23: Ternyata Nadia Bucin

Sekuat tenaga Nadia memberontak. Kepalanya berusaha memproses informasi bagaimana agar bisa lolos dari sergapan, tapi kenyataannya rasa panik membuat intuisi Nadia lumpuh. Dia hanya bisa menggerak-gerakkan kaki dan tangannya tanpa arah, berharap sikunya menyodok sang penyerang. Yang pasti, kalau Nadia mati di sini, dia akan menggentayangi yang membunuhnya!

Keong jangan ditanya, dia menjerit-jerit kecil sambil mencapit-capit tangan yang membekap Nadia, walau jelas tidak banyak membantu.

"Hei! Ini aku!" Sebuah suara berbisik di telinganya membuat Nadia tertegun.

RIAN!

"Jangan bergerak! Atau kita akan ketahuan!" Menggunakan saat di mana Nadia tidak melawan, pemuda itu menyeret Nadia di ceruk kecil di samping reruntuhan goa. Di sana mereka bersembunyi ketika kaki tangan Dewi Galuh mengejar.

Masih dengan tangan Rian membekap mulutnya. Nadia mengamati siluet lima orang berbadan gempal kebingungan mencari jejaknya yang menghilang di depan jalan buntu. Detak jantung Nadia menggila ketika salah satu prajurit itu berjalan ke arah mereka. Matanya membelalak dalam sunyi sementara suara embusan napas Rian menjadi penghitung waktu.

Sepuluh kali embusan napas.

Para pengejarnya menyerah mencari di sana. Ada yang memanggil prajurit yang tinggal lima langkah lagi tiba di tempat persembunyian Nadia.

Mereka selamat.

Satu per satu mereka mundur sambil mengumpat kasar.

Lima puluh lima kali embusan napas.

Akhirnya gaung langkah mereka terdengar sayup. Bekapan Rian melunak dan Nadia bisa mengembuskan napas lega. Hanya sesaat karena dia baru sadar kalau punggungnya menempel erat pada dada Rian.

Langsung saja Nadia meloncat menjauh. Jantungnya kembali berlarian dalam dada untuk alasan yang berbeda.

"Kamu kemana saja?!" seru gadis itu untuk menutupi salah tingkahnya, sebelum buru-buru menutup mulutnya sebelum suaranya menarik perhatian yang tidak diinginkan.

"Kami mencarimu!" tambah Nadia dengan suara tertahan, tapi tetap terdengar emosi.

"Aku mencari jalan," jawab Rian, meraba-raba tembok goa. Dia kemudian memberi tanda agar Nadia mengikutinya.

Pemuda itu menyelipkan tubuhnya di belakang ceruk, di antara dua lempeng batu yang berjajar. Dari luar, orang tidak akan melihat lobang di baliknya. Nadia mengerjapkan mata, memandang heran ketika tubuh Rian menghilang di balik batu. Untuk sesaat dia hanya bisa berdiri terpaku.

Rian memunculkan kembali setengah badannya. "Ayo," ajaknya sambil melambaikan tangan.agar Nadia mengikutinya. Namun Nadia yang baru pulih dari segala aksi yang baru saja terjadi ditambah kekurangan oksigen, hanya berdiri saja.

Melihat gadis itu tidak menyahut. Rian menggelengkan kepala dan menarik tangan ramping itu. Nadia terkesiap sebelum melepaskan diri dari genggaman Rian yang kukuh.

"A-aku bisa jalan sendiri."

Fokus Nadia! FOKUS!

Gadis itu menampar kesadarannya agar mendarat, walau kehangatan tangan Rian yang menggenggamnya masih tersisa. Pemuda itu menghela napas lalu kembali berjalan. Kali ini, Nadia mengikutinya. Kegelapan goa terburai oleh aliran lahar beku yang mengeras di dinding, mengeluarkan cahaya merah redup dan hawa panas samar. Bau belerang makin kuat, membuat Nadia menutup hidungnya dengan tangan walaupun sudah memakai masker. Sebuah firasat berbisik di dalam benak Nadia.

Mereka sudah dekat.

"Bagaimana kamu bisa sampai sejauh ini?" tanya Rian ketika mereka kira-kira sudah dua puluh meter dari pintu masuk, memastikan suara mereka tidak terdengar oleh pengejar mereka. "Aku berencana untuk kembali menjemputmu setelah menemukan jalan."

Nadia berdecak. Dia kembali ingat rasa kesalnya pada Rian.

"Kamu itu ya! Pergi ga mikir-mikir! Keong panik berat!!!"

"Kamu juga panik, kan, Nadia?" sahut Keong membuat wajah Nadia memanas.

"AKU NGGAK KHAWATIRIN RIAN!" seru Nadia, tepat pada saat itu terdengar gemuruh dan gempa bumi kembali terjadi.

Nadia langsung berlutut dan berpegangan pada dinding goa hingga getaran mereda. Rian menudungi punggung Nadia dengan tubuhnya agar gadis itu tidak terkena bebatuan kecil yang terlepas. Nadia menyadari hal tersebut dan merasakan pipinya menghangat. Hatinya terasa lumer oleh gestur kecil yang dilakukan Rian untuk melindunginya. Rasanya dia tidak bisa marah-marah lagi dengan pemuda itu.

Dasar bucin!

Gadis itu mengomel dalam hati selagi perlahan-lahan getaran mereda. Mudah sekali dia luluh oleh kelakuan Rian setelah dibuat pusing tujuh keliling dan harus makan hati karena khawatir. Cinta memang bikin bego dan kenapa dia masih sempat memikirkan itu di tengah situasi genting? Nadia merutuki dirinya dalam hati.

"Anjeun teu kunanaon?" tanya pemuda itu memastikan keadaan Nadia setelah gempa benar-benar selesai.

"A-aku nggak apa-apa! Bisa minggir ga?" sahut Nadia tajam membuat Rian berdiri tegak dan menjauh.

Rasanya canggung, berada dekat dengan Rian, apalagi perasaan Nadia masih kacau balau.

"Nadia, lihat." Suara Keong membuat Nadia memandang sekeliling.

Baru pada saat itu dia sadar kalau ada lelehan lahar yang merembes dari celah bebatuan. Merah menyala dan mendesis sepanjang alur. Hawa panas terasa membekap mereka. Mata Nadia membelalak. Waktu mereka semakin sedikit. Bukan saatnya Nadia galau ria dengan perasaannya.

Seakan bisa membaca pikiran Nadia, Rian segera kembali bergerak, memimpin jalan. Kali ini langkahnya cepat, setengah berlari melewati lorong goa yang hanya seluas serentangan tangan.

Nadia mengikutinya sambil berusaha mengatur napas. Walau dia bisa mengabaikan bau menyengat ke sudut pikiran, efek asap belerang mulai terasa pada tubuh Nadia. Dia mulai merasa mual dan pusing. Gadis itu menepuk pipinya keras untuk terus berkonsentrasi. Anggap saja ini lomba penting, tapi Nadia kemudian teringat sesuatu yang membuatnya harus memberi tahu Rian.

"Aku kemari bersama Indra. Dia keturunan juru kunci Merapi." Nadia berusaha berbicara. Bagaimana pun juga, dia merasa berutang budi pada pemuda yang sudah mempertaruhkan nyawa baginya. "Dia yang menjadi pemanduku dan mengalihkan perhatian anak buah Dewi Galuh. Setelah berhasil mendapatkan Kristal kita harus mencari dan menolongnya."

Rian tiba-tiba berhenti membuat Nadia menabrak punggungnya yang berotot dan keras.

"ADUH! ADA APA SIH?" seru Nadia sambil memegangi dahinya yang sakit. "Berhenti bilang-bilang dong!"

"Maksudmu, cowok yang dikejar-kejar oleh prajurit Dewi Galuh?"

"Kamu ketemu dia?" tanya Nadia dengan mata memandang penuh harap yang justru membuat RIan mengerutkan alisnya tajam.

"Bukan hal penting." Rian enggan menjawab dan kembali melangkah. Nadia mau tak mau mengikutinya untuk mengejar jawaban.

"Dia selamat kan?!" tanya gadis itu keras kepala, merasa kesal karena Rian sepertinya tidak mau menjawab.

Kenapa sih?!

"Terakhir aku lihat dia masih hidup," jawab Rian tanpa menoleh dan terus berjalan. "Aku meninggalkannya karena mencarimu."

"Kita harus menolongnya!" sahut Nadia.

"Nggak, kita bereskan dulu masalah ini!" balas Rian sama keras kepalanya.

Nadia nyaris saja membalas ocehan Rian, tapi pemuda itu lagi-lagi berhenti mendadak. Untung saja, kali ini Nadia lebih sigap. Dia ikut menghentikan langkahnya tepat waktu tanpa menabrak Rian.

"He--!"

Rian kembali membekap mulut Nadia agar tidak berteriak. "Sst!"

Pemuda itu memberi kode dengan arah matanya. Baru saat itu Nadia menyadari apa yang terjadi. Karena perdebatannya dengan Rian, dia tidak menyadari kalau mereka sudah tiba di ujung goa. Hawa panas merebak makin kuat diikuti bau belerang yang menyengat. Cahaya dari lelehan lahar menjadi penerang. Nadia tertegun. Dia pernah melihat goa ini.

Goa yang berada dalam visinya.

Jantung Nadia kembali berdebar keras, tanpa sadar bahwa Rian sudah melepaskan bekapan. Dia menahan napas, untuk memproses realita. Kapan pun dia melihat kejadian dalam visinya menjadi nyata, dia selalu butuh waktu untuk menerima kenyataan.

Rian menariknya kembali bersembunyi di balik stalagmit yang mencuat dari lantai goa. Dari balik bayang-bayang, Nadia mendapat kesempatan untuk mengamati sekitar tanpa ketahuan. Stalagtit dan stalagmit memenuhi goa yang seluas lapangan basket. Pendaran merah dari lahar memberikan penerangan remang-remang, tapi cukup untuk Nadia yang sudah terbiasa dengan gelap. Matanya menyerap informasi sebanyak yang dia bisa, mengingat letak batu dan tonjolan agar dia tidak tersandung ketika harus mengendap masuk.

Tidak ada tanda-tanda Dewi Galuh atau pun Nenek Sihir.

Pertanyaannya adalah, di mana Kristal itu berada?

Namun, sebelum sempat Nadia mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu, matanya menangkap sebuah siluet yang bersandar pada salah satu stalagmit di tengah ruangan, tak bergerak. Garis tubuhnya terlihat kecil dengan rambut pendek, seperti anak berusia belum genap sepuluh tahun.

Hati Nadia mencelus. Tanpa sadar, dia berdiri dan mulai melangkah mendekati anak itu.

"Nad!" Rian terkejut melihat tindakan nekat Nadia. "JANGAN!"


SENANG BISA UPDATE! Tau apa yang membuatku termotivasi?

Karena jumlah kataku dibilang masuk bottom 5 hiiiiii~~~

Langsung ngebut ngepot ngueng ngetik

Semoga bisa membalas kekalahan! 💪🏻 Semangat!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top