tampak ramah. Rambutnya berwarna putih disanggul asal hingga anak rambut jatuh menggantung di depan matanya. Bajunya tidak lebih dari kain gombal kumal, dijahit sederhana dengan lobang untuk kepala dan tangan.

Tawa keji menggelegar di tengah-tengah goa. Dia mengangkat tongkat dan sinar merah terkumpul di atasnya. Mulutnya berkomat-kamit membaca mantra dalam bahasa Sansekerta yang asing bagi Nadia.

Lagian, memangnya penting paham bahasa kuno di saat nyawamu dalam bahaya?

Insting Nadia memerintahkannya lari tapi dia harus membawa sang anak pergi.

"RIAN!" seru Nadia putus asa sambil menggendong tubuh kecil itu. Ternyata tidak seberat yang dia duga. Anak itu kurus sekali.

"Aku kira kamu tidak akan memanggilku." Suara Rian terdengar sebelum energi berwarna biru muda menghantam si nenek hingga membatalkan serangannya. Orang tua itu terpental semeter dari mereka dan tersungkur di tanah.

"Aku membawanya ke tempat aman." Nadia segera berlari menjauh dari nenek yang berusaha bangkit. Rian berlari, lalu berhenti di antara Nenek Sihir dan Nadia. Dia melindungi punggung Nadia yang berlari menjauh.

"Marana!!!" seru si nenek sambil melemparkan cahaya merah ke arah Rian.

Dari ujung mata, Nadia dapat melihat Rian menahan serangan Nenek menggunakan auranya. Rian pasti bisa menang lawan nenek-nenek.

Semoga.

Karena kalau tidak, Nadia akan menghina Rian seumur hidupnya. Setelah menenangkan diri kalau Rian bisa menghadapi lawannya, Nadia memfokuskan diri mencari tempat aman untuk membaringkan si anak sebelum dia mencari Kristal. Namun, sayangnya keberuntungannya habis ketika dia hendak berlari menuju pintu tempat dia masuk.

Bulu kuduk Nadia berdiri. Dia menoleh ke arah firasat buruk yang datang dan dia melihat aura berwarna merah pekat muncul dari balik stalagmit. Nadia menelan ludah. Aura itu lebih jelas dari segala aura yang pernah dia lihat sampai dia yakin bahwa orang biasa pun bisa melihatnya. Pekat seperti darah. Insting Nadia berteriak agar dia melarikan diri, tapi ke mana?

Seorang wanita berjalan keluar dari balik batu, berkebaya merah cantik dengan tiara emas di atas rambut yang disanggul setengah, menyisakan rambut hitam tergerai sepanjang punggung. Senyumnya culas dan menghina. Nadia tahu siapa dia.

"Kakak ...," bisik Keong dengan suara tercekat. Dia melangkah keluar dari balik kerah jaket Nadia.

"Keong, keong, kukira kau cukup pintar untuk tidak menyerahkan nyawamu setelah berhasil kabur, tapi ternyata kau memang tidak cocok menjadi ratu. Bayangkan apa yang terjadi pada rakyat bila orang sepertimu memimpin," ucap Dewi Galuh dengan suara mengalun merdu tapi penuh racun. Nadia mual mendengar nadanya yang dibuat-buat. 

"Di mana ayahanda dan pangeran Inu Kertapati?" tanya Keong dengan nada gemetar sarat emosi.

"Mereka masih hidup jika itu maksudmu."

Dewi Galuh mengangkat tangan kirinya dan Kristal berwarna pelangi sebesar ujung kuku muncul, memancarkan cahaya berkilau. Di tengah-tengah sumber cahaya, Nadia dapat melihat orang-orang berdesakan, terkurung dalam batas-batas cahaya, seperti berada di balik kaca tembus pandang yang berwarna putih susu. Dari sini, mereka tampak berwarna serba putih. Yang paling depan menampilkan wajah seorang pria setengah baya dan seorang pemuda tampan dengan rambut tersanggul rapi.

"Ayah! Pangeran!" seru Keong. Pandangan mereka bertemu dan kedua orang itu menggedor-gedor kaca dari cahaya, berharap dapat membebaskan diri dan bersatu dengan Keong.

"Mereka akan melihat bagaimana kerajaanku bangkit! Sebelum mereka kuhabisi satu per satu. Itu balasan karena telah mengusirku dari kerajaan!" Dewi Galuh menatap Keong dengan bengis. Wajah cantiknya berkerut menyeramkan. "Tapi pertama-tama, akan kubuat mereka melihat kematianmu!"

Dewi Galuh mengangkat tangan kanan dan mengarahkannya ke arah Nadia dan Keong. Tanpa perlu mengucapkan mantra, sebutir cahaya merah menggumpal di sana dan Nadia tidak perlu menunggu untuk memastikan bahwa itu ditujukan untuk membunuh mereka.

"Lari!" seru Keong mengatakan hal yang sangat jelas. Mana ada manusia waras yang mau dibunuh begitu mudah oleh makhluk jejadian?

Bahkan sebelum Keong selesai mengucapkan kata itu, Nadia sudah melompat ke samping.

Bola merah itu terlempar ke arah di mana Nadia berdiri dua detik lalu dan meledak. Nadia terlempar dan melepaskan tubuh sang anak. Badan kecil itu terhempas semeter dari tempat Nadia tersungkur dan menghantam salah satu stalagmit. Anak itu tetap bergeming bahkan setelah didera rasa sakit. Ini buruk.

Nadia mengambil keputusan cepat. Membawa si anak hanya memperlambat gerakannya. Dia hanya perlu membawa Dewi Galuh menjauh dari tempat anak itu pingsan lalu mencari cara untuk merebut Kristal pelangi di tangan kiri Dewi yang kelakuannya lebih mirip setan daripada bidadari.

"Gunakan kemampuanmu untuk merusak auranya," bisik Keong di telinga Nadia sementara gadis itu melompat sekali lagi, menghindar dari aura merah Dewi Galuh yang digunakan untuk menyerang.

Gampang sekali bicara.

Nadia mengomel dalam hati ketika serpihan stalagmit akibat serangan kakak Keong  hancur mengenai tubuhnya. Rasanya ngilu ketika batu sebesar kepalan tangan menghantam rusuk kiri Nadia. 

Besok pasti lebam.

Kalau Nadia masih bisa hidup.

Gadis itu kembali menghindar dari serangan berikutnya, mengabaikan rasa sakit yang membuat matanya berkunang-kunang. Usul dari Keong bagus. Nadia memutar otak. Dia harus memperkecil jarak agar dia bisa meraih aura Dewi Galuh dan merobeknya.

Sepertinya bisa. Kecepatan adalah hal yang Nadia paling banggakan. Buktinya dia berhasil menghindar serangan makhluk jahat itu tiga kali berturut-turut hingga Dewi Galuh kesal.

"Dasar serangga! Jangan lari terus!" umpatnya kesal.

Si culas menggenggam tangan kanannya. Seketika aura merahnya semakin pekat terkumpul di tangan dengan kuku bercat merah itu.

Membesar.

Dan membesar.t

Nadia menelan ludah, kali ini kalau dia menghindar pun, tetap akan terkena tekanan ledakan yang bisa lebih fatal daripada lebam. Tulangnya mungkin patah.

Tapi mungkin dia bisa melakukan sesuatu.

Gempa kembali terasa seakan gunung ikut merespon kekuatan dahsyat yang dipakai oleh Dewi Galuh. Bola aura itu sudah membungkus genggaman tangan lentik milik si culas yang diarahkannya ke Nadia.

"MATI KAU!"

Untuk pertama kalinya, Nadia merasa umpatan itu untuknya.

AKHIRNYA MASUK KE PERTEMPURAN MELAWAN DEWI GALUH.

Phew! Semoga aku bisa menuliskannya dengan baik.

Kira-kira apa yang akan dilakukan Nadia? Fufufufufu

Di mana Indra?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top