2: Ganteng-Ganteng Kesasar

Nadia sudah kapok berhubungan dengan makhluk astral. Di usianya yang lebih muda, dia pernah begitu naif dan menolong setiap mereka yang mendatanginya. Hal itu terbukti membawa petaka karena makhluk-makhluk itu semakin banyak datang dan menganggu. Pernah, dia sampai dirasuki arwah seorang wanita yang meninggal sebelum menyatakan perasaan pada sang kekasih. Nadia terpaksa melihat dirinya mengatakan 'I Love You' pada seorang bapak-bapak.

Cukup adalah cukup.

Nadia sudah muak menjadi seorang pahlawan. Dia hanya ingin hidup tenang dan bertemu dengan kakaknya. Ekspresi wajah Nadia pasti sudah berubah menjadi mengerikan hingga pemuda yang harusnya berumur ratusan tahun lebih tua darinya, gemetar.

"Punten ngadangukeun kuring munggaran," ucap Rian menjilat bibirnya yang tiba-tiba kering sebelum menelan ludah.

Nadia mengerutkan alis. Apakah sekarang hantu juga berbicara bahasa alien?

"Tolong dengarkan aku," ulang Rian. "Cuma kamu yang sadar siapa aku sebenarnya."

Ingin sekali Nadia meninggalkan makhluk putus asa di hadapannya tapi tiba-tiba dia teringat tentang mimpinya semalam. Mungkin dengan mendengar Rian lebih lama, dia bisa mencari tahu apa maksud mimpinya dan menolong Aidan. Entah bagaimana kabar kakaknya itu. Pesannya masih belum terkirim. Semoga saja prinsip no news means good news bisa diterapkan. Nadia memandang sekeliling, menyadari bahwa masih banyak anak-anak yang lalu lalang di sekitar mereka. Dia memberi kode pada Rian untuk mengikutinya ke bawah pohon besar yang berada di kompleks sekolah dasar yang bersebelahan dengan kompleks SMA. Bocah-bocah itu sedang libur dan mereka mendapat privasi yang diinginkan.

"Oke, kalau kamu benar-benar Sangkuriang, kenapa kamu ada di sini?" ucap Nadia dengan tajam.

"Aku tidak tahu. Saat aku tersadar aku sudah berada di tempat asing ini. Ada banyak orang dan benda-benda aneh tapi tidak ada Dayang Sumbi."

Nadia menghela napas. "Karena ini di Surabaya, Jawa Timur, sedangkan kamu berasal dari Jawa Barat." Nadia sebenarnya tidak yakin. Membaca bukanlah hal kesukaannya tapi dia sering mendengar Aidan meracau tentang banyak hal.

Mata Rian membulat, seakan sebuah lampu menyala dalam benaknya. "Kalau aku kembali ke asalku, aku akan menemukan Sumbi?"

"Mungkin." Nadia mengangkat bahunya. "Aku bertanya sekali lagi, apa yang membuatmu berada di sini? Di dunia ini kamu tidak seharusnya nyata. Ceritamu cuma legenda yang tidak mungkin terjadi."

Pemuda itu terdiam sejenak, tampak terkejut dengan perkataan Nadia. Namun, dia berusaha untuk tetap tenang. "Jadi, di sini tidak ada jin yang bisa membantumu membangun danau?"

Nadia mengangkat bahu. "Kalau bisa, itu praktis sekali. Kamu mungkin akan menjadi kontraktor favorit .... Abaikan." Nadia menyadari ocehannya terlalu jauh. Rian tidak mungkin tahu tentang istilah dunia ini. "Jadi, bagaimana kamu bisa di sini?"

"Abdi henteu terang," jawab Rian dengan alis bertaut, tidak menyembunyikan kebingungannya.

"Bahasa Indonesia, tolong," potong Nadia sambil memutar bola mata. Dia bisa menduga kalau Rian berbicara bahasa Sunda yang asing di telinganya.

"Aku tidak tahu. Hal terakhir yang aku ingat adalah aku sedang membuat danau dan perahu untuk meminang Dayang Sumbi, kekasihku. Harusnya masih ada waktu beberapa jam lagi sampai matahari terbit, tapi ayam sudah berkokok hingga aku--"

"Ya, ya, ya," potong Nadia tidak sabar sambil melipat tangan di dada. Dia tidak perlu didongengi cerita yang sudah dia tahu akhirnya, terima kasih pada Aidan. Pemuda di hadapannya boleh tampan, tapi tidak berguna. Dia harus mencari tahu tentang Aidan dan raksasa, bukan mengurusi cowok patah hati.

"Aku sedang dalam perjalanan kembali ke pondok Sumbi untuk meminta kejelasan ketika tiba-tiba saja aku berada di sana." Rian menunjuk ke arah lapangan basket gabungan untuk seluruh tingkat sekolah dari sekolah dasar sampai menengah atas. Nadia dapat melihat beberapa anak lelaki dari kelasnya sedang bermain di sana. "Aku berusaha berbicara dengan teman-temanmu tapi mereka menyapaku dengan nama Rian dan menyeretku masuk ke kelas, lalu abdi pendak sareng anjeun. Aku bertemu denganmu."

"Apa kamu pernah ketemu dengan raksasa atau semacamnya?" tanya Nadia berusaha mencari petunjuk.

Rian menggeleng, membuat Nadia menghela napas. Tiba-tiba saja dia merasa lelah. Kecemasannya terhadap keselamatan Aidan sudah membuatnya sakit kepala, apalagi kakaknya yang tercinta dan terkasih--iya, ini sarkasme--sama sekali tidak mengaktifkan telepon genggamnya. Dia tidak bisa serta merta menghubungi nomor rumah atau ponsel ibunya karena dia tahu itu akan membawa lebih banyak masalah, terutama di tengah hubungan kacau dalam keluarganya. Sekarang dia harus menghadapi tokoh dongeng yang tersesat.

Hebat sekali.

"Rian." Rasanya aneh sekali memanggil tokoh legenda menggunakan nama gaulnya. "Aku punya ide bagus. Bagaimana kalau kamu mengurusi urusanmu sendiri dan aku mengurusi masalahku? Semua orang senang. Sampai jumpa!" Nadia langsung berlari menuju gerbang.

"Antosan!" seru Rian yang sama sekali tidak dianggap.

Tidak percuma dia memenangkan lomba lari seprovinsi sebulan silam, membawa piala setinggi satu meter untuk dipajang di ruang kepala sekolah. Rian sama sekali tidak berkesempatan untuk mengejar. Kabar baiknya lagi, dia melihat sopirnya sudah menunggu di depan pintu gerbang. Tanpa menoleh ke belakang, gadis itu membuka pintu dan masuk.

"Jalan, Pak!" perintahnya terengah.

Pak Mun, sopirnya, menurut. Dia sama sekali tidak aneh dengan tingkah Nadia. Mungkin saja, dia menganggap bahwa nonanya baru saja selesai latihan. Nadia menoleh ke arah gerbang sementara mobil merayap menuju jalan raya. Tidak ada tanda-tanda Rian mengejarnya. Pemuda itu hanya memandangnya hampa dari balik pintu gerbang. membuat gadis itu menghela napas lega. Sudah cukup keanehan untuk hari ini.

Nadia mengecek telepon selulernya sekali lagi. Tidak ada tanda-tanda pesannya masuk apalagi dibaca. Dalam hati Nadia mengucapkan sumpah serapah yang bisa membuat ayah menampar mulutnya. Gadis itu kembali menimbang untuk menelpon sang ibu. Namun setelah lima menit mengetuk-ngetuk kaki, dia memutuskan untuk menahan diri.

Mimpinya masih terlalu buram. Ada kemungkinan dia hanya bermimpi biasa dan Aidan kehabisan kuota. Aidan pernah bercerita kalau uang jajannya sering dipalak dan terlalu malu untuk meminta uang lagi pada ibu. Nadia terus menenangkan diri walau kegelisahan dalam benak berkata sebaliknya. Hari masih pagi dan mungkin saja Aidan akan menghubunginya saat siang.

Semoga saja.

Nadia membiarkan dirinya larut dalam lagu milik Payung Teduh berjudul "Nanti" yang diputar di radio mobil.

https://youtu.be/ImhyZmJB1KM

Dia mengamati tugu Pahlawan yang menjulang dari kejauhan sementara mobil keluarga berwarna hitam merambat di tengah kesibukan bagian kota lama Surabaya yang terletak di utara. Dia melewati bangunan-bangunan bergaya kolonial sisa dari penjajahan Belanda yang masih terawat, bercat putih, berdiri tegak di antara geliat perdagangan dan lalu lintas. Nadia berkali-kali melewati jalan yang sama tapi dia tetap tidak terbiasa melihat masa lalu dan masa kini bersenyawa dalam satu bingkai. Alunan keroncong bercampur jazz menemani lamunannya yang terbang jauh melintasi ruang, memikirkan sang kakak yang berada jauh dari sisinya, berharap pemuda itu baik-baik saja.

Gadis itu hanya tidak tahu betapa salahnya dia.

Hingga pukul sebelas malam tidak ada tanda-tanda dari hidupnya ponsel Aidan dan Nadia tertidur sambil memegang benda itu di tangan. Ketika kesadarannya lenyap, gadis itu mendapati bahwa dirinya berada di hutan. Suasana gelap dan sepi, bahkan bunyi hewan pun tidak ada. Seketika itu juga Nadia tahu kalau dia berada dalam sebuah mimpi. Dia memandang sekeliling dan tidak mengenali tempat itu. Lalu, sebuah tawa menggema menyelimuti tempat itu. Kejam dan bengis, membuat bulu kuduk Nadia berdiri seketika. Dia mengenalinya sebagai tawa dalam mimpinya kemarin. Tak lama kemudian, terdengar bunyi bedebum yang kuat disusul dengan bergetarnya tanah. Nadia sampai harus berpegang pada pohon terdekat.

Bunyi itu berulang. Nadia menoleh untuk mencari sumber suara. Beruntung, sinar bulan cukup terang malam ini. Terdengar suara tawa lagi, semakin dekat dan rasa takut mencengkram Nadia lebih erat. Tiba-tiba dia mendengar suara gemerisik daun. Nadia langsung memasang kuda-kuda Tae Kwon Do, tidak tahu apakah itu akan berguna melawan makhluk besar yang berjalan ke arahnya.

Gemerisik itu makin kuat, kali ini disusul dengan bunyi pohon tumbang tak jauh darinya.

"Kau tidak bisa lari dari Buto Ijo! Berikan kristal itu padaku atau kau kumakan sekalian!!!"

Sekali lagi Nadia begidik. Suara itu kasar dan besar, seperti bunyi mesin truk yang sudah bertahun-tahun tidak diservis. Terdengar suara gemerisik lagi, berlari ke arahnya. Nadia sudah bersiap melayangkan tendangan tapi melihat siapa yang muncul dari dedaunan yang tersibak membuat gerakannya berhenti di udara.

"Aidan?" bisik Nadia yang tentu saja tidak digubris oleh saudara kembarnya.

Aidan bahkan tidak menoleh ke arahnya dan terus berlari. Nadia sudah hendak mengejarnya ketika dia menyadari bahwa sebuah bayangan besar menghalangi cahaya bulan. Nadia mendongak dan mendapati seorang raksasa dengan tinggi lebih dari tiga meter sedang tertawa dan mengulurkan tangannya untuk meraih Aidan.

"Kau tidak bisa lari, Bocah!"

Gadis itu mendapati tubuhnya kaku ketika melihat tangan gempal sang raksasa berhasil menggapai kerah belakang kaos Aidan. Saudaranya itu meronta, tapi sia-sia dan hal terakhir yang Nadia tahu adalah dia berteriak dengan sekuat tenaga memanggil nama kakaknya, sebelum pandangannya menggelap.

Hai! Maaf Nadia ngaret lagi //dikeplak

Aku kesulitan cari waktu untuk online di PC dan memeriksa ulang karya sebelum dipublish.

Untuk bahasa sunda yang dipakai, aku pakai terjemahan google, mohon bila menemukan kata-kata yang lebih gaul, bisa komen inline ^^ hehehehe

Dan oh, aku suka Payung Teduh. Nuansanya pas untuk kisah ini secara keseluruhan, gabungan antara modern dan kuno. Ada yang suka mereka di sini?

Semoga minggu depan aku ga ngaret lol!

See you!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top